37. JOVITA

776 130 31
                                    

Selesai bikin kue bareng Mama, beliau mengajakku ke mall. Kalau mertua sudah bertitah, aku sebagai menantu--yang notabenenya masih baru--jelas tidak bisa menolak. Meski rasanya sudah capek luar biasa, aku jelas tidak boleh memperlihatkannya. Pencitraan itu perlu kan?

"Sayang, ini bagus nggak?" tanya Mama sambil menunjukkan dress selutut berwarna kuning gading dengan aksen reda-reda.

Aku mengangguk sambil melihat-lihat dress itu. "Cantik, Ma," ucapku kemudian.

"Kamu suka?" tanya Mama.

"Suka, Ma, bagus. Nggak terlalu rame, simple."

Meski awalnya pikiranku sedang tidak fokus karena kelelahan. Tapi kalau lihat dress cantik begini otakku mendadak fokus.

"Kamu coba, gih!" ucap Mama tiba-tiba.

Aku mengerutkan dahi bingung. "Hah? Kok aku, Ma?"

"Ya, iya kamu, masa Mama mau pake ginian? Udah sana coba, kalau kamu suka dan cocok kita ambil. Kan Mama belum pernah beliin kamu sesuatu."

Eh, mohon maaf gimana tadi? Belum pernah beliin sesuatu yang bagaimana ya? Satu set perhiasan beserta seserahan kemarin apa? Terus hape baruku juga beliau yang beliin, dan begitu dibilang belum pernah beliin aku apa-apa? Nggak anak, nggak emak dua-duanya sama aja. Sama-sama royal. Seketika aku langsung inget Papa, gimana ya perasaan beliau lihat anak dan istrinya royal begini?

Ayah saja kalau lihat aku dan ibu belanja baju dua kali dalam kurun waktu kurang dari sebulan saja ditegur boros. Apa kabar ini?

Ah, tapi Ayah dan Papa kan beda level. Ku rasa ayah akan langsung kena mental nih, kalau tahu betapa royalnya menantu dan besannya.

"Sayang, kok malah ngelamun? Ayo buruan dicoba!"

Sambil meringis aku kemudian mengangguk. Tak ingin kembali ditegur, dengan gesit aku langsung masuk ke ruang ganti untuk mencobanya.

"Gimana, sayang? Nyaman nggak dipake? Coba dong keluar, Mama mau lihat!"

Astaga, mertuaku kenapa tidak sabaran sekali sih. Baru juga mau dicoba.

Kedua mataku sontak membulat kaget saat mengetahui harganya. Buset, mahal banget sih. Aku jadi tidak tega untuk mencobanya.

Saat sedang bergelut dengan pikiran harus kucoba atau tidak, ponselku tiba-tiba bergetar. Buru-buru aku mengeluarkannya dari dalam tas. Nama Satya yang tertera pada layar.

Ngapain dia nelfon jam segini? Batinku keheranan.

Penasaran, aku kemudian langsung menjawab panggilan tersebut.

"Ya, kenapa, Sat?"

"Assalamulaikum, Jovita," tegur Satya.

Aku menarik napas dalam lalu menghembuskannya pelan. "Ya, wa'allaikumussalam suamiku. Ada apa gerangan dikau menelfonku jam segini? Apakah ada yang bisa adinda bantu?"

Di seberang Satya malah terbahak. "Apaan sih? Geli. Habis nonton apaan kamu? Atau emang lagi nonton? Nonton apaan?"

Aku berdecak sambil menyandarkan punggungku ada tembok. "Boro-boro nonton, Sat, gue belum istirahat dari tadi. Capek banget tahu, habis masak dan beberes rumah langsung ke rumah Mama buat bikin kue. Istirahat bentar, ini langsung diajak ke mall."

"Ngapain?"

"Ngabisin duit," sahutku judes.

Satya kembali terbahak. "Kayaknya fix kita udah perlu ART deh di rumah."

Marriage ExpressOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz