22. SATYA

731 126 15
                                    

°

°

°

°

"Jadi, maksud dan tujuan Nak Satya ke sini apa?"

Seketika gue langsung merasakan kedua telapak tangan gue mendadak berkeringat, begitu mendengarkan pertanyaan Ayah Jovita. Belum lagi dengan beberapa pasang mata yang menatap gue secara instens. Ada Novi, adik Jovita, dan Ibu Jovita. Keduanya seolah kompak menatap gue penuh dengan rasa penasaran.

Gue benar-benar meruntuki kebodohan gue yang nekat datang ke sini sendirian. Tahu begini, gue harusnya menunggu Mas Rama datang ke Jakarta dan mengajaknya saja. Tapi nasi sudah jadi bubur, gue nggak bisa mendadak pamit pulang dan bilang kalau besok mau ke sini lagi buat ngomongin keseriusan gue. Kan nggak lucu.

Gue berdehem guna mengusir perasaan gugup gue, lalu menoleh ke arah Jovita. Perempuan itu kini sudah berganti pakaian dengan pakaian lebih sopan. Dress selutut dengan motif bunga-bunga yang membuatnya terlihat begitu manis.

"Saya mau mengutarakan niat serius saya melamar Putri Om."

"Kenapa nggak ajak orangtua kamu?"

Mampus. Pertanyaan Ibu Jovita bikin gue lemes seketika. Gue nyaris kehilangan kata-kata yang tadi udah gue susun dengan epic-nya.

"Anu... itu, kondisi Papa saya sedang dalam proses pemulihan, jadi saya hari ini datang sendirian. Mau mengajak Kakak ipar saya, tapi dia tinggal di Surabaya, agak susah minta dia buat ke Jakarta makanya saya nekat datang sendiri. Tapi saya janji, secepatnya akan ajak mereka."

Ayah Jovita mangguk-mangguk maklum, ekspresinya terlihat tidak bisa gue tebak. Membuat gue khawatir kalau gue akan berakhir dengan salah ngomong.

"Kamu beneran serius mau nikahin anak saya? Dia adanya begini loh. Masih banyak kekurangannya, kamu yakin bisa menerima dia apa adanya? Keluarga kami juga hanya keluarga sederhana. Ya, memang adanya cuma begini."

Tanpa keraguan sedikit pun, gue mengangguk yakin. "Saya yakin, Om. Saya akan berusaha mencintai kekurangan dan menerima kelebihan Jovita semampu saya. Om izinin saya nikahin Putri Om kan?"

"Cepat juga ya, kalian berubah pikirannya. Bukannya waktu kalian bilang belum siap menikah, kenapa sekarang seolah malah ngebet begini? Apa karena desakan Kakek kamu?"

Mampus! Gue harus jawab apa ini?

"Enggak ada yang mendesak, Yah. Beberapa hari terakhir kita banyak diskusi dan memutuskan kalau emang udah nggak bisa begini terus, Yah. Kakek Satya dan ibu ada benernya juga, kalau umur kita memang sudah sepatutnya menikah."

"Benar begitu?" Pandangan Ayah Jovita kemudian beralih pada gue.

Gue kemudian mengangguk cepat.

"Jadi kalian sudah yakin ingin menikah? Kamu benar-benar serius ingin menikahi putriku?"

"Iya, Om, asal Om kasih restu. Saya ingin menikahi putri Om."

"Kalau saya sih terserah sama anaknya mau nggak sama kamu. Kalau dia-nya mau, ya, saya kasih restu dan izin, tapi kalau dia-nya nolak. Ya saya cuma bisa nunjukin arah jalan pulang." Ayah Jovita kemudian menatap sang putri dengan tatapan intensnya, "Kak, kamu beneran mau dinikahin Nak Satya?"

Begitu Ayah Jovita mengeluarkan pertanyaan itu, gue langsung merogoh kantong celana gue dan mengeluarkan kotak cincin dari dalam sana. Gue tidak langsung menunjukkannya, melainkan memilih untuk menyembunyikannya terlebih dahulu. Karena bukannya langsung menjawab, Jovita malah menatap Ayah, Ibu, bahkan daan adiknya secara bergantian.

Astaga, ini orang bener-bener, ya. Gue udah ketar-ketir nunggu jawaban, dia-nya malah ngeabsen anggota keluarganya.

"Buruan dijawab, Kak, itu pacarmu sudah nggak sabar nungguin jawaban kamu."

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang