46. SATYA

884 129 53
                                    

°

°

°

°

"Morning, sayang," bisik gue tepat pada telinga kiri Jovita yang kini sedang berada di dalam pelukan gue.

Adzan subuh baru berkumandang sekitar lima menit yang lalu. Tapi Jovita belum juga terusik dari tidurnya. Ia hanya menggeliat beberapa saat dan makin merapatkan diri dengan gue.

Hal ini membuat gue berdecak serba salah. Ya iya lah, dinikmati nanti makin telat subuhannya, enggak dinikmati ya mubazir.

"Udah adzan subuh, nanti kita telat lagi subuhannya kayak kemarin kalau kamu nggak cepet bangun, Jovita. Ayo, bangun dulu nanti dilanjut lagi tidurnya."

Gue berdecak kesal saat tak kunjung mendapatkan respon. Ide jahil tiba-tiba terlintas di otak gue, tangan gue kemudian menyusup ke dalam kaos gue yang ia pakai. Dan, bingo! Kedua mata Jovita langsung terbuka sempurna.

"Jam berapa?" tanyanya panik.

Gue terkekeh lalu pura-pura memasang wajah sedih. "Belum juga dilanjut adegan lain, udah kebangun aja. Gagal modus kan," gurau gue kemudian.

Jovita berdecak sambil menyingkap selimut. "Siapa duluan yang mandi? Aku atau kamu?"

"Bareng--aduh!"

Belum juga selesai ngomong, udah disentil aja jidat gue. Mana sakit banget lagi astaga, ya ampun, punya istri satu begini banget sih. Mainnya tangan, padahal enakan langsung. Eh?

"Nggak usah ngaco, aku mandi di kamar kita, kamu mandi di kamar mandi sebelah."

Jovita langsung turun dari ranjang sambil menggulung rambutnya menggunakan jepit rambut.

"Matanya nggak usah jelalatan, langsung mandi, Sat! Nanti kamu telat ke kantornya."

Gue menghela napas sambil memiringkan badan gue. "Hari ini aku bolos ke kantor boleh nggak sih?"

Jovita langsung melotot tajam ke arah gue. "Kenapa sekarang kamu malah males kerja gitu? Nanti kalau aku hamil terus kamunya ogah-ogahan kerja gini, mau dikasih apa aku sama anak kita nanti?"

Gue hanya tersenyum saat mendengar omelannya. Hampir setiap hari diomeli membuat gue terbiasa. Soalnya kalau dipikir-pikir Jovita nggak ngomel itu tandanya dia sedang tidak sedang baik-baik saja, entah itu sedang tidak enak badan atau marah dalam artian nggak mau ngomong sama gue.

"Ya dikasih semua yang kalian butuhin dan kalian inginkan," ucap gue yakin.

"Pake duit siapa?"

"Duit aku lah, masa duit rakyat. Emang aku pejabat yang suka duit rakyat."

Jovita terbahak sambil menyerahkan handuk untuk gue. "Mulut kamu tuh kadang emang seserem itu ya, Sat. Pagi-pagi udah ngomongin pejabat yang doyan duit rakyat lagi. Udah nggak usah ngaco, langsung mandi sana!" suruhnya galak sebelum masuk ke dalam kamar mandi.

Gue terkekeh gemas lalu turun dari ranjang, berjalan menuju kamar mandi dan mengetuk pintu.

"Kenapa sih, Sat? Udah yang penting mandi dulu di kamar sebelah, gosok giginya nanti aja. Aku udah terlanjur lepas baju."

Gue langsung mendengus. Ya iya lah udah lepas baju, orang tadi dia ke kamar mandi cuma pake kaos gue doang.

"Udah buka aja dulu!"

Cklek.

"Ngapain sih?" decaknya sebal, ia kemudian menyerahkan sikat gigi gue, "nanti keburu abis waktu subuhnya, Sat."

Marriage ExpressWhere stories live. Discover now