empat puluh sembilan. (DARENZA)

66 8 0
                                    

NOTED : PART INI LANJUTAN PART SEBELUMNYA!


HAPPY READING!💗

*
*
*

Kedua tangan Darenza sibuk bergerak luwes di atas keyboard laptop. Tugas sekolahnya tak kunjung usai, kepalanya sudah berat minta diistirahatkan. Tangannya menolak berhenti, pikirannya juga berkata tanggung. Jadi, Darenza memilih melanjutkan saja dengan mata menahan kantuk.

Tubuh Darenza bersandar pada sofa. Dari samping, ada Vi yang sedang memeluknya dan menenggelamkan wajah di ceruk lehernya. Terlalu fokus dengan tugas, sampai tidak menyadari suara deru napas Vi di lehernya.

Sebelum posisi seperti ini, ada perdebatan kecil dulu.

“Dar, boleh gak?” tanya Vi tiba-tiba memecahkan keheningan yang sempat tercipta.

“Boleh apa?” Darenza bertanya balik.

“Meluk?” Vi sendiri terlihat ragu dan tak percaya.

“Yang jelas Vi.” Darenza masih berusaha untuk sabar.

Vi mengerucutkan bibirnya. Ia kesal Darenza tidak peka. Atau laki-laki itu hanya pura-pura? Vi merasa Darenza mengetahui maksudnya.

“Nggak jadi. Selesaiin aja tugas lo,” ucap Vi memalingkan muka.

Darenza tidak tahan melihat bibir ranum Vi semakin dibuat maju layaknya mengikuti gaya bebek. Pelan tapi pasti Darenza menarik tangan Vi dan direngkuh tubuh perempuannya.

Vi bernapas lega, benar bukan Darenza hanya mempermainkan dirinya? Masih kesal, tapi Vi membalas dekapan hangat Darenza.

Darenza mencium aroma sampo dari puncak kepala Vi. Ia menghirupnya dalam-dalam. Darenza merasa mabuk sekarang. Bukan mabuk yang pusing karena mencium aroma menyengat, melainkan mabuk karena aroma khas itu sangat cocok masuk ke indra penciumannya, dibuat candu Darenza sekarang.

“Boleh meluk lo tiap hari Vi?” Kini malah Darenza yang meminta. Terdengar nada memohon dari suara Darenza.

Hm,” balas Vi seadanya. Tangan Vi sibuk mengelus punggung tegap Darenza dan matanya berbinar kala memikirkan tubuh tegap milik seorang laki-laki yang ada di dekapannya selalu membuatnya merasa tenang, terlindungi, dan selalu melindunginya. Terdengar agak melankolis, tapi kalau diingat mundur, memang seperti itu adanya.

Masih fokus dengan tugasnya, pintu markas terdengar ada yang membuka dan masuklah teman-temannya. Darenza melirik sebentar, lalu kembali menatap layar laptop.

“Ngapain lo berdua?” tanya Lana duduk di seberang Darenza.

“Yang lo lihat?”

“Lo natap layar sambil pelukan?”

“Letakkan dia yang benar, pas bangun leher atau seluruh badannya bakal sakit karena tidur gak nyaman seperti itu,” kata Adit yang ikut duduk di sebelah Lana.

“Dia tertidur?”

“Oh, God. Lo yang di sampingnya gak sadar dengkuran halus yang keluar dari mulutnya?” tanya Lana, matanya menajam menatap Darenza.

Darenza menggeleng atas pertanyaan Lana barusan. Daripada berdebat panjang lagi, langsung saja Darenza membaringkan tubuh Vi dengan nyaman di atas sofa. Ia mengangkat kepala Vi sedikit dan memberi bantal sofa di bawah kepala itu.

“Selimut di samping lo,” pinta Darenza melirik sebelah Lana.

Lana mengambil dan melempar pelan ke Darenza. Cukup telaten Darenza menyelimuti Vi. Ia tak mau Vi terbangun dari tidurnya.

DARENZA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang