Bab 6: Aku Takkan Pergi

27 4 21
                                    

🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜

Seorang gadis Elf berumur 13 tahun sedang mengamati langit sore yang terhalangi pepohonan. Cahaya oranye nan lembut menyinari dirinya yang tengah berdiri sendirian saja. Tempat ia berdiam saat ini berada di bangunan tertinggi Desa Elf. Tempat yang sepi dan hanya dikunjungi oleh orang yang ingin melihat pemandangan desa secara menyeluruh.

"Kenapa ... orang-orang melihatku seperti itu?"

Dipandang dengan tatapan aneh dan jijik, hal buruk apa yang telah ia perbuat? Ia hanya seorang gadis kecil yang sedikit berbeda dari Elf lainnya.

Alea, anak kedua dari Nona Isle dan Tuan Pallto. Bagi para Elf di dunia ini, memiliki anak kedua merupakan hal yang tabu. Elf sama sekali tidak diperkenankan memiliki lebih dari satu keturunan. Jika terus memaksa menginginkannya, maka akan ada nyawa yang melayang. Ntah sang anak atau ibunya. Bahkan bisa saja keduanya. Dalam kasus ini, Nona Isle lah yang meninggal.

Tak hanya itu, 'anak kedua' Elf akan memiliki sedikit perbedaan. Jika mereka berhasil terlahir, ada beberapa kemungkinan. Ntah mengalami kecacatan fisik, gerbang sihir yang rusak atau pun kapasitas mana yang sangat kecil. Alea mengalami kondisi yang terakhir.

"Kenapa Ibu dan Ayah menginginkan anak kedua, ya?"

Meski dengan konsekuensi yang telah diketahui, kenapa orangtua Alea melakukan 'itu'? Mereka sudah memiliki anak lelaki yang kuat, gagah dan pemberani. Apa gunanya menginginkan anak yang lain? Alea terus-menerus mempertanyakan alasan ia terlahir. JIka saja ia tidak ada, penduduk Desa Elf pasti akan lebih senang karena Nona Isle tetap hidup. Bagi penduduk desa ini, Nona Isle bagaikan seorang malaikat!

"Orang-orang pasti terganggu dengan kehadiranku."

Alea melangkahkan kaki ke tepian lantai kayu yang tak berpagar itu. Kakinya yang tak beralas kaki, kini berada tepat di ujung lantai. Gadis itu bisa melihat tanah coklat kemerahan hutan yang terletak jauh bermeter-meter di bawah.

Mata hijaunya yang tak menunjukkan ekspresi apapun memandangi sekitar dari depan hingga ke bawah. Melihat ke sekeliling, tidak ada Elf lain. Mungkin satu atau dua lantai di bawahnya masih ada Elf yang berlalu lalang. Tapi itu tidak masalah. Tak akan ada yang melihatnya. Kalaupun ada, tak akan ada yang mencegahnya.

Gadis itu sudah lelah untuk belajar, menambah keterampilan dan berusaha menyaingi ibunya.Waktu ratusan tahun yang dihabiskan Nona Isle untuk mengasah berbagai hal--Alea berusaha melakukannya juga. Di tubuhnya yang masih kecil, ia terus memaksakan diri. Mungkin dirinya tidak akan pernah bisa menjadi ahli sihir hebat seperti Nona Isle, tapi ia bisa menjadi wanita berwawasan luas sepertinya.

"Ha ... nya satu langkah lagi."

Satu langkah lagi, semuanya berakhir. Ia akan tenang, begitupula penduduk Desa Elf yang takkan terganggu lagi melihat wajahnya yang sangat mirip dengan Nona Isle. Tuan Pallto dan Grimm pasti baik-baik saja, mereka yang terkuat di sini, pikir Alea.

Tekadnya sudah bulat, namun rasa takut masih menghampiri. Ekspresi wajah yang ia buat sedatar mungkin tak bisa menutupi rasa takutnya. Tangan kecilnya sedikit bergetar saat satu kakinya melangkah ke udara. Dengan menutup mata, semuanya pasti akan terasa cepat meski mungkin sedikit menyakitkan. Hanya sensasi berangin yang kan terasa--

"Aku pergi dulu, Kakak."

--Gadis itu pun menjatuhkan diri.

Dunia seakan-akan melambat. Hembusan angin yang menerpa kulit pucatnya membuat Alea sedikit merinding. Inilah ketenangan dan kedamaian yang selama ini ia cari.

Saat ia pikir semua akan segera berakhir, Alea membuka matanya karena merasakan seseorang memeluk tubuhnya.

"Kakak?"

Taste of Noodle Where stories live. Discover now