Bab 22: Hari yang Gila

29 12 21
                                    

🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜🍜

Hari Sabtu sore yang cerah. Rui tidak membuka kedainya di hari Sabtu dan Minggu. Rui dan Alea berbelanja bahan-bahan di Sabtu pagi, sedangkan pada hari Minggu, mereka menghabiskannya untuk bersantai dan membersihkan ruko.

Sore ini mereka tengah berjalan-jalan mencari tempat kosong untuk sparring dan berlatih sihir. Menurut informasi dari salah satu pelanggan Rui, terdapat lapang kosong di daerah utara Ibukota. Rui dan Alea pun memutuskan untuk pergi ke sana.

Lapang tersebut berada di dataran yang lebih tinggi. Tempatnya pun cukup jauh dari ruko milik Rui. Dibutuhkan sekitar satu jam untuk mencapainya. Sesampainya di sana, mereka bisa melihat orang-orang yang juga sedang melakukan latihan. Baik latihan pedang, maupun sihir.

"Ugh.. banyak orang." Rui menggerutu.

"Ini kan memang tempat latihan, wajar saja jika banyak orang." ucap Alea.

"Iya aku tahu itu. Tapi aku merasa malu latihan di tempat yang ramai."

"Duh, anggap saja mereka tidak ada. Ayo kita ke ujung lapang supaya sepi." Alea menyeret tangan Rui.

Untuk latihan pertama, mereka akan melakukan sparring. Saat masih berada di desa Elf, Alea pernah meminta Rui untuk mengajarinya bertarung jarang dekat. Itu karena, Alea tidak mau mengandalkan sihirnya yang terbatas. Rui telah mengajarinya Kihon, yaitu latihan dasar seperti memukul, menendang dan menangkis dalam metode lima langkah.

Bela diri yang dikuasai Rui memiliki dua cabang, yaitu seni dan bertarung. Untuk saat ini Rui baru memberikan materi bertarung. Setelah materi membanting dan mempelajari cara menjatuhkan tubuh yang aman, Rui akan mengajari Alea materi seni.

Sekelompok anak kecil yang sedang berlatih sihir tertarik pada Rui dan Alea yang tengah melakukan pemanasan di ujung lapang. Kelompok itu pun menghampiri mereka. Rui berusaha mengabaikan anak-anak itu supaya fokusnya tidak terganggu. Kemudian, Rui dan Alea berdiri berhadapan. Karena tidak ada wasit, Rui yang harus memberi aba-aba.

"Junpei!"

Rui dan Alea membentuk sikap sempurna dengan kedua telapak tangan terbuka disebelah paha.

"Rei!"

Mereka saling membungkuk untuk memberi hormat.

"Yoi! Hajime!"

Mereka berdua mengubah sikap sempurna menjadi kuda-kuda. Rui memasang kuda-kuda Kokutsu-dachi, membuat tumpuan berada di kaki bagian belakang. Sedangkan Alea memasang kuda-kuda Zenkutsu-dachi, memanjangkan kaki belakang dan membuat kaki depan sebagai tumpuan. Tangan bagian depan mereka sejajar dengan bahu, sedangkan tangan belakang di bawah dada.

"Serang aku hingga jatuh. Jangan ragu, gunakan kekuatan penuhmu." Rui memberi instruksi.

"Baik, senior!" Rui tidak ingin dipanggil dengan sebutan guru, maka dari itu ia mengusulkan agar Alea menyebutnya senior.

Mereka mengambil ancang-ancang, meloncat kan kaki ke depan dan belakang secara berulang untuk memperpendek jarak. Anak-anak yang memperhatikan mereka berdua tampak bingung.

Rui membuat serangan pertama dengan memukul ke arah wajah Alea. Dengan sigap, Alea memundurkan langkah dengan tetap menjaga kuda-kudanya. Tangan yang ia taruh di bawah dada pun ia lontarkan untuk menangkis serangan Rui, tangkisan tersebut bernama Jodan-barai.

"Woah.." anak-anak tersebut terkagum.

Mereka berdua mundur bersamaan. Kali ini giliran Alea menyerang. Dengan kelincahannya, gadis itu mengincar pelipis Rui dengan menggunakan pukulan pisau tangan, Shuto-uke. Rui sedikit terkejut, namun ia berhasil menghindar. Karena Rui melompat ke samping, terdapat celah yang memungkinkan Rui menyerang bagian punggung Alea.

Taste of Noodle Where stories live. Discover now