35. Menangislah

374 30 2
                                    

"P'Fort-mmph"

"Kau tak boleh pergi!!"

"Kau masih istriku."

"Biarkan dia pergi."

Tuk!!

"Awww" jerit Beam terkejut saat Phana mengetak kepalanya pelan.

"Minum dulu. Jangan melamun terus."

Kehadiran Phana di sampingnya bahkan tidak Beam sadari, saking fokusnya pria cantik itu mengenang kejadian beberapa saat yang lalu. Perceraian sekaligus ciuman pertama mereka dalam satu waktu.

Kejadian termanis sekaligus termiris dalam hidup Beam. Tapi tetap saja, lebih banyak mirisnya, lebih banyak pahitnya.

"Terima kasih.. Phi.."

Segelas air putih diterima, diteguk hingga habis.

Phana mengambil tempat duduk di depan Beam, sengaja tidak di sampingnya. Phana cukup tahu diri bahwa dia sedang bersama istri orang. Bisa-bisa disangka Pebinor, kan gak lucu..

"Sudah lebih tenang?"

Tanyanya hangat. Beam mengangguk.

"Baguslah.." hela nafas pemuda itu terdengar lega.

"Terima kasih P'Pha.. ini semua berkat P'Pha dan Dilbara.."

"Sudah Phi bilang jangan anggap Phi ini orang lain.. Nong sudah kuanggap adikku sendiri.. sudah tugas Phi untuk melindungimu.."

Beam tersenyum haru pada Phana.

"Tak keberatan menceritakan ada masalah apa sehingga N'Beam memilih kembali ke apartementmu yang lama...?" ujar Phana.

Beam memang sengaja memilih apartement yang dulu pernah di tempati olehnya dan Forth ini sebagai tempatnya untuk kabur sejenak dari masalah. Selain karena tidak mungkin ia kembali ke rumah orang tuanya, tempat ini juga pasti takkan terpikir oleh orang lain bila ada yang mencarinya. Ups, Beam lupa, jangan berharap terlalu tinggi.

"Kau akan tinggal disini sendirian?" sambung Phana.

Mata milik Beam sekilas melirik. Mempertegas kata 'sendirian', mengingatkannya akan pertama kalinya dia menginjakkan kaki di tempat ini. Forth memeluknya dengan erat. Walau itu hanya sandiwara murahan untuk membebaskan mereka dari pantauan keluarga.

Tapi kali ini, lain.

Beam sedang rapuh. Beam butuh sandaran. Beam tidaklah sekuat yang selama ini terlihat. Ada kalanya dia jatuh. Ada saatnya dia tak dapat menahan beban batinnya sendiri. Dan sekaranglah saat itu.

Saat badai di hatinya berkecamuk. Saat otaknya dipenuhi berbagai opini, fakta, dan kesimpulan. Saat hatinya yang telah sakit sejak awal menjadi sakit semakin parah.

Beam butuh pendengar. Beam butuh sedikit kehangatan dibalik seluruh sikap dingin yang telah dia terima. Walau bagaimanapun, Beam hanyalah pria biasa yang pernah bermimpi bak pangeran dalam dongeng. Bukan malah bernasib tragis seperti para tokoh pria dalam sinetron yang sering ditonton ibu mertuanya.

"K..." Serak, suaranya belum terlontar, air matanya jatuh duluan.

Beam mengusapnya segera. Sebisa mungkin tak ingin terlihat lemah walau di hadapan pemuda yang sudah dianggapnya seperti kakak sendiri.

Phana lekas tanggap. Tak ada tisu, maka sapu tangan miliknya yang dia sodorkan. Tapi Beam enggan menerima, bukan apa-apa, hanya saja dia tak ingin Phana melihatnya sedang terpuruk...

Pernikahan YANG terpaksa (ForthBeam)Where stories live. Discover now