56. SATYA

693 99 29
                                    

°

°

°

°

Lelah fisik dan pikiran sedang gue rasakan. Persiapan perilisan album sangat menguras waktu dan tenaga gue, ditambah gue yang harus tetap memantau kondisi keuangan pabrik pasca terkena masalah. Salah satu orang kepercayaan Papa dulu ternyata ketahuan menggelapkan dana yang tidak sedikit. Sebenarnya ini lah penyebab gue jarang pulang, gue sengaja tidak cerita ke Jovita karena nggak mau dia ikut kepikiran. Menurut gue ini urusan pekerjaan, dan Jovita tidak harus tahu. Lagian untuk sekarang pelaku sudah ditangkap, tapi tetap saja gue harus lebih ekstra bekerja lebih hati-hati agar tidak kecolongan sekali lagi.

Beberapa karyawan kakek meragukan kinerja gue, katanya gue yang nggak becus kerjanya sampai bisa kecolongan dana sampai ratusan juta. Padahal bukti jelas-jelas mengarah kalau hal itu terjadi saat Papa masih menjabat posisinya.

Sialan betul memang.

Lebih sialannya lagi, Kakek meminta gue membatalkan perilisan album yang sudah jelas-jelas tengah kami kerjakan. Bahkan tanggal perilisannya sudah diumumkan dan Kakek memintaku untuk membatalkannya lagi?

Enak saja.

Di saat-saat tertentu rasanya gue pengen bener-bener memaki Kakek gue sendiri. Masa bodoh dibilang tidak tahu diri atau pun tidak tahu sopan santun. Yang jelas saat ini gue kesal setengah mati dengan beliau.

Gue merasa stres dan juga tertekan. Kalau sedang begini, gue merasa tidak membutuhkan hal lain selain Jovita. Entah sudah berapa lama gue mengabaikan istri gue sendiri demi membagi waktu antara band dan pabrik. Jujur gue bersalah, tapi gue tidak punya pilihan lain.

"Masih inget pulang?"

Tubuh gue seketika langsung menegang saat mendapat sambutan dari Jovita yang terdengar sedang menyindir. Kedua tangannya bersedekap di depan dada sambil melirik gue sinis.

Gue menghela napas sambil berjalan menghampiri Jovita. Gue akui gue salah dan sudah keterlaluan akhir-akhir ini. "Maaf, sayang, aku sibuk banget ya akhir-akhir ini. Maafin aku, ya, aku janji abi--"

"Enggak usah janjiin sesuatu yang nggak bisa kamu tepati, Sat," potong Jovita. Ekspresi kecewa tergambar jelas pada wajahnya.

"Oke, aku minta maaf. Tapi tolong dong, kamu ngertiin posisi aku. Ini juga bukan yang aku mau."

"Aku capek, Sat," ucap Jovita tiba-tiba.

Gue mendadak ikut tersulut emosi. Tidak terima mendengar ucapan Jovita yang terdengar aku hanya bersenang-senang sendiri tanpa memikirkan perasaannya. Selama ini gue sudah berusaha semampu gue untuk membagi waktu, dan ternyata memang hanya sebatas ini kemampuan gue.

"Kamu pikir yang capek kamu doang? Aku lebih capek, Jov. Ngurus pabrik, ngurus band, belum kamunya ngambek-ngambekan gini. Kamu tahu enggak sih, aku pulang demi melepas penat karena udah sibuk di luar. Enggak bisa ya kamu lebih perhatian kalau aku pulang, minimal nggak usah sambut aku dengan wajah cemberut kamu, Jov. Itu juga udah cukup bagi aku, tapi kayaknya sulit banget ya kamu lakuin?"

Karena tak ingin makin tersulut emosi, gue akhirnya memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi meninggalkan Jovita begitu saja.

Selesai mandi gue langsung keluar dan menemukan Jovita sedang memegang ponsel gue. Gue merasa tersinggung. Apa Jovita sedang mencurigai gue?

"Ngapain kamu pegang hape aku? Kamu curiga sama aku?" Gue langsung menghampiri Jovita sambil menggosok rambut gue yang masih basah.

Jovita paling tidak suka kalau gue tidur dengan rambut basah. Biasanya dia akan membantu gue mengeringkannya. Namun, dengan tatapan mata tak bersahabatnya itu mana mau dia melakukannya.

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang