13. JOVITA

737 115 10
                                    

Aku meneguk saliva-ku dengan susah payah saat melihat ponselku berdering. Ini kenapa Satya malah nelfon malem-malem sih? Karena tidak kunjung dimatikan, akhirnya dengan terpaksa aku menjawab panggilannya.

"Jovita, gimana? Bisa?" tanya Satya tanpa berbasa-basi.

Aku memilih untuk tidak langsung menjawab. Berpikir sejenak baru kemudian menjawab, "Mau ketemu di mana? Jam berapa?"

"Lo siang ada acara?"

Aku langsung membenarkan posisiku saat ini agar lebih nyaman. "Pagi gue ada kerjaan sih, siang rencananya mau ke rumah Wendy, nengokin bayinya."

"Ya udah, kita temu di sana."

"Oke." Meski tahu Satya tidak bisa melihatku saat ini, tetap saja aku mengangguk saat menyetujuinya. Hal itu reflek kulakukan.

"Lo udah tidur?" tanya Satya terdengar seperti ragu-ragu dan merasa tidak enak, "sorry, gue ganggu lo, ya?"

"Nggak papa, kebetulan gue kebangun tadi." Aku menjeda kalimatku sesaat, "lo mau ngomong apa sampai minta ketemu?"

"Ada yang mau gue bahas sama lo."

"Soal?"

"Mas Satya, silahkan berbaring! Dokternya udah siap memeriksa."

Samar-samar aku mendengar suara seorang perawat yang meminta Satya untuk berbaring dan diperiksa. Seketika aku merasa penasaran, apa dia sedang sakit? Batinku bertanya-tanya. Jujur, terakhir aku melihatnya kemarin, wajahnya memang agak kuyu seperti kurang tidur. Apa jangan-jangan dia tumbang gegara kecapekan nungguin bokapnya yang sakit? Apalagi kalau nggak salah grup bandnya habis menggelar konser belum lama ini. Ya ampun kasian Satya.

"Sat, lo di mana?" tanyaku kepo.

Entah mencoba untuk mengalihkan pembicaraan atau memang tidak mendengar ucapanku, Satya langsung meminta izin untuk mengakhiri panggilan.

"Eh, udah dulu, ya. Sampai ketemu nanti siang."

Belum sampai bibir ini mengiyakan, sambungan sudah langsung terputus. Aku menatap nanar ke arah layar ponselku. Perasaan khawatir tiba-tiba hadir. Bagaimana kalau Satya beneran sakit?

Ah, sepertinya aku salah dengar. Kan Satya mengajakku bertemu nanti siang, itu tandanya kondisinya sedang baik-baik saja. Tidak sedang sakit seperti yang ku khawatirkan.

Apa aku khawatir?

Tahu lah, aku tidak peduli, lebih baik aku kembali tidur daripada besok aku bangun kesiangan. Kan bisa gawat.

Aku bangun tepat saat adzan subuh berkumandang. Buru-buru aku mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajibanku. Setelah selesai, aku langsung keluar kamar dan mengambil sapu. Saatnya beberes rumah sebelum mencari cuan.

"Ada kerjaan di luar, Kak?" sapa Ibu saat aku mengambil sapu, ibu tampak sudah bangun lebih dulu. Wajahnya terlihat sudah segar, berbeda denganku yang terlihat masih mengantuk.

Pasalnya, semalam aku tidak benar-benar bisa langsung tertidur setelah Satya menelfonku.

Aku mengangguk, membenarkan. Aku memang bukan tipekal yang akan bangun pagi begini kalau tidak ada acara atau kerjaan di luar pagi-pagi. Biasanya aku hanya akan bangun untuk salat subuh dan kembali tidur. Terdengar seperti pemalas sekali ya diriku? Tapi memang begitu lah. Di antara aku dan Novi, kami berdua memang tidak ada yang rajin. Bisa dibilang kami memang agak seperti The Real of Beban Keluarga sekali. Meski untukku, aku sudah tidak pernah meminta uang jajan dan berhasil memberi mereka uang bulanan. Meski tidak banyak.

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang