31. JOVITA

699 113 11
                                    

Aku bangun tepat saat adzan dzuhur berkumandang, kali ini aku merasa lebih baik. Saat kucoba cek suhu tubuhku, aku merasa sudah tidak demam lagi. Buru-buru aku bangun dan meraih handuk untuk mandi.

"Mau ngapain, Kak?" tanya Ibu saat melihatku keluar dari kamar sambil membawa handuk.

"Mandi, Bu, gerah banget."

"Jangan mandi dulu, itu kamu gerah karena habis minum obat. Cuci muka aja, mandinya nanti sore atau besok."

"Udah nggak papa kok, Bu, udah nggak demam."

"Dikasih orangtua mau ngeyel?" sindir Ibu.

"Ya udah, iya, cuci muka doang," jawabku pada akhirnya.

Ibu mangguk-mangguk lalu menyuruhku segera bergegas. Tak lupa beliau memperingatkan agar aku tidak berlama-lama di kamar mandi. Yang lagi-lagi hanya mampu ku iyakan tanpa membantah sedikit pun.

Aku kemudian segera bergegas ke kamar mandi. Awalnya aku hanya ingin cuci muka seperti yang dikatakan ibu. Namun, rasanya aneh. Akhirnya aku memutuskan untuk mandi sekalian. Ibu pasti sedang menonton tv sekarang, jadi sepertinya tidak akan ketahuan kalau aku mandi sekalian.

"Kamu abis mandi, Kak?"

Waduh, ketahuan? Kok ibu bisa tahu sih kalau aku tadi mandi sekalian.

Sambil meringis aku mengangguk. "Nanggung, Bu, udah terlanjur basah jadi mandi sekalian."

"Ibu bukannya ngelarang kamu mandi, ya kalau nggak papa sih ibu ya syukur alhamdulillah. Tapi kalau ntar demam lagi gimana? Siapa yang susah?"

"Bu, nggak boleh ngomong gitu ah. Omongan adalah doa." Aku merengut kesal saat mendengar ucapan Ibu, "Ibu doain Kakak demam lagi?"

"Ya, bukan begitu. Udah sana kamu makan siang dulu, udah ibu siapin. Ibu lanjut mau nonton sinetron dulu."

"Novi ke mana?"

"Belum pulang, tadi dijemput pacarnya kalau belum sore mana inget pulang adikmu itu."

Aku mengangguk paham. Benar juga ya, Novi kalau sedangan bersama Adit pasti suka lupa waktu, kalau belum sore atau jelang maghrib dia pasti belum pulang. Entah apa saja yang mereka lakukan, aku suka heran. Ketemu tiap hari apa ya, tidak bosan? Tahu lah, itu urusan mereka. Lebih baik aku segera ke dapur dan makan. Karena perutku memang mulai terasa lapar. Tadi pagi aku sarapan bubur semangkuk tapi harus dibagi dengan Satya, jadi jelas saja jam segini aku sudah lapar.

Ngomongin Satya, aku jadi kepikiran dengan kelanjutan hubungan kami. Kira-kira gimana ya, aku mendadak kembali galau. Ah, tapi kenapa aku harus merasa galau? Yang penting kan Satya serius. Toh, aku butuh calon suami dan Satya adalah pilihan yang tepat. Benar. Ini bukan saatnya untuk menggalau. Aku kan mau menikah dengan Satya, bukan fansnya. Lagian keluarganya juga sangat baik padaku, lalu apalagi yang ku cemaskan? Aku rasa tidak ada.

Oke, saat Satya ke sini nanti aku akan minta maaf padanya. Bagaimanapun hari ini aku sedikit keterlaluan terhadapnya.

Aku kemudian bergegas untuk mengambil nasi dan sayur. Saat hendak menyendok, tiba-tiba ibu memanggilku.

"Kak! Ada tamu," teriaknya memanggilku.

Aku mengerutkan dahi bingung. Siapa yang mencariku? Seingatku, aku tidak sedang menunggu tamu. Sambil meletakkan sendokku kembali, aku berdiri dan bergegas menuju ruang tamu. Dan betapa terkejutnya aku saat menemukan Mama Satya.

"Loh, Mama?"

Aku tidak bisa menyembunyikan raut wajah kagetku. Namun, meski begitu aku langsung bergegas mendekat ke arahnya dan mencium punggung tangan beliau.

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang