3. JOVITA

993 138 8
                                    


Setelah selesai berbicara dengan Ayah, aku memutuskan untuk berbicara empat mata dengan Novi. Ini tidak bisa dibiarkan, masa iya aku mau dilangkahi.

Enak saja, langkahin dulu sini mayat gue!

"Nov, Novi! Buka pintunya! Ini gue," teriakku sambil menggedor pintu kamar Novi dengan keras.

Butuh waktu sedikit lama hingga akhirnya pintu terbuka dan Novi menampakkan wajahnya dengan ekspresi sebal.

"Apaan sih, Kak? Ganggu aja," gerutunya sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada, sebelah lengan yang menyender pada kusen pintu.

"Heh, lo ngomong apa sama Ayah?"

Bukannya menjawab, Novi malah menaikkan alisnya bingung sambil menatapku heran. "Apaan? Aku nggak ngomong apa-apa sama Ayah kok."

"Nggak ngomong apa-apa gimana, kalau nyatanya Ayah baru aja tanya pendapat gue, kalau lo mau nikah duluan. Lo jangan gila dong! Kuliah aja belum sok-sokan mau nikah. Apa sih yang ada di otak lo selama ini?"

Novi melotot tidak terima saat mendengar ucapanku. "Ini hidup aku, Kak, mau gimana aku nantinya biar aku sendiri yang memutuskan," balasnya emosinya.

Aku semakin frustasi menghadapinya. "Tapi nggak harus nikah muda juga! Lo sadar nggak sih umur lo sekarang ini berapa? Dan lo mau ngelangkahin gue gitu? Nggak! Nggak sudi gue." Aku menggeleng tegas, menentang idenya.

Dengan wajah kesalnya, Novi menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil tersenyum mengejek. Wah, mulai kurang ajar dia.

"Kalau Kak Jo nggak mau aku langkahin, makanya nikah! Jangan karena Kak Jo yang belum mau nikah terus aku harus ngalah gitu buat Kakak? Enggak, aku nggak bakalan ngelakuin itu. Aku juga mau bahagia."

"Demi Tuhan, lo masih 20 tahun, Nov!" ucapku geram.

"Ya, terus kenapa?" tantang Novi dengan wajah sengaknya.

Aku menahan napas sejenak sambil menunjuk wajah Novi gemas. "Lo tuh, ya."

"Apa?"

Novi semakin nyolot. Aku semakin kehilangan kata-kata dan kesabaran saat menghadapinya. Tanganku saat ini benar-benar gatal ingin menjambak rambutnya, saking gemasnya. Untung saja tak lama setelahnya Ayah datang. Coba kalau tidak, habis sudah pasti rambut Novi kujambak.

"Ada apa sih ini ribut-ribut? Sampai kedengaran depan loh. Rebutan apa lagi kali ini? Catokan rambut?" Ayah bertanya dengan nada heran, menatapku dan Novi bergantian.

"Kakak tuh, Yah," adu Novi.

Dengan wajah dibuat sok melas, ia langsung menghampiri Ayah dan merangkul lengan beliau, meminta perlindungan. Ah, aku benci dengan adegan selanjutnya yang akan terjadi.

"Kakak," panggil Ayah dengan nada suara menegur.

"Kakak marah-marah, Yah, sama adek, gara-gara adek minta izin nikah duluan."

Ayah menghela napas sambil menatapku sedih. Sebisa mungkin aku menghindari tatapan mata beliau.

"Bener itu, Kak?" tanyanya memastikan.

Saat aku melirik ke arah Ayah, beliau tampak menatapku lembut. Ya Tuhan, aku benar-benar membenci adegan ini.

Aku berdecak tidak suka. "Kakak nggak mau, Yah, kalau adek nikah duluan. Kakak lebih tua, masa Ayah tega ngebiarin Kakak dilangkahi adek? Ayah nggak kasian kalau nanti Kakak jadi bahan omongan tetangga karena dilangkahi adiknya. Kakak perempuan loh, Yah, seenggaknya kalau Kakak laki-laki, Kakak lebih ikhlas." Tidak terasa nada suaraku sedikit bergetar saat mencurahkan isi hatiku, bahkan kedua mataku terasa perih karena harus menahan air mata ini agar tidak jatuh.

Marriage ExpressWhere stories live. Discover now