Bab 23: Harga Tetap

16 4 15
                                    

🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜

Malam semakin larut. Rui Archwood masih tertidur dengan pulasnya. Lelaki itu tidur seperti bayi. Suara apapun tidak akan membangunkannya. Namun, dalam keadaan tertidur, ia merasakan sesuatu yang berat di tangannya yang sedang terlentang.

Rui menoleh ke arah tangannya dan perlahan membuka mata. Ia melihat seorang bocah berambut oranye yang tertidur di atas tangannya.

"A--!" Rui segera menutup mulut dengan tangannya yang satu lagi agar tidak berteriak.

Tanpa pikir panjang, ia mendorong tubuh Willy agar tangannya terbebas. Tubuh bocah itu berguling dan berhenti di posisi tengkurap. Rui merasa tenaga yang ia keluarkan terlalu besar, untung saja tubuh Willy tidak menabrak dan merobek tenda.

Setelah melamun beberapa saat, Rui merangkak ke luar tenda. Api unggun yang ia dan yang lainnya nyalakan masih menyala dengan redup. Di sebrang api unggun itu terdapat Alea yang bersandar pada Hans.

"Bagus, Hans. Kau selingkuh dariku."

Rui masih merangkak dan ikut bersandar pada Hans di sebelah Alea. Dalam cahaya redup seperti ini, gadis itu tengah menulis sesuatu di buku hariannya. Meski sudah setahun berlalu, buku itu tak kunjung habis. Terdapat ratusan lembar di dalamnya.

Rui hanya diam memerhatikan wajah temannya yang sedang serius menulis. Lelaki itu pun tersadar, meski seorang Elf memiliki penuaan yang lambut, namun rambut dan kuku mereka masih tumbuh seperti manusia pada umumnya. Rambut poni pirang Alea sudah semakin panjang dan hampir menutupi mata. Rui ingin memotongnya. Namun, tentu saja ia tidak bisa.

Tiba-tiba Alea menutup bukunya dengan keras. Hingga aroma kertas dalam buku itu keluar. Rui yang tengah mengamatinya pun terkejut karena suara yang ditimbulkan buku tersebut. Alea pun menengok ke arah lelaki itu.

"Oh, kau ternyata ada di sini, Rui?"

"Hah?! Dari tadi kau tidak sadar aku di sini?!"

Alea menggelengkan kepala sambil menahan tawa, tentu saja ia berbohong. Ia menyadari jika sejak tadi lelaki itu memperhatikannya.

"Willy sudah tidur. Anak itu tidur di atas tanganku. Argh! tanganku jadi mati rasa." Rui menggerutu sambil memijat tangan kirinya.

"Hmm ya aku mengerti bagaimana rasanya. Saat kau tidur semalaman di bahuku, bahuku juga mati rasa, huhu."

"H-hei jangan mengungkit itu! Itu momen yang memalukan!"

"Haha, tidak apa-apa. Kalau kau mau, aku akan memberikanmu bahuku lagi untuk bersandar."

"Tidak, tidak ..." Rui menundukkan kepala, suaranya pun sangat pelan. Kemudian, lelaki itu menaruh tangan ke mulutnya seperti sedang berpikir. Alea menanggapi itu dengan memiringkan kepala.

"Apa? Aku tidak mendengarmu."

Rui pun memperbaiki posisi duduk dan meregangkan kedua bahunya. Dengan ragu Rui berkata,

"Ugh, b-bagaimana ... kalau sekarang, aku yang meminjamkan bahuku untuk--"

"--Ah! Maaf, Rui. Tapi, aku sedang ingin merebahkan diri di atas kursi yang empuk. Dah! Selamat malam!"

Sembari tergesa membawa barang-barangnya, Alea berlari begitu saja ke dalam kereta. Meninggalkan Rui yang bahkan belum menyelesaikan kalimatnya.

"Apa aku baru saja ditolak?"

Rui memegangi bahu kanannya. Padahal ia berharap Alea mau bersandar di bahunya. Mungkin gadis itu masih malu akibat kejadian tadi siang, pikirnya. Jika Rui tidak melakukan itu, apakah saat ini Alea mau bermalam bersamanya di luar?

Taste of Noodle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang