RESET : 4

350 151 23
                                    

"Juna, kemarin aku ke toko buku. Terus aku keinget dan ngebeliin kamu ini." Ranty menyodorkan sebuah buku paket ke arah Juna.

Aku yang agak sibuk membaca novel The Court of the Lion: A Novel of the Tʻang Dynasty karya Daniel altieri dan eleanor cooney akhirnya melirik sedikit ke arah tangan Ranty. Aku melihat judul buku paket itu, "Geomorfologi" edisi pertama yang disusun oleh Djauhari Noor.

Ah.. Aku ingat buku itu! Pantas saja saat dimasa depan, Ayah menyimpan buku itu dengan baik walaupun sudah terlihat ketinggalan jaman dan kusam. Ternyata buku itu pemberian ibu dimasa muda. Ayah memang memiliki profesi sebagai profesor Geologi, dan itu memang cita-citanya. Ayah pernah bilang padaku, bahwa keinginannya terwujud karena dukungan penuh dari ibuku.

Sekarang aku mengerti kenapa ayahku sangat bucin kepada ibuku.

Tapi tetap saja itu tidak bisa dibiarkan.

"oh ... Makasih banyak, Ran." ucap Juna dengan tersenyum senang sembari mengambil buku itu dari tangan Ranty.

•••

"Baik semuanya, sesuai janji bapak minggu kemarin, hari ini kita akan mengadakan praktek debat." Ucap pak Rizal, guru Bahasa Indonesia disini.

"Duh ... Mampus! gue belum siap lagi ...." keluh Dira yang berada disebelahku.

"Emang gak dikasih tahu tema debatnya? Kan udah dari minggu kemaren katanya." ucapku.

Dira menghela napas dengan kasar, "Ya emang dikasih tahu mau praktek debat, tapi dia gak kasih tau temanya. Pak Rizal tuh emang selalu kayak gitu, setiap pertanyaan atau tema kayak sekarang dikasih taunya mendadak."

Lalu Dira berdecak kesal, "dikira semua murid otaknya emas kali."

Aku hanya membalas keluhan itu dengan tertawa kecil.

"Bapak gak mau nunjuk duluan, dari kalian ada yang mau mencoba duluan ke depan?" Tanya Pak Rizal.

Dengan percaya diri, Juna mengangkat tangan kanannya ke udara. Wah.. Ayahku dimasa muda benar-benar mengejutkan sekali! Bahkan sepertinya dijamanku, tidak ada yang seberani ayahku seperti ini. Ayahku benar-benar pantas dijuluki si raja genius dimasa depan.

"oke Juna, silahkan maju." kata pak Rizal. Juna melangkahkan kaki menuju depan kelas tanpa ragu sedikit pun.

Semua murid dikelas ini sepertinya sudah terbiasa dengan sikap Juna. Tetapi tidak denganku, baru kali ini aku menyaksikan masa muda ayah yang sangat menginspirasi.

"Ada yang mau menjadi lawan debat Juna?" Tanya pak Rizal. Aku menoleh ke sekeliling, semuanya terdiam. Sepertinya mereka tahu kemampuan mereka tidak akan bisa menyaingi Juna.

"Gak ada? Mungkin si ranking dua dikelas ini mau maju?" Tanya pak Rizal kepada Jessi, si ranking dua dikelas kami.

Jessi dengan gerakan cepat menggerakan kedua tangannya menandakan kata "tidak" kepada pak Rizal. Wajahnya agak sedikit panik ketika disuruh berdebat dengan Juna.

"Kok gak ada yang mau si?" gumamku.

"Karna mereka tahu pasti akan kalah, dan nanti ujungnya jadi bahan olokan guru." ucap Dira tiba-tiba, ternyata dia mendengar gumamanku.

Tanpa ragu, akupun menaikkan tangan kananku ke udara. "Saya mau, pak."

Semua murid dikelas ini sepertinya syok melihatku. Pak Rizal pun sama kagetnya, namun tatapan kagetnya itu cepat berubah menjadi tatapan merendahkan seolah-olah berkata, 'Palingan juga akan cepat kalah'. Juna juga sepertinya terlihat terkejut dan menatapku. Pak Rizal mempersilahkan aku untuk ke depan kelas, aku berjalan dengan rasa percaya diri tentunya.

Juna masih menatapku dengan heran saat aku sudah sampai didepan kelas, aku hanya membalas tatapan itu dengan tersenyum sambil mengedipkan sebelah mataku. Aku dan Juna menuju tempatnya masing-masing.

"baiklah, tema debat hari ini adalah DAMPAK BAHAYA PONSEL BAGI KEHIDUPAN ANAK REMAJA. Juna berposisi sebagai afirmatif, dan Nayya berposisi sebagai oposisi. Waktu debat selama 5 menit, dimulai dari sekarang dan diawali dengan pernyataan Juna." Ucap Pak Rizal mengarahkan.

"Baik, Terimakasih pak Rizal. Assalammualaikum teman-teman. Hari ini saya akan menyatakan argumentasi afirmasi saya sekarang. Menurut saya, ponsel memang banyak berdampak bagi para remaja dijaman ini. Walaupun sekarang sudah jaman milenial yang semuanya bisa digunakan oleh teknologi, tetapi banyak sekali remaja yang menyalah gunakan ponsel pintarnya. Contohnya seperti bermain game terlalu lama, bermain hp sampai larut malam, atau menggunakan ponsel untuk membuka situs situs negatif. Hal itu menyebabkan banyak remaja yang mengalami radiasi dari ponsel dan tingkat kecacatan mata yang dialami remaja semakin meningkat setiap tahunnya ...."

Aku melihat arah jarum jam ditanganku. Waktu debat ini hanya 5 menit, tapi Juna masih terus mengoceh sampai menit ke 2 detik ke 30. Seharusnya jika dibagi dua, dia sudah berhenti berbicara sekarang. Aku melihat ke arah pak Rizal, ia tampak menikmati pembicaraan Juna tanpa memikirkan tentang waktunya. Pak Rizal tampak sangat membiarkan seluruh waktu dimiliki oleh Juna, padahal seharusnya ini tidak boleh terjadi. Ini sangat merugikan pihak lainnya seperti aku. Sekarang aku mengerti kenapa murid disini tidak mau berdebat melawan Juna, selain karena takut kalah berdebat, mereka juga takut dipilih kasihkan oleh guru macam pak Rizal ini.

Sudah menit ke 3 detik 10. Pak Rizal tidak juga menghentikkan Juna yang sedari tadi terus mengoceh. Aku mulai merasa jengkel sekali.

"Baik, sepertinya itu saja afirmasi yang dapat saya sampaikan, selanjutkan saya lemparkan langsung kepada nara bicara, Pak Rizal." Ucap Juna. Akhirnya dia mengakhiri pembicaraannya.

Aku melirik jam lagi ditanganku, Juna menghabiskan waktu 3 menit 35 detik dalam sekali berdebat. Berarti waktuku tersisa 1 menit 25 detik.

"Baik terimakasih Juna, sekarang giliran Nayya untuk membalas oposisi dari argumen yang diberikan Juna. Sisa waktu hanya 1 Menit 25 detik, dimulai dari sekarang."

Baiklah, tarik napas lalu buang. Tenang Dinda, walaupun waktunya sangat singkat, kau pasti bisa melewati ini!












•••

Votee dong?
Yayayaya

R¹ : R E S E T.  [END] ✔️Where stories live. Discover now