29. JOVITA

704 116 17
                                    

Aku langsung dapat merasakan perubahan wajah Satya begitu aku mengutarakan isi hatiku. Jujur, apa yang kukatakan barusan tidaklah mudah bagiku. Tapi pada kenyataannya itu terlalu mengganggu pikiranku sejak semalam. Aku bahkan tidak bisa tidur lagi tadi malam, hal ini lah yang membuat demamku hingga pagi ini belum turun.

"Maksud lo apaan ngomong begitu, Jovita? Lo sadar nggak sih sama apa yang lo ucapin barusan?"

Rahang Satya terlihat mengetat, pertanda kalau ia sedang menahan emosinya dengan sekuat tenaga.

"Apa emang dari awal emang lo sebenernya nggak benar-benar serius gue nikahi? Jawab gue! Lo cuma mau main-main sama gue selama ini?"

Aku menggeleng cepat. "Enggak gitu, Sat."

"Terus gimana? Maksud lo apa pengen tiba-tiba batalin gitu aja? Kita udah tunangan, resepsi udah di depan mata. Kedua orang tua kita lagi nyiapin semuanya, dan lo dengan enaknya mau batalin gitu aja? Lo nggak mikirin gimana perasaan mereka?"

"Lo sendiri gimana? Apa lo mikirin perasaan gue? Gimana perasaan gue setelah diserang fans-fans lo? Lo bisa bayangin nggak sih gimana hancurnya perasaan gue saat ini? Enggak bisa kan, Sat? Lo minta gue mikirin kedua orang tua kita, tapi lo sendiri, yang ngakunya sebagai calon suami gue sendiri bahkan nggak mikirin calon istrinya. Lo bahkan nggak coba menghubungi gue. Ya, oke, hape gue emang mati. Tapi lo nggak bego kan, Sat? Lo harusnya tahu kalau lo nggak bisa hubungi gue, lo harus hubungi siapa?"

Kali ini Satya mendadak diam. Kepalanya terlihat menunduk sambil bergumam meminta maaf. Hal ini membuatku mendengus sambil memalingkan wajah ke sembarang arah.

"Oke, gue tahu sikap gue salah kemarin. Harusnya semalam gue coba hubungi Novi begitu tahu hape lo nggak aktif. Maafin gue."

Aku memilih untuk diam dan tak meresponnya. Tak lama setelahnya ibu masuk sambil membawa minuman untuk Satya.

Secara spontan Satya langsung berdiri. "Ya ampun, Bu, jadi ngerepotin."

"Enggak papa, cuma teh doang. Silahkan diminum, Nak Satya!" Ibu kemudian menatapku, "yang salah bukan Nak Satya, Kak, ini di luar kuasanya. Jadi kamu jangan marahnya ke dia, dia calon suami kamu. Hormati dia, yang sopan."

Aku hanya menunduk sambil memainkan ujung selimutku saat mendengar nasehat Ibu.

"Tadi Nak Satya ke sini bawa bubur, sarapan sekarang ya. Ibu ambilin, terus minum obat biar panas kamu cepet turun."

"Nanti aja, Bu," balasku kemudian.

"Kalau dikasih tahu orang tua jangan ngeyel," ucap ibu lalu keluar kamar.

Tak lama setelahnya ibu kembali sambil membawa nampan berisi bubur. "Langsung dimakan, biar nggak nambah sakit. Udah ibu tinggal."

Aku hanya mengangguk samar dan mempersilahkan ibu keluar.

"Aku suapin?" tawar Satya sambil menyentuh mangkuk berisi bubur.

"Enggak usah, gue bisa makan sendiri," tolakku tegas. Saat ingin merebut mangkuk yang Satya pegang, pria itu malah menjauhkannya dari jangkauanku.

Aku langsung melotot kesal. Namun, Satya tidak memperdulikannya. Ia malah menyendok dan langsung memintaku untuk membuka mulut.

"Apaan sih?" decakku sebal, "gue bisa makan sendiri. Siniin!"

"Gue suapin."

"Lo pikir gue anak kecil pake disuapin segala? Enggak, siniin gue bisa makan sendiri." Aku masih berusaha ngotot dan hendak merebut mangkuk itu, tapi dengan gesit Satya langsung berdiri dan mengangkat mangkuk itu lebih tinggi.

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang