LI [Roccia (13)]

3K 489 2
                                    

ఇ ◝‿◜ ఇ

Happy Reading

ఇ ◝‿◜ ఇ

Ace masuk ke dalam mobil itu dan tersenyum miring. "Dayana," ucapnya. Ya gadis itu adalah Dayana Winasari. Seseorang yang pernah menjadi tersangka mereka. Ia bertepuk tangan. "Hebat juga permainan lo," sarkasnya.

Dayana berdecih. "Thanks atas pujiannya."

Dayana menyalakan mesin mobilnya dan meninggalkan area parkir. Ace tidak tahu ia akan dibawa ke mana olehnya, ia juga tahu bahwa Dayana bukan orang yang berbahaya. Ace ingin sekali mengirim pesan kepada temannya, hanya saja ia takut ketahuan oleh Dayana. Ia hanya bisa merekam melalui kamera kecil yang selalu ia bawa di saku bajunya.

"Sejak kapan lo tahu tentang Cassiopeia?" tanya Ace mendahulukan pertanyaan.

"Eum ... 8 months ago?" Dayana sedang memperkirakannya. Kemudian dia tertawa. "Dan bodohnya kalian gak ada yang tahu sama sekali," sindirnya.

"Ya gue akuin kalau tim gue bodoh karena gak sadar ada lo," ungkap Ace. Ia membiarkan Dayana merasa menang terlebih dahulu.

Ponsel Dayana berdering. Mengangkatnya dengan sengaja menyalakan pengeras suara agar Ace bisa mendengarnya.

"Udah cukup lo bikin sekolah gue berantakan," ujar Dayana dengan nada dingin.

"Wait ... bukannya lo sendiri yang buat sekolah lo berantakan? Kenapa jadi salahin gue?"

"Tapi semuanya berawal dari tingkah lo. Bukannya sadar, malah nambah korban. Lo sadar 'kan yang lo bunuh itu anak sekolahan gue? Kenapa–"

"Lo nanya kenapa? Biar urusan lo sama si bangsat itu kelar. Gue tau kalian nyusun rencana buat jebak gue. Padahal si brengsek itu sama aja kayak gue. Gak cape lo dibabuin?"

"Kalian berdua sepupu gue, mana bisa gue milih."

Ace hanya menyimak percakapan mereka, hitung-hitung bisa tahu sebenarnya apa yang terjadi.

"Sepupu tiri." Dayana tahu itu. "Jangan kayak gue. Disini gue masih peduli sama lo. Lepas hubungan lo sama dia, jangan ikutan terjerumus gak bener karena tingkahnya."

"Itu sama aja 'kan masukin gue ke jurang kematian?"

"Lo milih mati di tangan dia atau gue?"

Dayana mengernyit. "Maksud lo? Lo bilang peduli sama gue, tapi lo mau gue mati di tangan lo? Gila lo." Ia bahkan tidak mengerti lagi dengan tingkah sepupunya itu.

"Setidaknya lo bisa mati tenang. Tenang, gue bakalan ikut."

"BAJINGAN, LO MAU BUNUH DIRI? LO BERHUTANG NYAWA SAMA KORBAN LO. JANGAN LOLOS GITU AJA."

"Mereka selalu minta tolong sama gue untuk lepasin pakai nada memohon. Gue jadi penasaran gimana rasanya mati di tangan sendiri. Gue males ketemu brengsek itu di penjara."

"Lebih baik menunggu giliran untuk mati daripada harus mendahului orang yang harusnya udah mati sekarang," gumam Ace tanpa sadar.

"Na, ada orang disana?"

Dayana buru-buru membungkam mulut Ace agar tidak berbicara sembarang lagi. "Suara radio tadi," alasannya. Bisa bahaya jika sepupunya tahu.

"Gapapa kalo ada orang. Dia juga dengar percakapan kita, artinya dia juga jadi korban gue selanjutnya. Kalian berdua mati, gue juga mati. Selesai sudah sesi pembunuhan keluarga Irvandian."

"Alden, lo jangan main-main. Gue bakal ke polisi sekarang untuk lapor kelakuan lo," ancam Dayana.

"Gak bisa, Na. Gue udah terlanjur ajak kalian untuk mati. Ada bom di bawah mobil lo. Kalo lo berenti, mobilnya meledak. Lo gak bakal selamat, dia juga. Gimana dong?"

"Wah...." Dayana tertawa miris. "Ternyata udah lo persiapin semuanya ya? Lo gila, Alden. LO GILA!"

