lima puluh enam. (DARENZA)

68 5 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*
*
*

Usai janji yang Darenza buat untuk ke rumah Adit, hari ini laki-laki dengan hoodie putih itu menepati janjinya. Tapi ia tak langsung ke sana. Ada tanding futsal terlebih dahulu yang harus diikuti.

Darenza mencari-cari Mamanya dari mulai mengetuk kamar utama yang tidak mendapat jawaban, mencari ke ruang keluarga, meja makan, ke taman belakang rumah, dan satu tempat yang lupa ia datangi, yaitu dapur.

Benar saja Mamanya berada di sana. Itu merupakan tempat sakral para ibu-ibu, kenapa dirinya bisa lupa ya?

“Darenza nyariin Mama dari tadi,” ucap Darenza seraya menyomot masakan Mamanya yang masih di kuali.

“Anak Mama udah ganteng banget, mau ke mana sih sayang?” Chalya merapikan anak-anak rambut Darenza yang berantakan.

“Mau tanding futsal.”

“Lagi?” Chalya terkejut. “Belum sampai seminggu jaraknya, kamu mau main futsal lagi?”

“Iya Ma. Itung-itung ngobatin rindu gara-gara lama di rumah sakit.”

“Tapi janji sama Mama jangan capek-capek ya?” pinta Chalya.

Darenza berdehem.

“Inget loh dua minggu lagi kamu harus balik ke rumah sakit untuk cek perkembangan kondisi kamu. Jangan sampai dilupakan.” Chalya memberi peringatan tegas kepada Darenza.

“Iya Mamaku sayang.” Setelah menjilat jari jempolnya karena ada noda makanan, lalu ia mencium pipi Chalya gemas.

“Kamu mau meper ya ke Mama?” Chalya menyipitkan matanya.

“Hehe. Sedikit.” Chalya makin menatapnya tajam. “Bercanda Ma.”

Chalya mengusap rambut Darenza penuh sayang. “Hati-hati kamu. Bawa motornya pelan-pelan aja.”

“Pulangnya aku mampir ke rumah Adit dulu ya?”

Chalya mengangguk.

🔥🔥🔥

Selesai dengan acara pertandingan di Gor Rajawali, Darenza langsung masuk ke toilet umum untuk mengganti baju futsalnya ke pakaian yang lebih santai.

Walaupun lama dirinya berada di rumah sakit, skill bermain bolanya tidak bisa diragukan. Pertandingan yang belum lama ini, tim Darenza yang memenangkan dan sekarang juga begitu. Hanya selisih beberapa poin, cukup menegangkan pertandingan kali ini.

Sengit waktu di lapangan, tapi kembali membangun solidaritas ketika di luar lapangan. Kedua tim yang berlawanan itu tampak santai sekarang.

“Gua cabut duluan ya?” Darenza hanya menyampirkan tas gendongnya di satu pundak sambil tangannya terus bergantian menjabat tangan teman-temannya.

“Hati-hati lo,” ucap sang kapten lawan.

Darenza mengangguk dan kakinya pergi menjauh dari area Gor menuju tempat parkir. Darenza menggelengkan kepala untuk mengibaskan rambutnya yang basah oleh keringat, lalu menyurai rambutnya ke belakang beberapa kali, setelah itu baru memakai helm full facenya.

Tak lama mesin motornya menyala. Deru asap yang mengepul keluar dari knalpot motor kala laki-laki itu menggasnya kencang.

Arah motornya menuju rumah Adit. Perasaan tak sabar tiba-tiba menyelinap. Bayangan wajah Bunda Adit yang terlintas di pikirannya itu yang menyebabkan ia menambah kecepatan motornya lagi.

🔥🔥🔥

Tok... Tok... Tok...

Beberapa kali ketukan yang Darenza buat di pintu rumah Adit, terbuka juga pada akhirnya. Keluar Bunda Adit yang menyambut kedatangan Darenza.

“Assalamualaikum Bunda,” sapa Darenza menyalami tangan ibu paruh baya di depannya.

“Walaikumsalam.” Bunda Adit mengusap kepala Darenza.

