Bagian: 30

66 15 0
                                    

"ini ada apa, sih? Segala nutupin mataku." ucap Juna ketika Ranty menutup kedua matanya menggunakan tangan miliknya.

"Sebentar, dikit lagi. nah, sekarang boleh buka!" kata Ranty dengan semangat.

Juna membuka matanya, di depan ia sekarang sudah ada meja makan dengan dua bangku dan tentu saja beberapa makanan siap santap diatasnya.

"aku semua, loh! yang masak ini." kata Ranty dengan semangat.

Juna tersenyum simpul, ia langsung saja duduk disana sebagai ajang dramatika yang selama ini dia lakoni.

"kenapa sampai repot segala? Emangnya ada apa?" tanya Arjuna yang melihat Ranty sibuk kesana kemari untuk menyendoki Juna sepiring makanan.

"anggap aja ini acara perayaan kamu kuliah di Harvard!" jawab Ranty.

Arjuna terdiam. Bingung ingin berkata apa. Kenapa dia kuliah di Harvard?

"loh, kok? Kapan aku mau kuliah kesana?" tanya Juna dengan mengerutkan dahinya.

"Hah? Masa kamu gak tahu, sih. Nayya, 'kan mundur dari beasiswanya dan akhirnya diberikan ke kamu. Karena yang bisa gantiin Nayya ya orang dengan nilai tertinggi diangkatan, yaitu kamu." ujarnya.

Arjuna melamun. Kenapa Nayya mundur dari hadiah istimewa seperti itu? Apa mungkin ini karena kejadian yang menimpa kepada Angga? Ada hubungan apa sebenarnya antara Nayya dan Angga, kenapa bagi Nayya, Angga tampak begitu spesial? Ranty serta keluarganya saja yang memang kerabat Angga, seakan tidak perduli dengan kematiannya.

"aku juga daftar test di Harvard, doa'in aku ya supaya keterima dan bisa kuliah bareng kamu."

Juna masih larut dalam lamunan dan kebingungannya. Banyak sekali yang menjadi pertanyaan diotaknya.

"kamu dengerin aku gak sih, Jun?"

"Aku pergi dulu." ucap Juna dan langsung beranjak pergi.

Ranty yang melihat itu langsung merasa jengkel kepada Juna. Kenapa dia masih saja memperdulikan Nayya?

-oO0Oo-

Brak!

"kenapa jadi saya yang kuliah di Harvard?" tanya Arjuna saat berada di Ruang kepala sekolah tanpa permisi terlebih dahulu.

"ada apa sih? Dikasih rezeki kok malah ribut." balas ayah Ranty.

"saya gak mau dapet rezeki ini, kenapa Nayya tiba-tiba mundur dari hadiahnya? Apa bapak yang mengusik dia?"

"kenapa kamu jadi marah ke saya? Udah dateng tanpa permisi, sekarang pakai acara nuduh lagi. Nayya sendiri yang mau mundur dan berikan kartu itu ke kamu!" tegas ayah Ranty dengan nada sedikit tinggi.

"saya nolak pergi ke Harvard!" kekeh Juna.

"apa-apaan—"

"saya gak mau berkuliah bersama pembunuh!" ketus Juna dengan emosi.

Ayah Ranty mengerutkan dahinya, "apa maksud kamu?!"

Juna mengeluarkan ponselnya, ia mencari sebuah rekaman suara untuk diputar dan didengarkan oleh ayah Ranty.

"R-Ranty ... Gue ... Gue minta maaf." terdengar suara Angga yang tampak pilu disana.

"ini belom seberapa dengan apa yang lo langgar!" ucap Ranty dengan berteriak dibalik pintu.

"tolong, jangan ... Mati'in lampunya." kata Angga, "gue takut."

Lalu setelah itu terdengar suara seperti air ember yang jatuh dari langit ke lantai. Sepertinya Ranty menuangkan sesuatu ke tubuh Angga yang sudah lemas akibat traumatisnya. Setelah menerima air itu, terdengar suara Angga yang meraung ketakutan dan tidak terkontrol.

"YAHAHAHHAA ...! YAHAHAHAHA ...!" Ranty tertawa dengan puas begitu mendengar jeritan Angga.

Setelah itu rekamannya berhenti sampai disitu.

