Bab 58

11.3K 1K 43
                                    

Kelopak mata Ajeng berkedip-kedip, berusaha menyesuaikan dengan cahaya. Sesat kemudian, kedua matanya terbuka sempurna. Netranya langsung disuguhkan pemandangan yang sangat mengagumkan.

Bulan di atas sana. Warnanya tidak seperti biasanya, yakni sekarang berwarna orange- tembaga kemerahan 'Gerhana bulan total', dan dikelilingi oleh awan berwarna abu kehitaman.

Senyuman manis terbit di wajah cantiknya saat menyaksikan keajaiban itu. Ya, Ajeng menganggap apa yang dilihatnya sekarang adalah sebuah keajaiban langkah. Tidak semua orang beruntung bisa menyaksikan itu.

Saking asyiknya mengagumi ciptaan Tuhan yang satu itu, hingga Ajeng tidak sadar dengan apa yang ada disekitarnya.

Ajeng mengangkat tangannya, seperti akan menyentuh bulan itu. “Kalau gue punya sayap, gue pengen baget terbang kesana. Gue ambil tu bulan, abis itu gue kantongin. Bawa pulang ke bumi.” Ucapnya lalu cekikikan.

“Ada rumah nggak sih di bulan?”

“Apa ada orangnya?”

“Setan, hantu, dan sejenisnya, ada nggak, ya?”

“Pengen ngajak Lintang jalan-jalan kesana deh.”

“Tapi kalau nggak ada makanan, gue ogah!”

Ajeng dengan segala pertanyaan dan kata-kata tak masuk akalnya.

“Gue sentil lo bulan, ciyatt,...”  Menjentikkan jarinya seperti sedang menyentil bulan itu.

“Hiyakk,...  gue pencet-pencet lo!” Sungguh sangat tidak jelas sekali manusia satu itu.

“Tapi kenapa nggak gerak-gerak, ya? Biasanya kan bulan tuh gerak maju. Berputar gitu ngelilingin bumi. Eh.... tapi bukannya bumi yang berputar, ya? Bener nggak sih?” Tanyanya entah pada siapa.

Beberapa menit kemudian, setelah puas berceloteh tidak jelas, Ajeng mengalihkan pandangannya. Ia menoleh kesamping kiri. Satu detik... dua detik... hingga didetik ke sepuluh, kedua bola matanya sontak membulat sempurna, menyaksikan keadaan di sekitarnya. Ajeng kaget sekaget kagetnya.

Segera menegakkan tubuhnya menjadi duduk. Pandangannya mengedar kesegala arah. Dan berusaha mencerna situasi dan keadaan sekitar.

Ternyata, Ajeng duduk di atas batu datar berukuran tidak terlalu lebar. Mungkin hanya muat untuk tiga orang saja. Sejauh mata memandang, Ajeng hanya melihat air, langit dan bulan saja. Ajeng tidak melihat adanya daratan.

“Lah, kok gue bisa ada di tengah laut?”

Baru sadar jika kini dirinya ternyata berada ditengah lautan. Bukankah dirinya sedang... sedang... sedang apa? Berusaha mengingat apa yang tadi ia lakukan hingga berakhir ditempat seperti itu?

Nihil. Meski Ajeng sekuat tenaga mencoba, ia tetap tidak bisa mengingatnya. Lebih sialnya lagi, ia bahkan tidak tahu siapa dirinya.

“Gue siapa?” Tanya Ajeng entah pada siapa.

“Siapa Lintang?” Bukankah tadi ia sempat menyebut nama itu?

AJENG (COMPLETED)Where stories live. Discover now