47. Kenangan pahit terdahulu

235 21 2
                                    

(2 tahun yang lalu)

Wayo Panichayasawad, 20 tahun, berdiri di halte dengan kedua tangan menggenggam paperbag berlogo restauran bubur yang baru saja ia kunjungi. Rambut hitamnya sampai tertiup angin yang berhembus kencang. Sesekali mengusap poni, menyingkirkan cipratan hujan yang berpotensi membuat rambutnya lepek.

Sebuah taksi meluncur. Rodanya menggerus kubangan air di aspal. Beberapa orang yang berjalan reflek menyingkir. Tangan Wayo terangkat ke udara.

"Tolong ke rumah sakit ya Pak?"

Dari bangku kemudi, seorang pria paruh baya menoleh begitu pintu penumpang ditutup. Kemudian tersenyum begitu melihat pelanggan barunya.

"Anda Khun-Wayo kan? model baru yang sedang naik daun itu?"

Wayo menanggapi sambil tersenyum. "Benar Pak."

Si sopir taksi melanjutkan, "Putri saya sangat mengagumi anda. Dia selalu mengoleksi majalah yang memuat gambar anda. Suatu hari dia ingin bisa seperti anda, begitu katanya."

Wayo tak menanggapi. Walau dalam hati pria manis itu merasa tersanjung. Setidaknya kini ada sesuatu yang pantas dia banggakan. Dari spion atas, wajah Wayo tergambar sedang tersenyum sambil memandangi ponsel yang baru saja menerima sebuah pesan.

.

07:45
From : That Guy
Dalam tiga puluh menit Nong harus sudah sampai, atau Nong mau kencan malam minggu kita batal?

.

Wayo mendengus. Balasan segera dikirim cepat.

.

07:45
To : That Guy
Coba saja kalau berani, dan aku pastikan tidak ada jatah ciuman hari ini

.

Kendaraan itu berderum. Wayo tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Hari ini ia akan bertemu lagi dengan Forth. Seseorang yang selalu membuat dirinya tidak bisa menahan rindu walau hanya satu menit.

.

08:02
To : That Guy
Aku sudah naik lift, jadi sabar ya P'Forth

.
.

(Di tempat Forth)

"Phi, badanku sakit semua."

Senyumnya dipaksa luntur dalam sekejap. Forth menoleh. Adik bungsunya lagi-lagi terbangun, padahal sama sekali belum cukup tidur. Selimut tersibak tanpa sengaja. Singto memijat lengannya sendiri yang terbalut seragam pasien.

"Terus?" Tanpa dosa, sang kakak bertanya.

"Tolong pijat aku." Kali ini Singto memijat pundaknya sendiri. "Aku tidak bisa tidur kalau badanku sakit semua." Ucapnya dengan nada merengek.

"Kau memerintahku?" Forth berdiri. Tangannya bersidekap.

"Ah, repot sekali punya kakak yang otoriter begini." Singto menggerutu. "Hitung-hitung feedback, selama ini aku sudah sering memijitmu. Lagipula kan Phi yang bertanggung jawab menjagaku. Phi sendiri yang berjanji pada Mae.."

Belum sempat Forth menjawab, pintu ruangan 504 terbuka. Dua bersaudara menoleh bersamaan. Kening Singto berkerut begitu sang kakak langsung berjalan menghampiri pintu dan memeluk sosok pria manis yang muncul.

"Hai P'Singto!" Wayo melepas pelukan Forth yang dibalas dengan decihan. "Bagaimana keadaanmu? Merasa baikan?"

Singto tersenyum tipis. Melayangkan tangan ke udara. "Halo N'Wayo. Pagi sekali kau datang. DBD ternyata mengerikan ya, badanku sampai pegal—er... apa yang kau lakukan?"

Pernikahan YANG terpaksa (ForthBeam)Where stories live. Discover now