Bab 9: Perasaan Mengganggu

38 20 19
                                    

🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜

Rui dan Alea tiba di desa sebelum matahari terbenam. Saat mereka sampai di rumah, Grimm masih tertidur. Rui bisa bernapas lega.

Bagaimana cara mereka pulang meski sempat tersesat? Terimakasih pada Alea. Iya melompat ke atas pohon dan memanjat ke puncak untuk melihat ke sekitar. Dari atas, ia bisa melihat jelas ladang bunga tadi. Dengan mudah mereka menyusuri hutan.

Perjalanan mereka sedikit lebih lama karena sesekali berhenti sejenak. Alea masih kelelahan. Rui menawarkan punggung untuk menggendongnya. Tapi, Alea menolak dengan spontan.

Saat ini mereka berdua sedang duduk di kursi teras. Mereka merebahkan badannya di kursi kayu. Perut Rui berbunyi.

"Aku laparrrrr!" Rui menggerutu. Ia hendak mengambil buah Aigre yang ditaruh di meja.

"Jangan!" Alea menghentikan tangan Rui.

"Kenapa?"

"Jangan makan buah itu saat perut kosong. Perutmu akan sakit."

"Oooh begitu." Rui mengangguk-angguk.

"Sebentar, aku punya roti di dalam rumah. Aku akan mengambilnya. Kau mau teh?"

"Iya boleh lah. Terimakasih."

Alea masuk ke dalam rumah untuk membuat teh dan mengambil roti. Rui sendirian di luar. Ia mengeluarkan batu asahan yang berada di saku celananya. Batu itu membuatnya susah bergerak sejak tadi.

"Terimakasih paman Braun atas batu ini."

Rui menggumamkan ucapan terimakasihnya. Braun adalah salah satu Elf tua yang merupakan pandai besi. Ia sudah menempa banyak sekali pedang dan peralatan besi lainnya. Beberapa peralatan yang ada di dapur umum juga merupakan buatannya.

Tuan Braun sempat meminta Rui untuk mendemonstrasikan pedangnya. Ia mengajak Rui duel satu lawan satu. Namun, Rui yang tidak bisa menggunakan pedangnya beralasan kalau pedangnya tumpul. Karena itulah tuan Braun memberinya beberapa batu asahan.

"Bagaimana caranya mengasah pedang? Kalau pisau dapur sih mudah."

Rui menatap batu-batu itu dengan seksama. Jika asal-asalan mengasahnya, pedang Rui akan berakhir tumpul sungguhan.

"Ah sudahlah. Nanti saja." Rui meletakkan batu-batu itu di sebelah keranjang buah.

Beberapa saat kemudian, Alea datang dengan nampan berisi teh dan roti.

"Makanan!" Rui berdiri dan menerjang Roti tersebut.

"Jangan terburu-buru. Makanlah pelan-pelan. Kau tidak mau menggigit lidahmu kan?"

"Auahguhuh iyha iyhaa." Rui berbicara dengan mulut penuh.

"Ya ampun."

Mereka berdua segera menghabiskan makanan. Alea langsung menyimpan kembali nampan dan gelas kosong bekas teh. Ia kembali ke teras dengan membawa sebuah gunting. Ia memindahkan kursinya.

"Ayo duduk di sana." Alea menunjuk ke arah kursi yang baru saja ia pindahkan.

"Untuk apa? Aku kan sudah duduk di sini."

"Barusan Grimm menyuruhku mencukurmu."

"Benar juga! Grimm ada di dalam rumah! Aku tidak ingat!" Rui terkejut.

Padahal mereka sudah sampai di rumah dengan aman. Tetapi Rui masih merasa sedikit takut. Ia merasa bersalah karena secara tidak langsung, ia membuat Alea pingsan.

"Ah benar. Tunggu dulu, kau langsung menuruti perkataanya untuk mencukurku? Aku kan belum memintanya darimu."

"Kalau begitu, mintalah. Ayo mintalah." Alea mengangkat guntingnya ke atas. Gadis itu menatap tajam Rui. Kesan menyeramkan muncul.

Taste of Noodle Where stories live. Discover now