21. It is Nothing

506 76 18
                                    

Musim Gugur, 6 Tahun Lalu

Renjun melangkahkan kakinya memasuki apartemen dengan langkah gontai. Tubuhnya terasa lelah luar biasa sehingga dia memutuskan langsung merebahkan diri di atas ranjang. Matanya terpejam erat sambil menghela napas panjang berkali-kali. Sebuah upaya untuk membuat dirinya merasa lebih rileks.

Entah mungkin efek terlalu lelah atau apa, akhirnya Renjun tertidur tanpa sadar. Dia baru bangun ketika waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Pandangannya yang masih sayu menatap sekeliling yang terasa gelap. Jendela kamar juga masih terbuka membuat udara musim gugur yang terasa dingin masuk dengan begitu mudahnya.

Renjun memutuskan beranjak untuk menutup jendela dan menarik gordennya membuat keadaan kamarnya semakin gelap. Namun dia tidak berminat menyalakan pencahayaan sedikitpun. Kebiasaannya sejak datang kemari memang begitu, selalu membiarkan kamarnya dalam keadaan gelap.

"Kayak goa anjir!" Jeno bahkan mengumpat ketika berkunjung minggu lalu. Lelaki itu sedang mengunjungi salah satu saudaranya makanya sekalian mampir ke apartemen barunya ini.

Setelah itu, Renjun memilih untuk membersihkan diri. Mengguyur dirinya sendiri dengan air yang begitu dingin. Tidak mempedulikan sedikitpun kalau dirinya mungkin bisa saja jatuh sakit karena itu. Mandi tengah malam dengan air dingin bukanlah opsi yang bagus kan?

Selesai mandi, dia memilih memasak ramen untuk makan malamnya yang bisa dibilang sudah sangat telat. Sejujurnya, Renjun sangat malas sekali makan jika tidak ingat kalau tubuhnya masih butuh asupan. Dia makan hanya seperlunya saja, supaya dia masih bisa hidup. Karena sesungguhnya kalau mati sekarang pun Renjun tidak masalah sama sekali.

Dia memakan ramennya dengan keadaan apartemen yang begitu hening. Pencahayaan di dapur juga begitu temaram dan hanya berasal dari lampu ruang tengah. Tapi Renjun seolah tidak terusik sama sekali karena dia memang sengaja melakukan itu semua.

Beberapa bulan belakangan, Renjun seperti tidak memiliki semangat untuk hidup. Tubuhnya seperti bergerak sendiri menjalankan setiap rutinitas hariannya. Dia hanya akan menghabiskan waktu pergi ke kampus dan mempelajari berkas-berkas perusahaan yang Papa berikan. Tapi tidak ada jeda, Papa benar-benar menyita seluruh waktunya hanya untuk dua kegiatan itu. Dan Renjun tidak pernah punya pilihan lain.

Usai menghabiskan ramennya, Renjun kembali melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Dering ponsel yang terdengar kemudian membuatnya mendekat ke arah laci. Tangannya membuka laci paling atas dan menemukan ponselnya yang menyala dan menampilkan nama seseorang.

Chérie.

Dengan sedikit gemetar, tangannya mengambil benda pipih tersebut. Tubuhnya dia bawa untuk bersandar di samping ranjang. Pandangannya tidak lepas dari ponselnya yang masih berdering tapi Renjun hanya diam. Walau dalam hati mati-matian menahan diri untuk mengangkat panggilan tersebut.

Dering panggilan itu usai, tapi tidak lama kembali terdengar. Terus berulang sampai lebih dari sepuluh kali. Baru setengah jam kemudian, panggilan itu terhenti. Renjun menggigit bibir bawahnya dengan keras melihat itu.

Ratusan pesan yang belum dibaca dan ratusan panggilan tidak terjawab.

"Jangan macam-macam dan fokus saja dengan apa yang Papa minta. Atau kamu tahu sendiri apa saja yang bisa Papa lakukan."

Renjun menangis keras ketika mengingat semua itu. Meninggalkan Yizhuo tidak pernah terlintas sedikitpun dalam pikirannya. Renjun tidak mau. Renjun tidak sanggup. Bertemu dengan Yizhuo adalah satu dari sedikit kebahagiaan yang dia dapatkan selama ini.

Tapi kenapa hal itu harus hilang secepat ini? Kenapa dia tidak bisa merasakan hal itu lebih lama? Tidak layakkah dia untuk mendapat sebuah bahagia?

Demi Tuhan, rasanya sakit sekali. Dengan tangan yang masih gemetar dan isak tangis yang belum usai, Renjun bergerak membuka pesan teratas yang Yizhuo kirim.

Wounded SoulWhere stories live. Discover now