"saya tahu, Angga punya traumatis masa lalu, 'kan? Kalau saya bawa rekaman ini ke kantor polisi, Ranty bisa dipenjara akibat pembunuhan berencana dan ancaman yang mengganggu mentalitas seseorang." ucap Juna.

"kamu ini sudah bodoh, ya? Kalau kamu serahkan bukti itu, kamu juga akan terkena pelanggaran privasi dengan menyertakan bukti rekaman ilegal karena peretasan yang kamu lakukan pada ponsel anak saya."

"gak apa-apa. Setidaknya saya tidak akan seperti anak bapak yang nantinya membusuk di Penjara." kecam Juna.

"Ooh~ kamu itu sudah berani ya sama saya?" ucap ayah Ranty. Lalu ia memberikan Juna sebuah video yang menunjukkan kegiatan sehari-hari adik-adiknya menggunakan kehidupan yang mewah.

Divideo tersebut sangat terlihat wajah dari para adiknya yang tampak senang bermain serta berbelanja. Canda dan tawanya adik-adik itu bahkan tidak pernah terlihat ketika mereka masih kesusahan.

"apa kamu tega membuat senyuman adik-adikmu hilang dalam sekejap akibat tindakan bodohmu?" kata ayah Ranty.

Arjuna terdiam. Tangannya mengepal dengan sangat kuat, rasanya gejolak emosi dia semakin tidak karuan sekarang. Arjuna bangkit dan langsung pergi dari ruangan itu tanpa sepatah katapun, lagi-lagi dia membenci dirinya sendiri karena tidak bisa menjadi abang yang baik untuk adiknya. Kenapa dia harus terikat dengan orang ber-uang namun gila seperti mereka? Rasanya sungguh sesak jika terus mengeluhkan hidupnya sendiri.

-oO0Oo-

Aku menahan langkah kakiku ketika melihat ayah berada di depan Rumahku. Dengan langkah cepat aku langsung menyembunyikan diri dari ayah, ayah pasti datang untuk memprotesku akibat beasiswa yang aku berikan kepadanya. Dan pasti ayah akan banyak bertanya soal alasanku. Aku belum siap ketemu ayah, aku tidak sanggup juga untuk berbicara kepada ayah. Sebenarnya aku ingin sekali berbicara jujur kepada ayah bahwa aku adalah anaknya dimasa depan, tapi aku tetap tiba bisa melakukan itu.

Ayah terlihat melihat kesana kemari untuk menungguku datang, aku tidak akan pulang sampai ayah pergi dari sana. Aku tidak ingin bertemu ayah dulu, aku ingin ayah melupakan segala kejadian dan menempuh pendidikannya dulu di Harvard.

Sekitar tiga jam ayah menunggu di depan Rumah, ia pun pergi dari sana. Aku menghembuskan napas lega setelah ayah pergi. Sudah berjam-jam aku berdiri sambil menyembunyikan diri seperti ini. Maaf ayah, bukan sekarang waktunya untuk berbicara kepadamu.

-oO0Oo-

[ Tiga Hari Kemudian. ]

Sebelum berangkat ke Bandara, Juna sempat mengunjungi rumah Nayya. Tapi ibu Nayya berkata lagi bahwa Nayya masih sakit dan belum bisa ditemui. Entah sakit apa yamg ibunya maksud, Arjuna tidak tahu.

Sudah tiga hari berturut-turut Arjuna mencoba untuk bertemu Nayya, tapi semuanya gagal. Sekarang Juna menatap keluar kaca jendela pesawat,  pemandangan dari atas sini memang menenangkan hati namun tetap saja tidak berlaku untuk Arjuna. Hati Arjuna sangat berat meninggalkan Nayya tanpa pamit. Padahal setidaknya Juna hanya ingin melihat wujud Nayya saja walau tanpa mengobrol.

Di sebelah Juna sudah ada Ranty yang tertidur pulas dan menyender dipundaknya. Juna menghela napas berkali-kali, ia tidak percaya bahwa nasibnya akan seperti ini. Juna sangat ingin sekali melepas Ranty dan datang kepada Nayya, tapi semua itu tidak bisa ia lakukan.

Entah nasib, atau memang takdirnya Arjuna yang seperti ini.










***

Tolong divote 😍

R¹ : R E S E T.  [END] ✔️Where stories live. Discover now