Bagian: Dua puluh 9.

69 21 4
                                    

"Pengumuman terakhir untuk juara pertama yang akan mendapatkan hadiah utama beasiswa ke Harvard University adalah ..."

Yohan masih menundukkan kepalanya, hati serta otaknya berdoa secara bersungguh-sungguh atas kemenangan olimpiade ini. Juara tiga dan dua sudah ditangan tim lain, setidaknya Yohan ingin berharap pada kejuaraan tertinggi walau memang terasa sangat penuh harapan.

"Selamat untuk ... SMAN 1 TANGERANG SELATAN!!" ucap sang pembicara.

Yohan langsung menaikkan kepalanya, seluruh penonton sudah bersorak ramai khususnya para murid SMA 1 yang ikut menonton. Mata Yohan berkaca-kaca sembari melihat seisi stadion yang menyoraki namanya. Tidak percaya ini kali pertama Yohan memenangkan olimpiade dan diapresiasi sebaik ini.

"Nay! Kita menang—" Yohan melihat ke samping namun Nayya tidak ada disana.

Yohan melihat kesana kemari dan memperhatikkan semua peserta untuk mendapatkan Nayya. Tapi Nayya tidak ada disana.

"untuk tim yang menang boleh ke depan untuk memberi speech." ucap sang pembicara.

Yohan pun naik ke panggung itu sendirian tanpa Nayya. Perasaannya masih campur aduk antara senang dan bingung. Kemana Nayya sebenarnya?

-oO0Oo-

Aku berlari kencang melewati semua orang yang ada di lorong rumah sakit. Beberapa kali aku dimaki orang karena telah menabrak tubuh mereka, aku tidak memperdulikan segala ocehan mereka dan tetap lanjut berlari sampai ke ruang IGD. Aku sungguh bingung sekarang tentang apa yang terjadi dengan Angga. Dira menyusulku dibelakang dan ikut berlari. Sampailah aku di ruang IGD. Namun Angga sudah tidak ada disana.

"Pasien bernama Angga sudah kami pindahkan ke ruang mayat." ucap seorang perawat disana.

Tanpa berbicara apapun, aku langsung berlari lagi menuju ruang mayat. Sempat diarahkan oleh petugas disana untuk bertemu Angga. Tubuh Angga dimasukkan ke lemari pendingin dan ditulis sebagai orang tanpa keluarga, yang dimana berarti keluarga Angga belum ada yang datang dan mengaku sebagai kerabatnya.

"ini boleh dibuka, pak?" tanyaku kepada petugas disana.

"silahkan kalau mba berani untuk melihat."

Aku menarik laci ruang pendingin itu, muncul kepala Angga yang setengah hancur tanpa darah, wajah Angga masih aku kenali dengan baik walaupun setengahnya hancur. Tubuhku bergetar menatap kulit Angga yang sudah membiru, Angga benar-benar sudah meninggal.

"korban loncat dari jembatan dan kepalanya terhantam mobil molen pengangkut semen." ucap penjaga kamar mayat tersebut.

Dengkul ku lemas sejadi-jadinya, aku menjatuhkan diri ke lantai lalu menangis tanpa suara. Wajahku masih menunjukkan ekspresi datar namun air mata terus mengalir dari pelupuk mataku, tubuhku semakin bergetar hebat dan dadaku sangat sesak. Dira yang melihat aku sudah sangat lemas langsung mengangkat dan membawaku keluar tanpa melihat mayat Angga lagi, Dira terlalu takut untuk melihat wujud Angga sekarang.

"Nay, minum dulu." ucap Dira dengan menyodorkan sebotol air mineral kepadaku. Aku menerima botol itu dengan mata yang masih menatap kosong ke depan.

Sekarang kami berdua berada di taman Rumah sakit. Dira duduk disebelahku, lalu menatap sendu ke arahku.

"Gue dapet kabar dari Yohan katanya kita menang juara satu olimpiade." ucapku.

Dira hanya diam saja.

"Gue gak tahu harus berteriak senang atau berteriak nangis sekarang, Dir." lanjutku.

Dira mengelus pelan pundakku, "jangan ditahan, Nay. " ucapnya sembari menahan tangis.

Kelopak mataku kembali dipenuhi air mata, tubuhku sedikit bergetar. Rasanya dadaku sangat sesak sekarang, aku tidak mampu bernapas,  rasanya sakit sekali. Air mataku berjatuhan dengan deras. Angin malam hari di taman kala itu terasa sangat pengap untukku, tidak ada bintang di langit, semuanya seperti ikut berduka bersamaku.

Dira memelukku dengan erat, aku menangis sejadi-jadinya dipelukan Dira. Dira pun ikut menangis bersamaku. Entah apa yang harus aku lakukan sehabis ini, seperti sebuah mimpi yang mengatakan Angga sudah tiada. Aku gagal menjaga Angga, seharusnya aku selalu berada didekat Angga.

-oO0Oo-

[Dua bulan kemudian.]

Aku mendatangi tempat peristirahatan terakhir bagi Angga. Hari ini adalah hari kelulusanku untuk tamat SMA, aku tidak akan menggunakan kartu beasiswa ke Harvard University, aku akan tetap berada disini. Kartu beasiswa itu aku serahkan kepada kepala sekolah untuk diberikan ke ayah. Jika berhalang untuk pergi berkuliah ke Harvard, peserta yang menang boleh memberikan kartu beasiswa itu kepada murid yang paling berprestasi disekolahnya. Dan aku menyerahkan itu untuk ayah, aku tahu betul bahwa mimpi ayah adalah berkuliah di Harvard. Ayah pernah bercerita waktu dimasa depan bahwa ayah telah gagal untuk test pertukaran pelajar ke Harvard, ayah merasa kecewa dan sedih namun dia berpikir itu bukan rejekinya.

Setidaknya dimasa ini aku ingin mewujudkan salah satu keinginan ayah, tidak apa jika aku tak merasakan berkuliah di Harvard asalkan ayah bisa mewujudkan mimpinya.

Aku berjongkok dipinggir depan sebuah batu nisan bertuliskan nama Angga disana, aku keluarkan sebuah piala juara satu olimpiade dari tas yang kubawa. Aku taruh piala itu disamping namanya, aku memang tidak terlihat menangis sekarang, namun hatiku sungguh sangat tercabik-cabik.

"sopan gak sih gue panggil lo Angga doang selama ini? Padahal lo juga om gue dan salah satu keluarga gue, yang bahkan gue gak tahu lo ada. Gue bersyukur banget bisa melintasi waktu dan bertemu lo, Ga. Kalau gak ada kejadian kayak gini mungkin gue gak akan pernah tahu kalau lo itu om gue." ucapku dengan suara yang lirih.

"hari ini gue lulus loh di jaman ini, aneh memang rasanya lulus ditahun yang bahkan dulu gue belom lahir. Gue lulus dengan nilai memuaskan dan berada diurutan kedua tertinggi setelah ayah. Keren banget, 'kan gue? Ayah susah banget dikalahin, dia benar-benar orang yang sangat cerdas dan gue bangga. Gue bersyukur bisa mewariskan kecerdasan ayah, dan tentunya lo juga. Gue masih gak ngerti kenapa lo mengakhiri hidup semudah itu, Ga. Bahkan lo gak ngucapin selamat tinggal dulu ke gue. Apapun masalah lo dan beban hidup lo, gue bener-bener minta maaf karena gak ada di samping lo. Dan maafin gue karena gue baru berani buat jenguk lo kesini setelah dua bulan lamanya." ujarku.

Aku bangkit, lalu berdiri menatap makam Angga. Aku menghela napas dengan sesak, jika diberi kesempatan untuk memutar waktu kedua kalinya, aku benar-benar ingin menjaga Angga.

"piala itu untuk lo. Lo berhak menang atas hidup ini." ucapku sebelum pergi.










***

Jangan lupa divote ya gaisss

R¹ : R E S E T.  [END] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang