BAB 4

17.9K 1.2K 9
                                    

“Nggak usah. Gue mau nunggu bus aja.”

Kali ke-lima, Ajeng menolak tawaran Dara yang memaksa ingin mengantarnya pulang.

“Pokoknya gue nganterin lo pulang ke rumah! Ini udah sore tau, Jeng! Lo nggak usah capek-capek nungguin bus.”

“Tapi,...”

“Nggak ada tapi-tapian! Pokoknya gue anter lo pulang!” Potong Dara cepat. Gadis berambut pendek itu tetap keukeh ingin mengantar Ajeng pulang ke rumahnya.

“Tunggu disini, gue ambil motor dulu di parkiran,” Lanjut Dara, sebelum Ajeng kembali menolak.

Gadis itu berjalan ke arah parkiran untuk mengambil motornya. Mau tak mau, Ajeng pun menuruti perintah Dara.

Ajeng berdiri di dekat pagar. Sembari menunggu Dara, Ajeng mengambil hoodie yang ia simpan di dalam tas, lalu memakainya. Tak lupa juga kupluk hoodienya ia pasang di kepala.

Seperti biasa, dimana pun Ajeng berada, pasti selalu ada hantu berbagai macam bentuk dan rupa di sekelilingnya. Suara-suara mereka pun berlomba-lomba memasuki pendengarannya. Kebetulan ia tidak memasang headsetnya.

Namun, bukan itu yang Ajeng permasalahkan sekarang, melainkan ia sedang memikirkan hukuman yang akan diterimanya jika ia pulang terlambat seperti sekarang.

Sejak kecil, ketika Ajeng pulang terlambat, pasti kedua orang tuanya tak segan untuk menghukumnya. Tak diperbolehkan untuk makan dan minum selama sehari semalam. Jadi terpaksa ia harus menahan rasa haus dan laparnya.

Kadang, Ajeng juga tidak diperbolehkan masuk ke rumah, hingga membuatnya terpaksa tidur di teras, tanpa bantal, selimut atau pun pelindung lainya. Yang lebih parahnya lagi, mereka juga tak segan untuk memukulnya hingga tubuhnya penuh luka.

Padahal, Amel juga sering pulang terlambat, bahkan pulang saat sudah larut malam, tapi dia tidak pernah mendapat hukuman. Sangat berbeda dengan dirinya, telat satu menit saja maka ia harus siap-siap menerima akibatnya.

Tak berselang lama, Dara muncul dari parkiran dengan mengendarai motor metic-nya dan berhenti tepat di samping Ajeng.

“Ajeng,” Panggilan itu membuat Ajeng tersadar dari lamunannya. Ia menoleh menatap Dara yang sudah berada di sebelahnya dengan helm berwarna pink di kepalanya.

“sorry ya, gue lama.” Kata Dara.

“Nggak lama kok.” Sahut Ajeng.

“Ya udah, lo naik di boncengan gue, Jeng,"

Ajeng pun naik di boncengan Dara, duduk menyamping.

“Sudah?” Dara melirik Ajeng melalui spion motornya.

“Sudah.” Jawab Ajeng disertai dengan anggukan pelan di kepalanya.

Dara menyalakan mesin motornya, mengendarainya menuju jalan raya, bergabung dengan kendaraan lainnya.

“AJENG, RUMAH LO DIMANA?” teriak Dara bertanya. Ia berteriak agar suaranya didengar oleh Ajeng. Padahal berbisik pun pasti Ajeng akan mendengarnya.

“Di perumahan melati nomor 23 C.” Ajeng menyebut alamat tempat tinggalnya.

“APA? PERUMAHAN MELATA NOMOR 33?” Dara berteriak lagi. Membuat beberapa pengendara menatap aneh ke arah gadis itu.

AJENG (COMPLETED)Where stories live. Discover now