"Berentiin aja mobilnya. Gue–"

Dayana langsung mematikan saluran teleponnya. "Lo pindah belakang. Kasih tau temen lo untuk deketin mobilnya, sedekat mungkin supaya lo bisa pindah sana," desaknya.

"Dia gak bercanda 'kan?" Ace masih tidak percaya dengan ucapan Alden.

"Alden gak pernah bercanda dengan ucapannya. Gue butuh lo untuk laporin ke polisi sebelum dia bunuh diri." Dayana berusaha untuk tidak memelankan laju mobilnya.

"Terus lo sendiri gimana? Gak bakal gue tinggalin lo sendirian."

"Terus lo ikut mati sama gue? Jangan gila. Lo punya tugas yang lebih penting dibandingkan harus temenin gue. Kalo lo nanya kenapa gue lakuin ini semua, ini suruhan brengsek itu. Sepupu gue yang bahkan gue gak tahu namanya siapa," beritahu Dayana.

Ace menggeleng. "Lo ikut gue. Keluar bareng," paksanya. Walaupun dia sempat dongkol dengannya, tapi jika urusan mati, itu berbeda.

"Percuma gue hidup kalo si brengsek itu masih hidup. Lebih baik gue mati di tangan Alden daripada dia. Udah sana lo, gak usah so dramatis," suruhnya.

Jika sudah begitu, mana bisa Ace membantah perintahnya. Ia langsung berpindah ke belakang. Terlihat dari spionnya bahwa mobil Kai sudah mulai mendekat setelah ia suruh.

"Samping lo, ada berkas tentang kasus Alden. Setelah keluar, lo harus segera lapor ke polisi supaya tangkap dia. Jangan biarin dia bunuh diri, gue gak mau usaha gue sia-sia. Lo denger gue 'kan?" Dayana melihatnya terdiam melalui kaca yang mengarah ke belakang.

"Lo mau gue keluar 'kan? Sendiri?" Jujur, itu pilihan terberat baginya.

"Iya. Tepatin janji gue atau gue bakalan marah besar sama lo disana," gertak Dayana.

Bahkan Ace tahu maksud 'di sana' versi Dayana adalah akhirat. Dayana seperti sudah tidak punya tenaga lagi untuk hidup dan berpasrah dengan apa yang akan terjadi padanya.

"Gue bakal tepatin janji lo."

Itu kata terakhirnya sebelum ia benar-benar melangkah keluar di antara dua mobil yang sedang melaju. Tidak pernah dibayangkannya jika hidupnya akan melakukan hal ini. Syukurlah Kai benar-benar paham menyetir sampai ia dapat pindah dengan aman.

Ia menutup pintunya kembali dengan satu tangan yang memegang map cokelat yang harus ia kasih ke polisi.

"Berhenti. Jangan ikutin dia."

Sesuai permintaannya, Kai pun memberhentikan mobilnya. Semua pandangan tertuju pada Ace yang matanya sayu sambil menyerahkan berkas itu kepada Kai.

"Kabarin ke ayah lo. Suruh datangi seluruh tempat yang ada disitu. Pelakunya mau bunuh diri. Cepetan," ujarnya lirih.

Ace benar-benar menuruti permintaan Dayana. Berhenti dan melapor. Jujur hatinya masih terasa janggal ketika ia menerima permintaan Dayana. Hanya dia yang menyelamatkan diri? Tidak dengan Dayana? Terdengar seperti bukan salah satu sifat manusia.

Berkas yang dipegang Ace pun diterima Kai. Dibantu dengan Keenan, mereka bisa langsung tahu tempat mana saja yang berkemungkinan Alden berada. 

"Lo kenapa?" tanya Aludra tidak mengerti dengan sikap Ace yang tiba-tiba berubah.

Ace menggeleng, tidak menjawab. Seakan tidak boleh ada orang yang mengganggunya. Ia yakin pasti ada sesuatu yang membuat Ace bisa seperti ini. Gadis itu membiarkannya terdiam dengan sejuta pemikiran yang ada di pikirannya.

DUAR!!

Suara cukup keras pun terdengar oleh mereka. Walaupun tidak terlihat di mana pun dari mana asal suaranya, tapi cukup banyak kepulan asap yang mulai beterbangan ke langit. Kepulan asap itu semakin lebat, membuat pandangan mereka sedikit terganggu.

Di saat itu juga, mereka mendengar suara tangisan yang tidak pernah di dengar sebelumnya. Dan saat itu juga, mereka tahu bahwa Ace menyimpan suatu rahasia yang belum diceritakan sampai membuat tangisnya pecah.

ఇ ◝‿◜ ఇ

TO BE CONTINUED

ఇ ◝‿◜

Cassiopeia ✔️Where stories live. Discover now