16: Je te Déteste

535 88 42
                                    

Musim Dingin, 7 Tahun Lalu

Renjun menatap ke luar jendela dan mendapati salnjun yang malam ini turun cukup tebal. Membuat udara terasa semakin dingin. Maklum, sudah akan memasuki akhir tahun juga.

Dia menghela napasnya gusar seperti sedang memikirkan sesuatu yang rumit. Memang sungguh rumit sebenarnya. Tidak, sederhana saja kalau dia bukan anak tunggal di keluarga dan salah satu cucu tertua. Membuatnya memiliki banyak tuntutan yang sebenarnya tidak pernah benar-benar ingin dia lakukan.

Renjun tidak tahu bagaimana, tapi jalan hidupnya seperti telah ditentukan begitu saja. Apa yang harus dilakukan, sekolah mana yang harus dia datangi, kegiatan les apa yang harus dia ikuti, acara apa yang harus dia hadiri, dan hal-hal lain yang sudah disusun sedemikian rupa.

Perjalanan hidupnya seperti sudah diarahkan harus melewati jalur yang mana. Pertemuannya dengan Yizhuo, mungkin adalah satu dari sedikit hal yang keluar jalur. Tapi Renjun tidak masalah. Hal itu menyenangkan, dia suka. Untuk pertama kalinya, dia berjalan bersama seseorang yang sejak awal memang dia suka, bukan karena diatur oleh keluarga.

Namun sepertinya kesenangan ini tidak akan bisa berlangsung lebih lama. Dan hal itu membuatnya tidak terima. Renjun tidak mau meninggalkan Yizhuo begitu saja. Tapi memintanya menunggu jelas adalah sebuah hal yang berat. Terasa sangat salah terutama karena Renjun tidak yakin bisa memberikan kepastian apapun nantinya. Dia tidak mau meminta Yizhuo menunggu dalam ketidakpastian.

Maka setelah berpikir panjang, dia memutuskan menemui Papa malam itu.

"Masuk."

Renjun mengepalkan kedua tangannya dan memasuki ruangan itu dengan perlahan. Dia bisa melihat Papa yang duduk di sofa dengan sebuah laptop di depan meja. Langkahnya berjalan mendekat dan duduk di hadapan Papa.

Tangannya bergerak menyodorkan sebuah amplop yang langsung dibuka oleh Papa. "Good. Berarti kamu harus segera bersiap ya buat bulan depan." 

Renjun menggigit bibir bawahnya pelan dan mengangguk. "Papa udah hubungi Mr. Lu juga, dia yang akan bantu kamu selama di sana. Untuk kelanjutan studi kamu nantinya, dia juga punya koneksi sama salah satu profesor. Nanti kalian bisa diskusi."

"Pa…" bukannya mengiyakan, Renjun malah memanggil sang Papa dengan nada pelan.

"Kenapa? Ada masalah?"

"Kalau…" Renjun menelisik ekspresi Papa yang memandangnya penuh tanya. "Kalau aku mau lanjut S2 disini aja, boleh?" Renjun mengumpat dalam hati melihat ekspresi Papa yang berubah datar.

"Huang Renjun… apa menurut kamu, Papa sedang memberikan pilihan?"

"Pa, aku—"

"Kayaknya kalau begini gak usah nunggu bulan depan. Kamu berangkat minggu depan aja."

Brengsek, Renjun mengumpat dalam hati. Bernegosiasi dengan Papa memang tidak pernah mudah dan Renjun selalu berakhir jadi pihak yang kalah. Salahnya sendiri juga tidak mempersiapkan apapun untuk melakukan penawaran. Tapi mau bagaimana lagi, otaknya tiba-tiba terasa buntu. Dia tidak tahu harus membujuk Papa dengan cara apa.

"No, bulan depan aja, Pa. Aku minta maaf." Dia sedikit waswas melihat Papa yang malah menyunggingkan senyum miring ke arahnya.

"Karena gadis itu?" Renjun merasakan jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat dari biasanya. Papa sudah tahu kah?

Sementara Papa hanya terkekeh pelan melihat anak semata wayangnya yang kini terlihat gusar. Tubuhnya bersandar pada punggung sofa dengan tangan bersedekap. "Jangan sekarang, Renjun." 

Pandangannya menatap Papa tidak mengerti. "Fokus studi dan projek pertama kamu di perusahaan tahun depan. Papa gak menerima kegagalan dalam bentuk apapun. Kamu tahu apa konsekuensinya karena jelas… Papa tidak sedang memberikan kamu pilihan. Paham kan?"

Wounded SoulWhere stories live. Discover now