Epilog.

81 23 11
                                    

[Satu tahun kemudian.]

"tahanan yang menjadi terdakwa banyak kasus pembunuhan telah melaksanakan hukuman terakhirnya hari ini."

"terdakwa kasus dua puluh tahun yang lalu sudah menjalani hukuman mati."

"pihak kepolisian menyampaikan berita ini dua jam yang lalu setelah mengeksekusi terdakwa tersebut."

"setelah menjalani masa hukuman dua puluh tahun penjara kini sang terdakwa sudah dijatuhi hukuman mati."

"polisi tetap menguburkan mayat selayaknya orang meninggal pada umumnya dan tetap melewati doa sesuai agama yang dianutnya."

Suara radio memenuhi ruangan taksi ini. Berita yang ramai dibicarakan itu sudah pasti Ranty yang telah meninggal setelah menjalani hukuman terakhirnya. Sedikit miris namun hukuman itu memang cocok diberikan kepada wanita iblis seperti dirinya. Tak ada yang bisa dimaklumi atas segala perbuatannya.

Aku menoleh ke arah samping bangku mobil taksi tersebut, sebuket bunga Hydrangea berwarna ungu muda yang cantik berada diatas kursi itu. Aku memang sedang dalam perjalanan untuk mengunjungi makam ibu. Bunga ini aku sampaikan kepadanya sebagai tanda permohonan maaf yang sangat besar dariku karena gagal menjaga dirinya dan juga ayah.

Diperjalanan sempat terbesit ingatanku soal omongan Ranty saat di Penjara satu tahun yang lalu. Melalui pembicaraan yang aku telaah, dengan sangat yakin aku berpikir bahwa Ranty punya kaki tangan diluar sana. Walaupun kini Ranty sudah meninggal, pasti masih ada kaki tangannya yang siap untuk menyerangku kapan saja. Aku belum menemukan siapa orang tersebut, tapi aku harus tetap waspada sebaik mungkin untuk melawannya.

Aku pikir permasalahanku sudah selesai ketika menjelajahi waktu, ternyata tugasku masih ada sekarang.

-ooo-

"Mamah ... Maafin Dinda karena gak hadir diacara pemakaman mamah. Saat Dinda terbangun, mamah sudah tiada. Dinda belum sempat mengucapkan kata terimakasih karena sudah melahirkan anak cantik seperti Dinda ini." kataku sembari menaruh bunga itu diatas makamnya.

"Dinda tumbuh jadi wanita yang cantik, pintar, dan kuat itu semua berkat mamah. Wajah mamah dan Dinda benar-benar mirip, ya? Dinda bersyukur bisa memiliki ibu seperti mamah." ucapku lagi.

Mataku berkaca-kaca, wajahku semakin panas akibat tidak bisa menahan tangis. Padahal kita sudah diajarkan dengan keras untuk tidak menangisi orang yang sudah beristirahat panjang saat di makam. Tapi aku benar-benar tidak bisa menahannya, rasanya dadaku sangat sakit jika menahan itu semua.

"walaupun Dinda belum pernah merasakan hadir bersama mamah, tapi Dinda benar-benar berterimakasih karena mamah pernah hidup di dunia ini sebagai orang yang sangat baik, Dinda juga akan jadi orang baik walaupun dunia ini sangat jahat kepada keluarga kecil kita, Mah."

"mamah baik-baik disana ya bareng ayah. Tolong kalian saling menjaga satu sama lain disana, maaf kalau Dinda belum bisa bergabung dengan kalian."

"Dinda sayang mama."

"selamat tidur, mamah."

Aku menyeka air mataku, dengan mengatur napas yang sesak aku bangkit berdiri dengan tegap. Saat aku ingin meninggalkan makam ibuku, kakiku terhenti melangkah ketika melihat seorang laki-laki berumur 40 tahunan berdiri disebrangku. Dia menatapku, lalu tersenyum dengan hangat.

Senyumannya itu tampak tidak asing dipenglihatanku, dia mengingatkanku pada seseorang.

"kamu sudah besar aja ya, Dinda." ucap orang tersebut.

"bapak kenal saya?" tanyaku.

"bagaimana bisa saya gak kenal anaknya Nayya yang bahkan wajahnya sangat mirip sekali." balasnya.

"ibumu dahulu adalah wanita yang sangat baik dan kuat, dia mampu melawan kejahatan dan mengadili semuanya dengan susah payah. Namun semua itu terbayar walaupun dia sampai mengorbankan nyawanya." ujar orang tersebut saat kami berdua sedang duduk ditempat dekat area pemakaman.

"bapak sepertinya mengenal ibu saya dengan baik ...." ucapku.

"tentu saja. Walaupun kamu belum pernah bertemu ibumu, percayalah dia benar-benar menyayangimu saat masih dalam kandungan. Saya tidak akan melupakan wanita seperti dia. Dia adalah alasan saya masih berdiri sendiri tanpa pasangan sampai sekarang." ujarnya.

"saya tentu tahu bahwa ibu menyayangi saya, dan saya sangat berterimakasih karena memiliki ibu yang istimewa seperti dirinya." kataku.

"kalau boleh saya bertanya, siapa nama bapak?" tanyaku sambil menatap wajahnya.

"nama saya, Yohan. Adiyoto Yohan Pangestu."










END

Haiiii, tidak terasa setelah tiga bulan lamanya aku akhirnya bisa menyelesaikan cerita ini.

Semua ini berkat dukungan dan antusias dari kalian yang tetap menjadi pembaca setia RESET.

Terimakasih aku ucapkan dengan sebesar-besarnya dan tulus kepada para pembaca yang sudah mendukung dan selalu rajin vote cerita ini. Semoga kalian selalu dalam keadaan sehat dan bahagia!

Senang sekali rasanya ketika cerita ini mendapat respon yang positif dan luar biasa dari kalangan pembaca. Jika kalian belum tahu, cerita ini di ikut sertakan dalam lomba challenge menulis 100 hari yang diselenggarakan oleh rieagle books. Tolong doakan aku dan cerita ini agar menang nantinya.

Terimakasih sudah menemani perjalanan panjang Dinda yang ada ditubuhnya Nayya. Aku suka banget interaksi kalian di kolom komentar mengenai cerita ini.

Ada satu hal yang mau aku sampaikan, jika kalian ada yang masih mengganjal atau bingung dengan cerita ini boleh bertanya apapun dikolom komentar.

Pertanyaan kalian semua akan aku jawab di part berikutnya jika sudah terkumpul.

Ayo jangan malu untuk bertanya apapun agar kalian mendapat jawaban atas rasa penasaran kalian.

TERIMAKASIH DAN AKU MINTA MAAF JIKA CERITA INI MASIH BANYAK KEKURANGAN.

JAGA DIRI KALIAN BAIK-BAIK!
SALAM AUTHOR ❤

R¹ : R E S E T.  [END] ✔️Donde viven las historias. Descúbrelo ahora