dua puluh sembilan. (DARENZA)

129 24 2
                                    

Sebelum baca jgn lupa vote dulu yakk:)

Happy reading!♥️

.
.
.


Hampir sebungkus rokok Darenza habiskan dalam sekejap. Pikirannya akhir-akhir ini sedang kalut. Cafenya yang ada di Bandung sedang ada masalah dan tak kunjung selesai. Masalahnya cukup pelik sampai terancam bangkrut.

Darenza yang baru belajar membuka cafe tanpa bimbingan dari siapapun merasa down dengan masalah ini. Belum lagi sahabat-sahabatnya yang tiba-tiba saja menghilang bak di telan bumi. Padahal saat ini support dari merekalah yang sangat membantu.

Langit malam ini terlihat ikut bersedih bersama Darenza. Tak ada bintang di langit, hanya ada bulan sabit yang menerangi malam Darenza.

Rokoknya terselip di jari-jari tangannya yang saling bertaut. Matanya menatap sendu ke arah langit.

"Maafin Dar ya bang. Gak becus jagain cafe." Darenza memberi jeda. "Please, jangan kecewa sama gue."

Mengucapkan kalimat itu sambil membayangkan wajah abangnya, Darenza sampai sesak memikirkannya.

Ia melihat binar mata abangnya saat mereka berhasil membangun cafe ini dan buka cabang kedua di Bandung.

Sekarang Darenza malah melihat tatapan sayu dan senyum kecewa yang terpampang di wajah abangnya.

Tak kuasa melihat langit lebih lama karena terlihat wajah abangnya di sana, Darenza memejamkan mata. Namun tanpa sadar, ada bulir air yang keluar dari sudut matanya.

Darenza terduduk lemas. Badannya ia sandarkan di penyangga balkon. Rokoknya terlepas dari tangannya. Kakinya menekuk dan kedua tangannya ia jadikan tumpuan untuk kepalanya.

Dalam diam Darenza menangis.

Ia sungguh merasa bersalah karena tidak bisa menjaga amanat abangnya. Walaupun saat-saat terakhir abangnya di dunia tidak mengatakan apa-apa tentang cafe tapi Darenza tau membuka sebuah cafe adalah keinginan terbesar abangnya yang akhirnya bisa terwujud. Namun sekarang... Darenza dengan begonya memberi kepercayaan kepada orang yang baru dikenalnya kurang dari satu tahun.

Darenza menyerahkan seluruh pendapatan cafe yang ada di Bandung ke bagian keuangan. Dan sekarang uangnya dibawa lari oleh orang itu. Tak hanya itu, barang-barang persediaan cafe yang ada di gudang ludes tak tersisa. Itu semua diambil olehnya.

Dan cafe di Bandung itu merupakan center dari ketiga cafe milik Darenza.

Bisa dibayangkan, berapa banyak karyawan yang dipikul di pundak Darenza? Berapa banyak orang yang bergantung sama Darenza? Dan kini, kalo mau bangkrut, gimana nasib karyawan-karyawan itu?

Darenza memukul-mukul pelan dadanya. Rasa sesak itu begitu menyeruak di hatinya. Ia tak kuasa menahan isak tangisnya.

Baru anak SMA tapi sudah menanggung beban yang cukup besar.

Dan ... ia tak berani cerita ini ke orang tuanya. Ia takut nantinya malah di damprat habis-habisan.

Fyuhh...

Bukannya saat kita lelah, tempat ternyaman adalah pulang?

Itu tidak berlaku untuk Darenza. Menurutnya, berkelana di luar jauh lebih menjanjikan.

DARENZA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang