18. SATYA

731 119 11
                                    

°

°

°

°

"Nih, buat memperyakin keseriusan gue. Gue juga beli cincin buat lo, ini gue pesen langsung ke desainer perhiasan langganan nyokap gue. Biar lo tahu seberapa seriusnya gue ngajak lo nikah."

Gue meletakkan kotak cincin berlian di atas meja dan membukanya. Gue perhatikan raut ekspresi Jovita tampak terkejut saat melihatnya. Meski desainnya sederhana, tapi uang yang gue keluarkan buat beli ini enggak sedikit. Apalagi gue mintanya dadakan, seminggu langsung jadi. Padahal normalnya paling enggak dua minggu baru jadi atau bahkan sebulan. Jadi, kebayang kan berapa kocek yang harus gue rogoh buat dapetin ini.

Sebenernya bisa aja gue langsung beli di toko perhiasan. Tapi entah kenapa gue merasa kurang 'srek' saat hendak melakukannya. Gue pengen nunjukin kesan serius gue, alhasil gue usaha pesen dan beli dengan harga mahal. Ini bukan berarti gue nganggep Jovita matre atau sejenisnya, ya. Sekali lagi gue pertegas, gue mau nunjukin keseriusan gue.

"Sat, lo serius?"

Gue mengangguk yakin. "Gue belum pernah seserius ini sebelumnya."

Jovita tampak terdiam. Ekspresi kebingungan tergambar jelas pada wajah cantiknya. Ini wajar. Perempuan mana pun pasti akan terkejut saat mendapat lamaran secara mendadak dari orang yang bahkan baru dikenal hitungan minggu. Gue memaklumi sikapnya kali ini.

"Lo mau?" tanya gue penuh harap-harap cemas.

Jovita melirik gue lalu meraih kotak cincin itu. Awalnya gue pikir dia ingin mencoba cincinnya, tapi ternyata dia malah menutup kotak itu. Seketika dada gue serasa diremas. Apakah ini tanda penolakan? Lamaran gue ditolak?

"Lo simpen cincinnya."

Sakit, man! Rasanya lebih sakit ketimbang diputusin Felisya dulu. Gue kecewa banget rasanya.

"Gue ditolak?" tanya gue dengan suara lirih.

"Bawa cincin itu pas mau ngelamar gue di hadapan Ayah," ucap Jovita tiba-tiba.

Seketika kedua mata gue melotot. Kaget tentu saja. Gimana tadi?

"Bentar, bisa lo ulang kalimat lo tadi? Atau minimal lo perjelas biar gue nggak bingung."

Jovita tersenyum. Senyuman yang nggak tahu kenapa, mendadak kayak ditaburi gula sekilo. Kebayang kan kayak apa manisnya? Udah bikin diabetes mendadak kan?

"Kalau lo emang berniat serius, ya, oke. Ayo, nikah! Bawa cincin itu ke rumah beserta keluarga lo untuk ngelamar gue di hadapan Ayah."

Gue speechless. Rasanya salah tingkah pengen teriak saking senengnya, tapi malu juga karena lagi di tempat umum. Enggak teriak, kok ya gatel ini mulut gue rasanya.

"Lo serius?"

Jovita mengangguk. "Gue nggak pernah seserius ini sebelumnya, Sat."

Gue kegirangan.

"Jadi kapan gue harus bawa keluarga gue ke rumah? Akhir minggu?" tanya gue terdengar tidak sabaran.

"Kondisi Papa lo udah membaik?" Jovita malah balik bertanya.

Gue mengangguk. "Bokap gue udah pulang kemarin sore. Kondisinya kali ini berangsur membaik. Cuma kalau buat dateng ke rumah lo, gue nggak terlalu yakin. Bokap gue harus ikut?"

Jovita menggeleng. "Kalau lo berani datang sendiri pun, gue nggak masalah, Sat. Yang penting lo serius."

"Oke, gue bakal lamar lo akhir minggu ini gimana?"

"Enggak kecepetan?"

"Niat baik nggak boleh ditunda-tunda," sahut gue cepat.

Awalnya, Jovita terlihat tidak begitu menyetujuinya, ia terlihat ragu-ragu. Namun, ajaibnya tak lama setelahnya ia mengangguk pasrah. Gue langsung meninju ke udara saat mengekspresikan rasa gembira gue. Akhirnya, satu masalah teratasi. Tinggal bilang ke Mama, Papa, minta doa restu.

Marriage ExpressWhere stories live. Discover now