10. SATYA

772 116 6
                                    

°

°

°

°

"Kamu serius dengan anak saya?" tanya Ayah Jovita.

Gue melongo sambil memasang wajah terkejut gue. "Hah?"

Serius? Serius ngapain nih maksudnya?

"Saya tanya sama kamu, kamu mau serius dengan anak saya? Usianya sudah cukup, kalau memang ada niat baik ke arah sana, lebih baik disegerakan," ulang Ayah Jovita memperjelas maksud ucapannya.

Gue masih memasang wajah bingung gue sambil berguman, "Niat baik ke arah sana." Lalu kembali menoleh ke arah Jovita untuk meminta bantuan.

Ini gue harus jawab apa?

"Ayah. Kita itu--"

"Saya memang serius, Om," sahut gue tiba-tiba.

Gue sendiri juga nggak tahu kenapa tiba-tiba ngomong ini. Hal ini membuat Jovita langsung melotot kaget ke arah gue. Namun, gue mencoba untuk mengabaikannya dan melanjutkan ucapan gue dengan ekspresi serius, biar lebih terasa meyakinkan.

"Saya memang berniat serius dengan anak Om, tapi untuk menikah dalam waktu dekat sepertinya kami belum siap, Om. Kami memang pernah membahas ini sebelumnya, tapi Jovita memilih untuk lulus kuliah dan bekerja terlebih dahulu. Jovita ingin membahagiakan Om lebih dulu sebelum saya melamarnya."

Namun, bukannya terkesan Ayah Jovita malah menunjukkan wajah terkejutnya. Jovita tertawa sumbang dan memukul gue dengan manja. Namun, cukup keras. Hal ini tentu saja membuat gue mengaduh kesakitan. Anjir, sakit beneran pukulannya. Kecil-kecil kekuatannya nggak main-main ternyata.

"Hahaha, sayang, bisa banget kamu bercandanya." Jovita kemudian mendekat ke arah gue sambil berbisik, "gue udah lulus kuliah kampret!"

Hah? Udah lulus kuliah? Bukannya dia temennya Dewa? Dewa juga belum lulus kan? Dia masih mengerjakan skripsi. Gue melotot terkejut saat mengingat kalau Dewa sempat ambil cuti kuliah. Mampus gue! Kenapa gue sok tahu banget tadi.

Gue kemudian ikut tertawa sumbang. "Haha, ya ampun, sayang. Kan kamu udah lulus ya? Gimana aku bisa lupa? Ini pasti gara-gara Dewa yang nggak lulus-lulus."

Wa, maafin gue karena bawa-bawa nama lo, ya. Gue terpaksa. Semoga lo nggak marah.

"Siapa Dewa?"

"Temen Kakak, Yah. Dia ambil cuti kuliah, makanya belum lulus, Satya tahu kalau aku sama Dewa seumuran makanya Satya ngira kalau aku juga masih kuliah gitu."

"Benar begitu?" tanya Ayah Jovita penuh selidik.

Gue mengangguk cepat seraya mengiyakan.

"Sejauh apa hubungan kalian? Sudah berani melangkah ke jenjang serius apa belum? Kamu tadi bilang belum siap karena ingetnya anak saya masih kuliah, tapi sekarang putriku sudah lulus dan bekerja. Jadi, gimana? Kalian sudah siap menikah?"

"Ayah," seru Jovita terlihat tidak suka dengan pertanyaan sang Ayah.

Kali ini gue memilih untuk diam saja karena takut kalau salah ngomong lagi. Sudah cukup gue membuat kekacauan ini.

Tanpa terduga, Ayah Jovita tiba-tiba terkekeh. "Tidak perlu dijawab kalau memang masih berat. Tidak apa-apa, Ayah bukan tipe orang tua yang suka memaksa kehendak anaknya, kalau kalian memang belum ya sudah." Setelah mengatakan itu, beliau langsung berdiri, "ya sudah, Ayah tinggal."

"Iya, Om, terima kasih sudah mengizinkan saya main ke rumah," ucap gue lalu ikut berdiri.

"Saya nggak pernah larang siapapun main ke sini. Kamu kalau mau main ke sini setiap hari juga boleh," ucap Ayah Jovita tanpa gue duga.

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang