39. JOVITA

721 132 12
                                    

Aku terbangun karena merasakan nyeri pada perutku, seperti nyeri datang bulan. Kulirik ke sisi ranjang, ada Satya di sana tengah tertidur dengan lelapnya. Kupikir karena tadi aku sempat marah-marah, ia akan memilih tidur di kamar lain. Tapi ternyata aku salah, ia tetep memilih untuk tidur satu ranjang denganku.

Sambil menghela napas aku turun dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi sambil menahan nyeri. Ternyata benar, aku sedang datang bulan. Pantas saja semalam aku mendadak ngegas dan melankolis, ternyata gara-gara si merah.

Tak ingin mengganggu tidur Satya, aku akhirnya memilih untuk berbaring di sofa yang kebetulan ada di dalam kamar kami. Aku meletakkan bantal untuk menyangga punggungku. Aku meringkuk sambil mengelus perutku yang terasa nyeri luar biasa. Meski setiap bulan merasakan ini, tapi sering kali aku seperti gadis remaja yang masih pertama kali merasakan nyeri datang bulan. Tubuhku seolah tidak mau membiasakan rasa sakit ini dan reaksiku pasti selalu berlebih. Tidak jarang aku menangis kalau sedang merasa benar-benar tidak kuat.

Seperti saat ini, tanpa sadar air mataku jatuh. Buru-buru aku menarik tisu untuk menyekanya. Ya Tuhan, lebay sekali kan aku?

Baru sekitar 15 menit aku berbaring meringkuk di sofa, Satya terbangun tak lama setelahnya. Ia menyadari ketidak beradaanku di sisinya, ia terbangun dengan ekspresi bingungnya.

Aku kemudian memanggilnya. "Gue di sini, Sat."

Satya buru-buru turun dari ranjang dan menyalakan lampu utama.

"Kenapa kamu pindah di situ?"

"Takut ngebangunin lo, sorry buat yang semalem. Gue ternyata lagi periode jadi ngegas mendadak dan melow, semoga lo lebih siap ya ke depannya."

Ekspresi tidak menjawabku, ekspresinya berubah seperti sedang khawatir.

"Sakit banget?"

Aku mengangguk. "Tapi udah biasa kok, lo lanjut tidur aja."

"Terus kamu?"

"Nunggu ketiduran sendiri dulu."

Satya menghela napas lalu duduk di sofa yang tidak ku tempati. Ia melirik ke arah tanganku yang sedang mengelus pelan perutku sendiri.

"Biasanya diapain biar sakitnya mereda? Minum obat?"

"Dinikmati, Sat," candaku sambil terkekeh, "gue nggak terlalu sering minum obat pereda nyeri kalau lagi periode, takut ketergantungan. Biasanya kalau udah nggak kuat banget baru minum."

"Terus solusi lain?" tanya Satya seolah tidak puas dengan jawabanku tadi.

"Seringnya sih cuma gue elus-elus doang, soalnya gue mageran. Kalau sama Ibu kadang dikompresin."

"Mau aku bantu kompres?" tawar Satya tiba-tiba.

Aku membulat kaget lalu menggeleng cepat. Ibu biasanya kalau kompres pake kain yang dicelupin air hangat lalu diletakkan langsung di atas perutku, dibandingkan dengan kompres air hangat menggunakan botol aku lebih nyaman pake itu. Kalau Satya yang bantu kompres, nanti dia lihat perutku dong? Big no!

Ya, meski pun kami sah suami istri, dan aku sudah lumayan sering melihatnya bertelanjang dada. Tetap saja aku kurang nyaman mengingat hubungan kami yang belum sampai sejauh itu.

"Mau aku telfonin Ibu?"

Kali ini aku berdecak kesal. "Yang bener aja lo, masa lo mau nelfon ibu cuma karena gue lagi nyeri haid? Mau diomelin sampai subuh lo? Udah nggak usah ngaco, sana tidur lagi CVCaja! Kan besok ngantor."

Marriage ExpressWhere stories live. Discover now