9. JOVITA

760 114 6
                                    

Aku langsung berseru kegirangan setelah menuang ayam mentega yang baru selesai kumasak ke dalam mangkuk. Dengan cekatan, aku langsung mencari keberadaan ponsel. Memotret hasil masakan ala-alaku lalu memostingnya di Instagram. Followerku harus tahu kalau aku juga bisa memasak meski ala rasanya tak seenak Chef bintang lima, tapi tidak masalah bukan, asal masakan kita masih bisa dimakan dan nikmati. Setidaknya aku cukup puas dengan hasilnya.

Setelah selesai memposting dan membaca beberapa komentar yang masuk sebentar, aku meletakkan ponsel. Beranjak dari kursi makan dan mencari nasi, karena perutku mulai terasa semakin lapar saat mencium bau masakanku sendiri. Setelah mengambil nasi, aku kembali duduk, menyendok nasi dan bersiap menyuapnya. Namun, sepertinya semesta sedang tidak berpihak padaku untuk makan. Karena tepat saat ujung sendok menyentuh bibir, tiba-tiba terdengar suara memanggil dari depan. Mencoba ingin mengabaikan panggilan tersebut dan kembali menyuap, tapi suara di depan terdengar semakin tidak sabaran.

"Permisi!"

"Kak, ada tamu itu, coba kamu lihat!" teriak Ayah.

Dengan sedikit tidak rela, aku kemudian segera beranjak dan meninggalkan dapur. "Iya, sebentar," balasku ikut berteriak.

"Permisi!"

"Astaga, tamu mana sih? Ngeyel bener," gerutuku mulai kehilangan kesabaran. Bagaimana pun perutku saat ini sedang lapar-laparnya, tapi tidak bisa makan. Kan nyebelin.

"Ya, cari sia... pa?"

Aku tidak bisa menahan rasa terkejutku, saat membuka pintu dan menemukan rombongan orang yang membawa parcel hantaran. Di antara mereka ada seorang Kakek-kakek yang wajahnya agak familiar, tapi aku juga tidak yakin jika mengenalnya. Hanya sekilas seperti pernah melihatnya, tapi di mana, ya?

"Mohon maaf, Kek, cari siapa, ya?" tanyaku setelah membuka gerbang. Aku tidak langsung mempersilahkan mereka masuk, karena takutnya ternyata cuma mau tanya alamat rumah.

"Saya cari orangtua kamu," ucap Kakek itu mewakili.

Nyari Ayah dan Ibu? Apa ini kerabat jauh Ayah atau Ibu? Makanya aku merasa seperti pernah melihatnya.

"Ayah dan Ibu saya?"

"Iya, rumahnya Haidar Wijaya dan Siti Hamidah kan?"

Masih dengan raut wajah bingung, aku mengangguk mengiyakan. "Iya, benar. Itu nama kedua orangtua saya. Sebentar!" Aku kemudian masuk ke dalam rumah dan mencari keberadaan Ayah.

"Ayah! Ayah! Ada tamu," teriakku.

"Siapa?"

Aku mengangkat kedua bahuku secara bersamaan. "Enggak tahu, Kakek-kakek, Yah, nyariin Ayah. Kakak ngerasa kayak kenal sih, cuma nggak yakin siapa. Bawa rombongan, Yah, mana bawa parcel hantaran kayak mau ngelamar."

"Rombongan keluarga pacar kamu?"

Aku melotot kesal. Ini maksud Ayah sedang menyindirku?

Ayah terkekeh sambil geleng-geleng kepala lalu menyuruhku untuk segera membuat minuman. Baru setelahnya beliau berjalan keluar rumah, menyambut tamunya. Dengan sedikit terpaksa aku pun kembali ke dapur untuk membuat minuman sesuai intruksi Ayah. Saat hendak menyiapkan cangkir aku mendadak bingung harus membuat berapa, alhasil aku harus mengintip ke arah tamu untuk menghitung. Hanya ada dua orang di hadapan Ayah, beberapa orang yang membawa hantaran parcel tadi tidak ada di sana. Suasana di sana pun tampak cukup serius, kira-kira sedang bahas apaan, ya, mereka? Dia bukan perwakilan dari keluarga Adit yang mau ngelamar Novi kan? Astaga, jangan sampai dong. Kan aku belum dapet calon suami, nggak lucu dong kalau aku beneran mau dilangkahi Novi.

Marriage ExpressWhere stories live. Discover now