41. JOVITA

784 127 28
                                    

"Mau?"

Aku mendekatkan semangkuk salad buah pada Satya, bermaksud menawari pria itu. Meski hari minggu, terkadang Satya memang tetap sibuk dengan beberapa pekerjaannya seperti hari ini.

Satya menggeleng sebagai tanda jawaban.

Aku mengangguk paham lalu menikmati salad itu sendiri sambil memainkan ponsel. Ku biarkan Satya larut dengan pekerjaannya, sedangkan aku larut dengan sosial mediaku, daripada gabut.

"Tapi kalau disuapi mau sih," ucap Satya tiba-tiba. Ekspresinya biasa saja, masih fokus pada layar laptop yang ada di hadapannya.

Dih, nggak mau dibilang suami manja tapi kelakuan begitu.

Sambil mendesah pendek, aku kemudian menyendok salad buah buatanku sendiri dan langsung menyuapinya.

"Enak," komentar Satya, "aku rasa Papa bener, kayaknya potensi yang kamu punya ini harus dikembangin deh. Nggak mau coba usaha?" Ia kemudian menoleh ke arahku, "maksudnya biar nggak mubazir aja gitu potensi yang kamu punya, kamu jago masak loh, sayang aja kalau disia-siain," imbuhnya cepat-cepat.

"Sia-sia dari mana sih, Sat? Perasaan kamu tiap hari menikmati potensi yang aku miliki ini. Perut kamu kenyang emang dari mana, Sat?"

Semenjak adegan elus-elus perut beberapa hari yang lalu. Aku ikut menggunakan sapaan aku-kamu. Awalnya, Satya menertawakanku dan bilang geli saat mendengarnya. Jangankan Satya, aku sendiri awalnya juga merasa geli, tapi lama kelamaan kami mulai terbiasa juga satu sama lain.

Satya meringis. "Iya, juga deh, ya. Ya, kalau gitu jangan bikin usaha deh, biar aku sendiri yang menikmati masakan kamu. Orang lain nggak usah."

Aku kembali menyuapinya. "Udah, sana lanjut kerja!"

"Hari ini minggu, Jovita."

"Aku tahu, Sat, tapi faktanya meski hari ini hari minggu, tapi nyatanya kamu tetep kerja kan?"

"Ya, kan meski kerja lebih santai, sayang."

PLETAK!

PKarena kesal, aku langsung memukul kepala Satya menggunakan sendok. Panggilan sayang yang Satya ucapkan berefek dahsyat dan aku tidak mau baper berkelanjutan.

"Aduh!" Satya langsung mengusap kepalanya bekas pukulanku, ia kemudian melotot kesal ke arahku, "sakit, Jovita, astaga! Kamu mukulnya nggak kira-kira banget sih?" protesnya kesal.

Aku terbahak sesaat, perasaan bersalah hadir tak lama setelahnya. "Sakit?" tanyaku mulai khawatir.

"Ya, sakit lah pake tanya lagi. Tanggung jawab kamu, sakit banget loh. Aku aduin kamu," ancamnya kemudian.

"Ya udah aduin Mama sana!"

"Ogah," tolak Satya mentah-mentah, "mending aduin ke Ibu. Ngadu ke Mama yang ada aku cuma kena omel, sejak kamu jadi menantunya kan aku udah kayak anak tiri Mama. Ngadu ke ibu lebih enak, ntar biar kamu yang kena omel." Dengan ekspresi jumawanya ia menjulurkan lidahnya.

Aku mendengus tak lama setelahnya, sedangkan Satya kemudian menggerutu. Ekspresinya terlihat masih sedikit kesal.

"Duh, beneran sakit, Jovita. Benjol deh aku rasa."

Aku kembali terkekeh lalu meletakkan mangkuk salad.

"Masa sih sampai benjol? Aku nggak sekeras itu mukulnya, Sat."

"Coba aja kamu lihat!"

Satya langsung mendekatkan kepalanya ke arahku. Dengan sigap aku langsung memeriksanya.

Marriage ExpressWhere stories live. Discover now