5. JOVITA

929 129 5
                                    

Part ini beda dari versi sebelumnya, happy reading all 😙😚

"Gue takut di rumah sakit sendirian. Takut ilang," cicitku sambil melirik temen Jae takut-takut. Ekspresinya terlihat tidak bisa kutebak, dan itu membuatku takut.

"Lo bukan anak kecil, kenapa juga harus ilang?" tanyanya sewot.

"Tapi gue takut," akuku takut.

Teman Jae itu menaikkan sebelah alisnya. "Ya, terus urusannya sama gue apa?"

Aku menatap pria itu tidak percaya. "Astaga, lo nggak bisa bantuin sesama manusia yang lagi kesusahan? Lagian gue mau bareng sampai luar doang aja kok, abis itu gue bisa nyari tukang ojek atau taksi sendiri. Gue janji, nggak bakal minta lo anterin pulang juga."

Pria itu menghela napas. "Tapi gue bukan mau balik untuk pulang."

"Terus lo mau ke mana? Lo kerja di sini? Lo dokter?"

Pria itu tiba-tiba tertawa. "Emang keliatannya gue kayak dokter?"

Aku menggeleng. "Enggak," jawabku jujur. Meski banyak dokter yang ganteng, tapi menurutku pria ini terlalu ganteng untuk jadi dokter.

Ekspresinya berubah datar. "Gue mau balik ke ruangan bokap gue, bokap gue dirawat di sini. Jadi, lo nggak bisa ikut gue. Oke? Gue duluan, ya."

Tanpa menunggu jawaban dariku, pria itu hendak pergi begitu saja. Dengan cepat ku tarik ujung jaketnya hingga membuat pria itu menoleh.

"Apa-apaan ini?"

"Ikut," rengekku sambil memasang wajah memelas, berharap membuat pria ini iba dan membiarkan aku ikut dengannya.

Namun, ternyata dugaanku salah. Bukannya iba, ia malah menatapku galak. "Lo gila, ya?" bentaknya sambil berusaha melepaskan cengkraman pada jaketnya.

"Terserah lo mau mikir apa, tapi sumpah demi Tuhan gue beneran nggak bisa di rumah sakit sendirian. Gue takut. Biarin gue ikut lo, gue janji nggak bakal gangguin lo. Gue mohon! Gue punya trauma sama rumah sakit."

Pria itu semakin menatapku galak. "Kalau lo trauma sama rumah sakit harusnya lo nggak ke sini lah. Lepasin!" gertaknya semakin galak.

Astaga, ini orang ganteng-ganteng galak banget sumpah. Dih, amit-amit kalau aku harus berurusan dengannya lagi setelah ini.

Tak ingin terintimidasi, aku balas menatapnya tak kalah galak. "Ya, menurut lo, gue harus di rumah orang sendirian sedangkan sahabat gue lagi di rumah sakit berjuang antara hidup dan mati. Ya enggak lah!"

"Kenapa malah jadi galakan lo?" protesnya heran.

Aku menyengir malu. "Sorry, kelepasan. Plis, izinin gue ikut lo ya. Gue mohon. Gue beneran takut."

"Enggak bisa, oke, gini aja. Gue anterin lo turun sampai lobi aja gimana?"

Ekspresi wajahku seketika berubah cerah. "Deal," ucapku semangat sambil menyodorkan sebelah tanganku, berniat mengajaknya berjabat tangan.

Namun, pria itu memilih untuk mengangguk dengan ekspresi datar sambil menunjuk ke arah ujung jaketnya. Sambil kembali memasang wajah menyengir, aku cepat-cepat melepas cengkramanku.

"Ngerepotin," guman pria itu sambil menepuk ujung jaketnya beberapa kali, gerakannya seperti sedang membersihkan demi.

Sialan ini namanya penghinaan. Emang dia pikir aku sekotor itu apa? Wah, bener-bener, kalau aja bukan aku yang sedang membutuhkannya, sudah pasti akan kubuat dia masuk IGD sekarang juga. Untung aku masih sadar diri.

Marriage ExpressUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum