2. SATYA

1.4K 143 4
                                    


°

°

°

°

Gue akhirnya bisa bernapas lega, setelah sampai di backstage. Sambil tersenyum bangga, gue menatap anggota band gue secara bergantian. Wajah mereka terlihat kelelahan. Namun, meski demikian binar bahagia tetap tidak bisa mereka sembunyikan. Ya, gue dan keempat member Enam Hari--nama band kami--baru saja menggelar konser.

"Abis ini mau makan-makan di mana nih? All can you eat enak nih kayaknya," celetuk Brian sambil memainkan kedua alisnya naik-turun. Ia kemudian menepuk paha Dewa yang duduk tepat di sampingnya, meminta pendapat dari sang drummer.

Dewa mendengkus. "Makan mulu, iih, Bang Brian mah." Kemudian menyingkirkan tangan Brian yang masih bertengger di atas pahanya.

"Heh, makan itu kebutuhan, Wa. Kalau tak makan, mati lah kite," balas Brian membela diri.

Emang dasar tukang makan sih ini Bassist kita. Makanya tubuhnya paling berisi di antara kami berlima. Nggak kayak Jae, mamber tertua yang bertubuh kurus kering macem nggak pernah dikasih makan sama bini. Ya, selain yang paling tua, Jae memang sudah berstatus sebagai suami orang. Istrinya, Wendy, kini bahkan sedang mengandung buah cinta mereka. Gue lupa sih usia kandungannya sekarang berapa, cuma seinget gue udah tujuh bulanan gitu. Ya, tinggal nunggu lahirnya aja sih kayaknya. Makanya kita lagi ngusahain buat nggak terima job manggung ke luar pulau kota.

"Korban UI lo."

Nah, ya barusan komen itu Jae. Nama kerennya aja, aslinya mah namanya Jaelani, Instrumen yang dia pegang sama kayak gue. Gitar. Cuma bedanya dia lebih sering main gitar elektrik, sedangkan gue gantian antara gitar akustik dan elektrik.

"UI apaan, Bang?" Wira kemudian menyahut dengan wajah keheranan sekaligus bingung, "Universitas Indonesia?"

"Upin Ipin, Wir," sahut gue sambil terkekeh.

Wira kemudian langsung mangguk-mangguk setelah mendengar jawabanku. Member paling maruk di antara kita berlima ini memang kadang rada-rada sulit memahami bahasan kami. Bahasa kasarnya dia ini agak lemot.

Ohya, kenapa gue bilang dia member maruk, karena dia pegang dua instrumen, keyboard dan synthesizer. Maruk kan? 

Kalau kalian tanya siapa vokalisnya, jawabannya, ya jawabannya kami berlima. Meski untuk Dewa dia lebih jarang mengisi part lagu ketimbang kami berempat, alasannya karena dia yang kurang percaya diri saja sih. Padahal menurut gue dan yang lainnya, suara Dewa lumayan cukup bagus kok.

Jae langsung mengacungkan jempol kirinya, karena tangan kanannya sedang sibuk memegang ponsel.

"Jadi, ini kita mau makan di mana?" Brian kembali bertanya, ekspresinya terlihat sudah tidak sabar untuk makan-makan.

"Gue skip ya. Nggak tega gue kalau ninggalin bini di rumah cuma buat makan-makan doang." Jae menurunkan ponselnya, agar sedikit menjauh dari pandangan kemudian menoleh ke arah gue, "Pak ketua, boleh kan?"

Tanpa banyak berpikir, gue kemudian mengangguk. Enggak tega juga gue ngebayangin Wendy sendirian di rumah tanpa ada suami yang menemani, ya, meski ada asisten rumah tangga yang nemenin sih sebenernya. Tapi tetap aja beda. Kalau ada apa-apa gimana? Apalagi Wendy kan sudah hamil tua, takut tiba-tiba mau melahirkan kan bahaya kalau nggak ada laki yang stand by di sana.

"Iya, sekarang langsung balik juga boleh kok," kata gue kemudian.

Jae mengangguk sambil mengacungkan jempolnya kembali. "Gue baliknya bareng kalian nggak papa kok."

"Oke, Bang Jae nggak ikut. Terus jadinya makan--"

"Sat, Kakak lo tadi nelfon gue minta dikirimin lokasi konser kalian. Dia juga kasih info, katanya mau kirim supir buat jemput lo. Lo siap-siap, ya!"

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang