23. JOVITA

693 123 19
                                    

Aku langsung berseru takjub saat mobil Satya memasuki komplek perumahan mewah. Apalagi saat kami akhirnya berhenti di sebuah perumahan yang terlihat paling besar di antara yang lain. Iya, aku tahu keluarga Satya memang termasuk dalam kategori berduit. Dilihat dari penampilan dan gaya hidupnya memang sudah tidak diragukan lagi. Tapi tetap saja saat melihat hunian rumah keluarganya, membuatku tidak bisa untuk tidak terkejut sekaligus takjub.

Otakku seketika berpikir. Gila! Setajir inikah keluarga Satya?

Tapi ya masuk akal juga sih kalau mengingat hobi Satya yang suka mengoleksi mobil mewah. Meski dari hasilnya ngeband selama ini buat dibeliin mobil-mobil mewah sih memang sepertinya cukup, tapi kalau bukan dari kalangan atas begini pasti mikir-mikir lah buat ngoleksi.

"Yuk, turun," ajak Satya sambil melepas seatbeltnya.

Lamunanku langsung buyar. Aku termenung selama beberapa detik lagi baru tak lama setelahnya ikut melepas seatbelt. Perasaanku mendadak gugup, bagaimana kalau keluarga Satya enggan menerimaku karena aku bukan dari keluarga kalangan atas seperti mereka?

"Ngelamunin apaan sih?" tanya Satya heran, "ayo, turun!" ajaknya sekali lagi.

Ternyata Satya sudah berada di luar mobil, ia sedang menundukkan kepalanya dan menatapku heran.

Aku mengangguk cepat lalu buru-buru turun dari mobil Satya.

Sambil mencangklong tasku, aku menatap Satya ragu. "Sat, kok mendadak gue takut, ya. Gimana kalau keluarga lo nggak bisa nerima gue?"

"Ya gue bakal tetep nikahi lo," balas Satya dengan nada santainya.

"Gila lo!" ujarku kesal.

Satya malah terkekeh. "Ya abis lo ngomongnya aneh-aneh. Udah deh, berhenti insecure! Gue milih lo karena emang lo layak buat jadi istri gue, orang lain termasuk orangtua gue sendiri, mereka nggak punya hak buat berkomentar kalau lo nggak pantes buat gue. Paham?"

"Anjir, lo lagi ngebanggain diri nih ceritanya?"

Aku menatap Satya sambil memutar kedua bola mataku malas. Sesaat aku melupakan perasaan deg-deganku tadi. Mungkin ini memang niat Satya. Tapi tetap saja aku sedikit kesal saat mendengarnya, sifat kepedeannya itu loh. Membuatku gemas.

"Dikit. Biar lo nggak tegang, seenggaknya gue berhasil kan?"

Mau tidak mau, aku akhirnya mengangguk pasrah. Ya, bagaimana memang berhasil kok.

"Good. Emang itu niat gue. Udah, yuk, masuk! Oh ya, begitu kita masuk ke dalam jangan pake lo-gue lagi, ya? Pake aku-kamu aja."

Sekali lagi aku mengangguk. Namun, aku tidak langsung setuju saat ia mengajaknya masuk ke dalam.

"Bentar, gue ambil napas dulu," kataku sambil menahan lengan Satya.

"Emang tadi kamu nggak napas?" Satya menaikkan sebelah alisnya heran.

Aku mendengus kala mendengar Satya menggunakan kata kamu dalam obrolan kami. Kan tadi dia bilang nanti kalau masuk, tapi kenapa ini sudah dipakai saja?

"Kamu banget nih?"

"Latihan," balas Satya cuek.

Bahkan dengan santainya ia tiba-tiba menggenggam telapak tanganku.

"Apa-apaan ini?" protesku sedikit kesal.

"Biar lebih meyakinkan. Udah lo nurut aja."

Lah, pake lo-gue lagi?

Akhirnya, mau tidak mau aku hanya bisa menurut pasrah dan mengikuti Satya masuk ke dalam rumah kedua orang tuanya yang terlihat besar dan megah ini. Jantungku terasa berdegup dua kali lipat lebih kencang ketimbang saat baru turun tadi. Perasaan gugup tengah luar biasa kurasakan, sesaat aku sampai merasa dadaku terasa sedikit sesak saking gugupnya. Dalam hati aku merapalkan doa, semoga kehadiranku tidak mengalami penolakan.

Marriage ExpressWhere stories live. Discover now