4. SATYA

900 134 6
                                    

°

°

°

°

Setelah obrolan gue dengan Om Pram semalam, pikiran gue kalut. Gue mulai khawatir dengan karier ngeband gue. Om Pram terlihat serius meminta gue untuk mulai terjun mengurus pabrik, tapi gue rasanya tidak rela jika harus melepas karier band gue. Beliau memang tidak memaksa gue untuk berhenti ngeband secara total, tapi tetap saja akan terasa sedikit mustahil kalau gue masih bisa ngeband di sela kesibukan gue mengurus pabrik nantinya. Ditambah kondisi Papa belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Lantas gue harus bagaimana? Apa gue coba nanya pendapat ini ke Jae, setidaknya mungkin dia bisa memberiku saran.

Gue baru hendak menghubungi Jae, tapi pria kelahiran Argentina itu ternyata lebih dulu menghubungi gue. Kebetulan sekali.

"Ya, ha--"

"Posisi di mana?" sambut Jae memotong sapaan 'halo' yang bahkan belum selesai gue ucapkan. Kalau didengar dari nada bicaranya, ia terdengar seperti sedang panik. Ada apa ini?

"RS. Masih nungguin bokap."

"Lo bisa ke sini dulu nggak? Wendy mau ngelahirin, gue panik banget, anjir. Ini gue lagi sama temennya Wendy sebenernya, tapi masalahnya temen Wendy ini nyusahin gue. Gue harus ngurus ini-itu, tapi dianya malah ngerepotin gue. Nelfon member yang lain, semuanya belum bisa kalau gue suruh ke sini sekarang. Lo bisa ke sini? Minta tolong banget ini gue, Sat."

"Lo di rumah sakit mana? Biar gue susul ke sana."

Jae kemudian menyebutkan rumah sakitnya. Yang cukup gue syukuri karena ternyata Jae memilih rumah sakit yang sama dengan Papa dirawat.

"Oke. Lo tunggu dulu, gue langsung ke sana. Kebetulan bokap gue juga dirawat di situ."

"Syukurlah. Buruan, Sat. Gue tunggu."

Klik.

Jae langsung mematikan sambungan. Gue kemudian berpamitan dengan Mama dan Mbak Mita, baru setelah itu langsung bergegas menuju ruang rawat inap Wendy. Menurut info yang Jae bagikan, pembukaan Wendy belum lengkap, jadi saat ini masih di ruang inap sambil menunggu pembukaan lengkap.

Saat gue sampai di ruang inap Wendy, gue langsung menanyakan kondisinya, basa-basi sebentar, menyapa teman Wendy lalu duduk di sofa yang disediakan. Jae sendiri langsung pergi entah kemana setelah gue datang.

"Sat, gue kayaknya udah nggak kuat deh. Bisa lo panggilin dokternya atau panggilin Jae. Jae ini kemana sih malahan? Udah tahu istrinya mau ngelahirin malah kabur ninggalin istrinya," keluh Wendy merancau sambil merintih kesakitan.

Karena nggak tega, gue kemudian memutuskan untuk keluar ruangan dan memanggil dokter. Sambil usaha menghubungi Jae tentu saja. Wendy sudah selesai diperiksa, dan katanya sudah pembukaan lengkap dan siap melahirkan.

Wendy kemudian segera dipindahkan ke ruang bersalin, gue, Jae, dan temen Wendy hanya bisa menunggu di luar ruangan. Tidak ada yang memulai obrolan, masing-masing dari kita semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing, sekaligus berdoa demi kelancaran proses lahiran Wendy.

"Lama banget sih," keluh Jae yang dari tadi tidak bisa diam.

"Sabar."

Hanya kata itu yang mampu gue ucapkan. Karena gue sendiri bingung mau ngomong apaan. Masalahnya gue belum pernah nungguin bini mau lahiran, jadi gue juga nggak bisa ngasih petuah untuk Jae. Boro-boro nungguin bini lahiran, punya bini aja belum.

Jae kembali mondar-mandir. Mulutnya terus menggerutu tidak jelas. Sampai akhirnya teman Wendy, yang gue lupa siapa namanya tadi, mencekal lengan Jae dan menyuruh pria itu duduk.

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang