32. SATYA

727 126 37
                                    

°

°

°

°

"Yakin udah sembuh?" ulang gue entah yang kesekian kali.

Hari ini rencananya gue dan Jovita mau ke butik langganan nyokap gue untuk diukur. Sebenarnya saat ini kami sudah sama-sama masuk ke dalam mobil, Jovita sendiri bahkan sudah siap memakai seat beltnya dan berdecak kesal.

"Astaga, Sat, nggak ada pertanyaan lain? Gue bilang gue udah sembuh, nggak usah lebay bisa? Lagian gue cuma demam, bukan sakit yang parah, astaga!"

"Kan gue cuma khawatir, gue nggak mau lo kenapa-kenapa. Diukur kan bisa besok-besok lagi," gerutu gue kemudian.

Jovita sudah memakai seat beltnya, otomatis gue ikut memakai seat belt gue sendiri.

"Ya, besok-besok emang bisa, tapi lo kan kalau week day ngantor."

"Ya, kan bisa pas makan siang gue nyusul."

"Nah, itu dia, gue masih suka jiper kalau harus berduaan sama nyokap lo."

"Mama," koreksi gue lalu mulai melajukan mobil, "nyokap gue juga nyokap lo. Biasain nyebut Mama. Lagian kan Mama baik sama lo, ngapain lo takut sih?"

"Nah, itu dia, nyo... Mama maksud gue," ralat Jovita cepat, "Mama tuh baik banget dan menurut gue terlalu baik sampai bikin gue kadang takut, Sat."

Gue terkekeh mendengar pengakuannya. "Aneh lo, harusnya lo seneng dong dapet calon mertua baik. Gimana sih?"

"Ya, iya gue seneng, Sat, karena gue sempet parno kalau keluarga lo nggak bakal suka sama gue. Tapi maksud gue baiknya keluarga lo tuh bikin gue ngerasa minder, nanti kalau gue nggak sesuai ekspektasi mereka gimana? Kalau gue nggak bisa balas kebaikan mereka gimana?"

Gue kembali tersenyum dan berusaha untuk meyakinkannya. "Bisa kok, pasti bisa. Percaya sama gue."

Jovita tidak merespon banyak, ia hanya mengangguk dan mengamini setelahnya. Lalu suasana mobil mendadak hening, gue mencoba memfokuskan pandangan gue pada jalanan di hadapan kami. Sedangkan Jovita memilih untuk melihat ke luar jendela. Seolah pemandangan di luar jauh lebih menarik ketimbang melihat gue. Atau memang bisa jadi menurutnya pemandangan di luar sana lebih menarik ketimbang gue kali ya.

Cukup lama kami melewati perjalanan dalam kesunyian, Jovita akhirnya membuka suara.

"Setelah kita nikah nanti, kira-kira kita bakal tinggal di mana?"

"Gue ada rumah, nanti kita bakal tinggal di sana."

Jovita mangguk-mangguk paham. "Berarti mandiri ya, langsung pisah sama orang tua."

Kali ini giliran gue yang mengangguk. "Iya, biar kitanya sama-sama nyaman. Rumah gue nggak terlalu gede sih sebenernya, cuma ya lumayan lah cukup untuk kita tinggal berdua."

"Berdua aja?" Kening Jovita tiba-tiba berkerut heran.

Gue garuk-garuk kepala salah tingkah. "Ya, bisa bertiga atau berempat," ralat gue kemudian, "kalau mau lebih berarti ya nantinya kita baru pindah rumah yang lebih besar lagi."

Di luar dugaan, Jovita tiba-tiba terbahak. "Anjir, Sat, obrolan kita udah kayak calon penganten beneran aja ya. Mendadak gue merinding sama topik kita."

"Ya kan kita emang calon pengantin beneran, Jovita. Kita beneran mau nikah loh, jangan kamu pikir kita lagi main-main," decak gue kesal.

Gue tidak suka dengan cara bicara Jovita yang terdengar kalau kami tidak bersungguh-sungguh akan menikah.

Marriage ExpressWhere stories live. Discover now