“Ayo masuk.” Darenza mengangguk.

Dua orang beda generasi itu duduk di satu sofa yang sama.

“Kamu mau ke sini kok gak bilang-bilang,”

“Sengaja Bun, 'kan biar surprise,”

“Kamu ini.” Bunda Adit ikut melemparkan senyum saat Darenza terkekeh. “Yaudah Bunda buatin minum dulu buat kamu.”

“Air putih aja Bun,” ucap Darenza.

Bunda kembali dengan membawa air putih di tangannya. Ia meletakkannya di atas meja, obrolan di antara mereka pun dimulai.

Membahas tentang kenapa Darenza bisa masuk rumah sakit, menanyakan kabar kedua orang tua Darenza, mengobrol tentang kegiatan harian mereka, dan masih banyak lagi pembicaraan yang berembet ke mana-mana.

Sampai pada pembicaraan Bunda menanyakan seorang perempuan yang sedang dekat dengannya, ia pun terdiam seketika.

“Sulit Bun,” ungkap Darenza.

“Kamu belum ceritain udah bilang sulit aja. Kenapa emangnya?”

“Darenza suka sama dia udah lama banget Bun sebenernya. Tapi dia gak pernah nengok ke arah Darenza. Dia baik, tapi entahlah.” Darenza mengembuskan napas gusar.

“Darenza rasa dia baik karena kasian aja sama Darenza yang terus ngejar dia.”

Bunda mengelus lengan Darenza penuh sayang. “Bunda kok jadi penasaran ya sama orangnya. Siapa dia, Dar? Kali Bunda kenal.”

Darenza menoleh. “Namanya tuh ...”

“Kita pulang. Assalamualaikum.”

“Orangnya dia Bun.” Darenza sempat terkejut atas kedatangan Adit bersama Vi yang membawa tentengan makanan siap saji. Namun, Darenza bisa dengan cepat menetralkan ekspresinya.

Bunda melotot ke arah Darenza. Ia tak percaya. Mata Darenza menatap sendu ke orang yang disebutnya tadi. Menandakan pernyataan dia benar.

“Walaikumsalam. Sini duduk,” ajak Bunda.

Vi duduk di hadapan Darenza. “Lo ngikutin gua ke sini?”

Darenza menggelengkan kepalanya kuat. “Nggak. Hari ini emang gua pengen ke sini ketemu Bunda.”

“Kalian ini berdua mau pada ke sini tapi gak bilang dulu. Bunda gak tau jadinya gak masak 'kan.”

“Adit beli makanannya banyak kok Bun. Tenang aja. Ini mah pasti cukup buat mereka.” Adit menunjuk tamunya menggunakan gerakan bibir.

“Ayo pada makan dulu,” ucap Bunda yang tadi sempat ke dapur terlebih dahulu untuk mengambil beberapa piring.

“Makan lo,” titah Adit menyodorkan sepiring makanan ke hadapan Darenza.

“Gua gak laper.”

“Masa iya abis tanding futsal gak laper.”

Uhuk...

“Eh Vi, kenapa?” Adit memberikan segelas minuman. Vi menghabiskannya hingga tandas.

“Seharusnya lu bisa lebih aware ya Dar sama kesehatan lo. Lo baru keluar dari rumah sakit Dar. Belum lama ini kata Adit lu tanding futsal, terus sekarang lagi? Kalo lo kenapa-napa lu bakal dirawat di rumah sakit lagi, bisa gak sih gak bikin orang lain khawatir?” Vi mengeluh sangat lapar beberapa menit yang lalu, kini nafsu makannya jadi hilang.

“Emang batu anaknya. Omelin aja Vi. Kalo gua yang ngomong gak pernah didenger.” Adit ikut mengompori, langsung dihadiahi sikutan dari sang Bunda.

“Sedikit capek sama hubungan yang gak berujung,” ucap Darenza tiba-tiba di keheningan yang sempat tercipta.

“Darenza pamit pulang dulu ya Bun. Mama di rumah sendirian soalnya.” Darenza mencium punggung tangan Bunda.


TBC



DARENZA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang