17. JOVITA

724 122 17
                                    

Aku dan Satya duduk berdampingan di hadapan Jae. Pria bertubuh kurus yang baru menyandang status sebagai Ayah belum lama ini, menatapku dan Satya secara bergantian. Tatapan matanya terlihat tidak begitu bersahabat. Hal ini membuatku sedikit ngeri. Aku kemudian menoleh ke arah Satya. Pria itu tampak dengan ekspresi kalem dan tenangnya seperti biasa.

"Sat, bisa lo jelasin apa yang sedang terjadi?"

Satya masih dengan wajah kalemnya. "Lo mau gue jelasin apaan, Jae?"

"Ya apapun itu," seru Jae emosi. Ia berdecak tak lama setelahnya lalu melirikku, "Jov, lo aja yang jelasin kalau gitu."

Aku kemudian menoleh ke arah Satya, berniat meminta bantuan. Namun, pria itu hanya memasang ekspresi santainya sambil mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. Sialan ini cowok. Nyebelinnya itu loh.

"Gue juga nggak tahu mau jelasin apaan, Jae. Lo nggak lihat dia begitu?" Secara terang-terangan, aku menunjuk ke arah Satya dengan ekspresi kesalku.

"Sat," panggil Jae dengan nada suara tertahan.

Satya berdecak lalu mendesah panjang. "Kakek gue minta gue cepet nikah."

Jae menatap Satya tidak yakin. "Bukanya kemarin minta lo buat urus pabrik? Kenapa sekarang ganti minta lo cepet kawin?"

"Bukan ganti, tapi nambah. Kakek gue pengen gue urus pabrik dan nikah terus kasih Cicit," kata Satya menjelaskan.

Aku meneguk saliva-ku panik. Kasih cicit? Maksudnya ini nanti kalau aku jadi menikah sama Satya, harus cepet hamil gitu?

Aku langsung menoleh ke arah Satya dengan kedua mata melotot tajam. "Maksud lo?"

Jae mengangkat sebelah tangannya. "Tahan dulu, Jov." Pandangannya fokus ke arah Satya, "Sat, pernikahan itu bukan permainan. Lo nggak bisa memutuskan untuk menikah karena terdesak keadaan. Jangan main-main lo! Urusannya sama Tuhan, Sat. Jangan asal lo. Nikah itu tentang tanggung jawab. Lo harus bertanggung jawab menafkahi istri lo nantinya, nggak cuma lahir tapi batin juga. Kalau lo nggak bisa ngasih salah satunya, yang ada dosa lo." Ekspresinya terlihat begitu menentang ide Satya.

Aku kemudian menoleh ke arah Satya, pria itu mendesah panjang. "Gue sama Jovita baru berencana, belum memutuskan mau nikah beneran, Jae," balasnya kalem.

Jae masih tetap nyolot. "Tetep aja udah ada rencana, kalau Jovita setuju kalian tetep mau nikah kan?" Kali ini ia beralih menatapku, "jawab, Jov!"

"Gue belum ngeiyain, Jae."

Jae berdecak. "Serah kalian deh! Gue nggak mau ikut campur. Itu urusan kalian, kalian udah sama-sama dewasa. Bisa lah mikirin baik buruknya keputusan yang mau diambil."

Satya mengangguk. "Thanks, Jae, gue tampung saran lo."

Jae mengangguk, meski wajahnya masih terlihat kurang bersahabat. "Terus gimana sama kelanjutan band? Lo udah ngomong sama yang lain?"

Hah? Kenapa emang sama band mereka? Apa Satya berencana mau keluar? Aku kemudian menoleh ke arah Satya dengan ekspresi penasaranku.

Satya mengangguk. "Udah, kurang Dewa yang belum gue kasih tahu." Ia melirikku, mungkin Satya sadar kalau aku sedang menatapnya kepo, "Dewa masih bimbingan, jadi belum tahu. Soalnya gue udah harus ke sini."

"Dewa beneran belum lulus?"

Satya mengangguk. Jae langsung menatapku heran.

"Lo kenal, Jov?"

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang