lima puluh satu. (DARENZA)

87 8 0
                                    

Bondan malah tertawa. “Omong kosong apa yang sedang Anda bicarakan?”

“Saya bersumpah. Saya serius mencintai dan sayang dengan tulus ke Papamu. Soal masalah harta, saya bukan wanita lemah yang hanya bisa meminta-minta kepada laki-laki. Saya juga bekerja dan bisa mendapatkan uang sendiri dan Papamu juga tidak melarang saya untuk bekerja,”

“Jadi bagian mana saya yang akan mengemis meminta harta dengan Papamu?”

Bondan mengembuskan napas kasar. “Buktikanlah.” Setelahnya ia masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Nadira sendiri di sana.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Bondan kembali dari kamarnya dengan memakai baju santai. Seragam sekolahnya yang tadi basah kuyup telah ia masukkan ke mesin cuci.

Langkah kaki Bondan mengarah ke meja makan karena panggilan dari Papanya yang berada di sana bersama teman-temannya dan perempuan itu.

Untuk saat ini hatinya masih enggan menerima Nadira dan mengakuinya sebagai Mama. Menurutnya, Mamanya ya cuma satu dan telah meninggal dunia, tapi tetap selalu ada di hatinya.

“Sini Nak makan malam bareng,” ucap Jerico seraya menarik tempat duduk di sebelahnya.

Karena sudah disediakan, Bondan langsung duduk saja.

“Udah lama ya kita gak makan bareng satu meja gini,” ungkap Jerico.

Bondan memandang masam tepat ke sebelahnya yang terdapat Papanya sedang duduk. Pikirnya, bukan lama lagi, tapi lama banget. Papanya aja enggan menatap ke arahnya setelah Mamanya meninggal.

“Waktu Papa aja kebanyakan habis di luar rumah.” Bondan mengeluarkan senyum miringnya.

“Kalo Papa pulang ke rumah, kamu yang ngabisin banyak waktu di luar,”

Skak!

Bondan kalah telak. Yang dikatakan Papanya benar. Tapi, ada alasan ia melakukan itu. Ia hanya menghindari Papanya supaya mereka tidak bertengkar. Karena pasti mereka akan ada saja hal yang diributkan. Terutama Bondan yang sangat tidak suka kalau Papanya pulang ke rumah membawa wanita-wanita jalang yang entah dipungut dari mana. Apalagi dengan keadaan Papanya yang bau alkohol karena kebanyakan minum. Bondan sangat tidak suka itu.

Setelah Nadira mengambil nasi dan lauk di piring Papanya, Bondan menangkap pergerakan perempuan itu yang akan mengambil piring di hadapannya.

Dengan sigap, Bondan menarik piringnya. “Mau ngapain?”

“Kamu mau makan pakai apa? Biar aku ambilin,” jelas Nadira.

“Maaf, tapi saya bukan anak TK yang gak bisa ambil makanan sendiri.” Bondan langsung mengambil nasi dan beberapa lauk yang diinginkannya.

Vi yang melihat sikap Bondan sangat dingin kepada ibu tirinya, ia meringis. Apa perasaan Tante Nadira baik-baik saja atas sikap Bondan itu? Setidaknya jika memang tidak mau diambilkan lauk di piringnya, Bondan bisa mengatakan tidak dengan kata yang lebih sopan lagi.

Jerico memegang tangan Nadira yang duduk di depannya. Ia memberikan senyum tipis dan memberi isyarat untuk Nadira memakan makanannya saja.

Ekhem. Ini di meja makan bukan mau nyebrang jalan. Gandengan aja.” Bondan menyindir sambil mengunyah makanan dan hanya fokus ke piringnya.

Jadinya, makan malam di rumah Bondan kali ini terasa canggung. Atmosfer dingin menyelimuti sekali dari Bondan. Wajahnya datar, namun tatapan matanya tajam. Sangat menggambarkan suasana hatinya tidak bersahabat dengan gembira.

DARENZA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang