12. SATYA

746 116 4
                                    


°

°

°

°

Rasa pening luar biasa yang sejak tadi siang gue rasakan kini kembali menyerang. Bahkan sejak tadi sore gue juga sempat muntah-muntah. Saat ini gue masih di ruang inap Papa bersama Mas Rama. Gue berusaha untuk memejamkan mata. Namun, rasa tidak nyaman ini membuat gue susah tidur. 

Gue kemudian melirik ke arah ranjang khusus pasien. Di sana Papa terlihat tidur dengan pulasnya. Pandangan gue kemudian beralih ke arah Mas Rama yang tidur tak kalah pulas. Ia memang sempat bolak-balik Jakarta-Surabaya beberapa hari terakhir. Gue paham betapa capeknya dia ngurus kasus yang sedang ditanganinya, ditambah harus bolak-balik Surabaya-Jakarta. Sebenernya kasian juga gue lihatnya.

Merasa semakin tidak nyaman, gue memutuskan untuk bangkit berdiri. Dan ternyata itu mengusik tidur Mas Rama.

"Mau ke mana lo?" tanyanya masih dengan kedua mata setengah terbuka.

"IGD."

Mas Rama langsung menegakkan tubuhnya. "Siapa yang masuk IGD?"

"Perut gue rasanya nggak nyaman. Gue mau ke sana, periksa."

"Lo sakit?" tanyanya khawatir.

Gue menggeleng. "Cuma nggak enak aja perut gue, Mas. Sama pusing dikit."

"Astaga, sejak kapan? Kenapa nggak bilang? Mita tahu nggak lo lagi sakit gini?"

Gue menggeleng. Memang tidak ada yang tahu kalau gue sedang tidak enak badan.

"Masuk angin doang kayaknya, Mas."

"Ya ampun, pantesan gue perhatiin lo kuyu banget hari ini. Ya udah, ayo buruan gue temenin. Nggak lucu banget tau, Sat, kalau lo ikutan tumbang."

Gue tertawa. "Enggak usah, Mas. Gue bisa sendiri. Lo di sini aja temenin Papa, kasian kalau ditinggal."

Mas Rama memandang gue ragu. "Yakin lo bisa sendiri? Kuat?"

Gue kembali tertawa. "Kuat, Mas, IGD ada di lantai bawah, deket. Nggak masalah. Gue pernah konser dua jam pas lagi sakit, masa masuk angin gini doang ke IGD yang ada di lantai bawah nggak kuat."

Mas Rama berpikir sejenak lalu melirik gue. "Bukannya waktu itu lo langsung pingsan dan sampai harus dilarikan ke rumah sakit begitu turun stage, ya? Seinget gue juga lo dirawat lebih dari tiga hari."

Kali ini gue meringis malu. "Itu gara-gara Mama aja yang lebay," elak gue kemudian.

Mas Rama mendengus. "Ya udah, sana buruan ke IGD! Kalau ada apa-apa langsung hubungi gue."

Gue mengangguk paham seraya mengacungkan jempol. "Jangan sampai Papa tahu loh, Mas."

"Iya lah, lo pikir gue gila."

"Ya udah, tidur lagi aja lo, Mas."

Mas Rama mengangguk lalu mengantarkan gue keluar ruangan. Suasana bangsal cukup sepi karena ini sudah hampir tengah malam.

"Selamat malam, Sus."

Gue langsung menyapa salah satu perawat yang berjaga di IGD. Bukannya langsung membalas sapaan gue, perawat itu malah melirik gue agak sinis. Gue nggak tahu itu lirikan beneran sinis apa cuma perasaan gue aja. Tapi setidaknya begitulah yang gue lihat.

"Ada apa, Mas?"

"Mau periksa, Sus."

Perawat itu langsung berdiri. "Mana yang sakit?" tanyanya kemudian.

"Saya."

"Oh. Sendirian, Mas? Walinya mana?" tanya perawat itu.

"Tidak ada wali, Sus."

Marriage ExpressWhere stories live. Discover now