52. SATYA

709 110 19
                                    

°

°

°

°

Alhamdulillah, kondisi Jovita berangsur membaik. Dia sudah melakukan kegiatan seperti biasanya meski gue masih membatasi kegiatannya agar dia tidak terlalu capek dulu. Untuk kondisi psikis, gue belum bisa menjamin apa kondisinya sudah benar-benar stabil atau belum. Soalnya kemarin gue tidak sengaja mempergoki dia masih diam-diam menangis. Sepertinya Jovita masih butuh banyak waktu untuk benar-benar merelakan calon bayi kami.

Sama seperti Jovita, gue sebenarnya, kalau boleh jujur terkadang memang antara masih belum rela dan mencoba merelakan. Tapi karena gue laki-laki dan harus menguatkan istri gue, gue tidak boleh memperlihatkan perasaan belum rela itu. Setidaknya gue tidak mau menambah kesedihan Jovita.

"Hari ini aku ngantor ya?" ucap gue pada Jovita sambil memakai kemeja.

"Emang kalau aku bilang nggak, kamu bakal batal ngantor? Orang kamunya udah siap-siap begitu."

"Kalau enggak dibolehin, aku lepas lagi kemejanys. Gimana, boleh nggak?" Gue kemudian berbalik dan menatapnya yang kini tengah duduk di tepi ranjang.

Bukannya langsung menjawab, Jovita malah tertawa. "Ya boleh lah, Sat, kamu kan ngantor buat kerja. Nyari uang buat aku juga, masa nggak aku bolehin."

Gue mengangguk lalu mengambil dasi dan menghampiri Jovita. "Pasangin!"

Jovita langsung berdecak. "Katanya nggak mau jadi suami manja, kenapa minta dipasangin segala?"

"Lagi pengen jadi suami manja," jawab gue santai.

Jovita mendengus. Gue terkekeh lalu melingkarkan kedua tangan gue pada pinggangnya. Saat gue hendak mendekatkan wajah gue, Jovita langsung memukul dada gue.

"Bentar dulu dong, Sat, belum rapi nih," omelnya galak.

Dibanding harus melihatnya murung atau bersedih. Gue lebih memilih membuat Jovita mengomel. Setidaknya, bagi gue itu lebih baik. Karena rasanya tidak tega harus melihat wajah sembabnya.

Gue kemudian mengangguk patuh. Membiarkan Jovita memasangkan dasi untuk gue, setelah selesai, gue langsung menarik tubuh Jovita agar lebih menempel pada tubuh gue. Gue mendekatkan bibir gue pada bibirnya. Tepat saat bibir kami hampir bersentuhan, suara Marni tiba-tiba terdengar dari luar.

"Pak! Bu! Sarapan sudah siap," teriaknya dari luar.

Gue mengumpat kasar. Ganggu sekali sih Marni. Dan yang membuat gue bertambah kesal, Jovita malah menertawakan gue. Ya, sebenernya gue seneng sih liat dia ketawa. Tapi di sisi lain gue juga kesel karena dia ngetawain gue karena gagal dapet ciuman.

"Yuk, sarapan dulu," ajaknya sambil melepaskan diri dari kungkungan gue tadi.

Gue merengut sambil menarik lengannya. "Bentaran doang ya?"

Jovita menghela napas lalu mengangguk pasrah. Gue langsung bersorak kegirangan. Tumben-tumbenan nih.

Tak ingin membuang banyak waktu, gue langsung menghimpit tubuh Jovita, menautkan kedua bibir gue pada bibirnya. Tangan gue tidak tinggal diam, aktif bergerilya, menjamah tubuhnya. Mendadak gue seperti orang yang sedang kesetanan.

"Ssat..." desis Jovita, "ngg... ngan... tor."

Astaga, gue lupa diri. Dengan sedikit tidak rela, gue akhirnya melepaskan pungutan kami.

"Masih pagi, Sat, astaga!" omel Jovita sambil merapikan penampilannya, lalu beralih membantu merapikan penampilan gue, "ayo, sarapan!"

Gue mengangguk setuju lalu mengajak Jovita untuk segera turun. "Nanti Wendy mau ke sini sama Jae sama anak Enam Hari juga. Mau jengukin kamu, aku nanti pulang cepet kok, begitu rapat kelar, langsung pulang. Kamu jangan deket-deket sama Dewa," pesan gue saat kami menuruni anak tangga.

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang