49. JOVITA

779 117 27
                                    

"Dewa?" panggilku pada sesosok pria yang memiliki perawakan tubuh seperti Dewa.

Suaraku seolah keluar secara spontan saat melihat pria itu, untungnya saat pria itu menoleh dan membuka maskernya, beneran Dewa. Reflek aku menghela napas lega, seenggaknya aku tidak salah mengenali orang.

"Wah, iya, beneran. Lo ngapain di sini, Wa?"

Dewa terlihat terkejut saat melihatku. Namun, hal itu tak berlangsung lama, cepat-cepat ia menutupi rasa terkejutnya dan membalasku dengan tersenyum.

"Abis ketemu temen sih. Kamu?"

Aku tersenyum menggaruk rambut bagian belakangku. "Hehe, nggak abis ketemu siapa-siapa sih, menikmati quality time sendiri aja sambil kelarin baca buku. Lagi bosen sama suasana rumah," cengirku kemudian, "sumpah gue nggak tahu kalau tadi ada lo."

"Aku juga nggak tahu, malah kalau kamu nggak manggil aku sama sekali nggak tahu. Sorry, ya."

Aku mengangguk tidak masalah. "Eh, ngomong-ngomong gimana sidang skripsi lo? Lancar?"

Dewa meringis canggung. "Ya gitu lah, sekarang udah tinggal nunggu yudisium terus wisudanya aja. Minta doanya ya, semoga aku cepet lulus."

"Aamiin." Aku langsung mengamini dengan cepat, "eh, lo mau kemana abis ini?"

"Pulang sih, kamu?"

"Pulang juga sih."

"Mobil kamu mana?" Dewa kemudian celingukan mencari keberadaan mobil yang biasa mengantarku.

Aku tersenyum sambil mengeluarkan kunci motorku. "Gue bawa motor," ucapku sambil menggoyang-
goyangkan kunci motor milikku.

Dewa terlihat terkejut. "Bang Satya kasih izin kamu bawa motor?"

Ekspresiku langsung berubah kecut. "Enggak sih," akuku jujur.

Satya memang melarangku naik motor, katanya karena dia tidak ingin aku merasakan panasnya jalanan ibukota. Padahal juga dulu sebelum kami menikah, kalau pergi-pergi juga motoran. Lebay banget emang dia. Bahkan tadi pagi aku sampai mengeluarkan jurus andalan untuk membujuk Satya, tapi dia masih kekeuh pada pendiriannya.

Pagi tadi

"Sayang."

Aku langsung menyambut Satya yang baru saja keluar dari kamar mandi.  Ekspresiku kubuat semanis mungkin. Aku bahkan langsung memeluknya tidak peduli meski tubuh Satya masih sedikit basah. Demi melancarkan aksi, aku rela melakukan apapun.

Satya merasa terkejut dengan sikapku yang tidak biasa. "Ada angin apaan nih pagi-pagi udah peluk-peluk gini? Mulai nakal nih ceritanya?" Ia terkekeh tidak habis pikir, "Aku baru selesai mandi, sayang. Enggak, ya, nanti malam aja, oke? Aku nggak mau telat ngantor, hari ini Kakek mau berkunjung. Bisa kena omel beliau ntar aku." Satya mencium bibirku sekilas lalu berusaha melepaskan pelukanku.

Aku langsung menghadangnya saat Satya hendak membuka pintu lemari. Aku cemberut. Satya tertawa keras lalu mencubit hidungku secara gemas. "Jangan pasang ekspresi begitu ah, nanti bikin aku males ngantor."

"Boleh ya?" rengekku sambil mengedipkan kedua mata genit.

Kali ini ekspresi Satya berubah. Ia langsung berdecak kesal sambil mendorong tubuhku agar menyingkir dari hadapannya. "Enggak," tolaknya tegas, terdengar tidak ingin dibantah. Ia kemudian membuka lemari dan mengeluarkan kemeja dan celana bahannya, "sekali aku bilang enggak, itu artinya enggak boleh, Jovita! Kamu mau jadi istri durhaka nggak mau dengerin apa kata suami?"

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang