Bab 15 : Akar yang Kokoh

172 21 0
                                    

Mendengar kalimat serak itu membuatku menoleh menatap seorang pria masih berlumur darah yang ku seret tadi. Disertai dengan air mata yang akhirnya jatuh dari pelupuk mata Fahri.

"Nyoya Fahri selamat dari maut dan saat ini masih belum sadar. Tetapi salah satu putrinya meninggal karena kehabisan oksigen. Maafkan saya,"ucap Abian membuatku terdiam.

Pikiran ku terasa buntu. Dunia ku seolah gelap tanpa ada cahaya yang bisa menyinari lagi. Dada ku terasa sesak tak bisa menahan gejolak dalam benak. Setetes air mata lolos menuruni pipi kanan ku.

"Tidak ada yang salah disini. Nyawa dituliskan sang kuasa di lembar takdir bukan pena manusia. Putriku dia telah pergi untuk menjadi jaminan orangtuanya kelak,"ucap Fahri mengulas senyum.

Jadi itu arti kedua tangannya mengatup untukku. Dunia ku terasa hancur berkeping-keping. Celine mengusap bahu kanan ku mengangguk penuh arti. Kehidupan dan kematian dua-duanya beriringan dengan baik. Saat ada kehidupan baru di tempat lain ada duka kematian.

"Berapa lama lagi Andini akan sadar?"tanyaku menatap Abian mengusap air mata.

Jika aku menangis, semua orang akan semakin merasakan duka itu. Aku yakin saat ini para orangtua pun tengah berduka sedalam-dalamnya. Ku hirup udara lamat-lamat menatap atap rumah sakit. Tak akan ku biarkan air mata kembali menitik.

"Sekitar satu jam lagi,"ucap Abian melirik jam tangannya.

"Fahri. Kamu tetaplah disisi putra dan istrimu. Dan biarkan aku mengurus putrimu. Kalau kamu lemah saat ini, Andini akan semakin hancur. Aku mendengar banyak berita mengenai kematian ibu saat mengetahui kondisi lahir anaknya,"ucapku menatapnya.

"Yang dikatakan Nona benar, Pak,"ucap Abian membuatnya mengangguk sejenak sebelum berlalu dengan air mata dan rasa sakit mendalam terpancar dari wajahnya.

"Tunggu, Fahri. Siapa nama putrimu?"tanyaku membuatnya menoleh sejenak.

"Berikan dia nama Fatimah Az Zahra, Kak. Semoga kelak dia akan berjalan bersama barisan putri Rasulullah,"ucap Fahri membuatku mengangguk mengerti.

Sementara dia berlalu pergi dengan lemah. Celine bersikeras membantu mengurus permasalahan dengan polisi. Akh, gadis itu selalu saja keras kepala. Sepeninggal Celine, Abian mengarahkan untuk mengurus jenazah Fatimah. Mengapa saat duka yang bertahta dalam benak membuat jalanan lorong terasa jauh?

Langkah pun terasa berat dari yang langkah manapun yang pernah ku ambil. Ku genggam erat baju yang masih melekat menahan setiap rasa sakit. Mataku melirik Abian begitu tenang.

"Apa kematian tidak pernah mengguncang hatimu?"tanyaku membuatnya tersenyum kecil.

"Manusia itu makhluk fana. Dzat yang abadi itu dimiliki oleh Yang Kuasa. Mereka yang telah pergi akan melanjutkan kehidupan setelah kematian. Lantas bagaimana aku punya hak untuk menghentikannya? Aku memang dokter, Nona. Tapi aku juga sadar, jika pemilik nyawa itu bukan diriku. Tugas ku hanya merawat dan mencegah sebaik mungkin,"ucap Abian membuatku mengangguk mengerti.

Ruangan bekas operasi masih tercium alkohol. Mataku melirik jasad kecil yang tertutup kain. Keponakan cantik ku dia pergi lebih cepat dari Tantenya. Aku harus tersenyum agar dia tidak menangis saat ruh nya pergi. Begitu ku singkap kain itu, terlihat bayi yang membiru. Namun wajahnya sangat mirip dengan Andini.

Perlahan ku gendong tubuh kecilnya dibantu Abian. Melihatnya sekilas membuatku semakin sesak. Aku seperti sedang menggendong jasad adikku sendiri. Aku harus mengatakan duka ini berkah atau apa?

"Apa kita tidak memotretnya? Andini suatu saat nanti pasti akan sangat merindukan putri manisnya,"ucapku menatap Abian membuatnya mengangguk setuju.

Sementara Abian membawa Fatimah, mataku menatap nanar beberapa perlengkapan bayi bewarna merah muda. Pakaian yang terlipat itu sangat indah. Namun bayi kecil itu lebih menyukai pakaian sederhana tanpa warna. Selembar pesan yang tertulis di dalam tas itu semakin menambah sesak.

Renjana : Arutala Dirgantara Donde viven las historias. Descúbrelo ahora