Episode 16 [01] : Monsters in the Water

180 63 2
                                    

[Edited]

[EPISODE 16 CHAPTER 1]

| T H E  A U T H O R |

Manusia terlahir dengan banyak pilihan dengan berbagai rintangan yang ada.

Sebuah kebahagiaan bagi beberapa orang yang terlahir dengan sendok emas maupun perak.

Hidup berkecukupan ketika menyapa dunia untuk pertama kali.

Tapi berbeda dengan beberapa orang lainnya yang sejak dini sudah dihadapkan dengan kerasnya kehidupan.

Tentunya di antara itu semua cukup menimbulkan pro dan kontra bagi beberapa pihak yang terlibat oleh takdir 'timpang' tersebut.

Ada yang menyalahkan Tuhan, ada yang menyalahkan orang tua mereka karena tidak berusaha keras untuk hidup mewah dan menjadi seorang dari kalangan atas, bahkan ada yang menyalahkan dirinya sendiri kenapa mereka harus terlahir di dunia.

Tentu itu tidak mudah.

Tak ada satu pun manusia di dunia yang ingin terlahir dari kasta proletar dengan hidup serba berkecukupan.

Semuanya mengharapkan hidup nyaman dengan segala kelebihan yang dapat membuat keinginan mereka tak hanya menjadi angan-angan.

Orang-orang menyebutnya keberuntungan dan ketidakberuntungan.

Takdir dan nasib.

Sebagian terlahir dengan penghasilan yang hanya cukup untuk makan sehari-hari, dan sebagiannya terlahir dengan penghasilan yang dalam sekali pakai dapat untuk berfoya-foya bagai ritual tujuh hari tujuh malam.

Merekalah kasta tertinggi. Kasta high class.

"Lunar ingin sekolah." Lunar tatap wajah bibinya yang duduk di sofa usang tersebut dengan pandangan polos.

Wanita setengah baya yang sedang sibuk menonton televisi rusak tersebut lantas menyahut, "Berhenti berkhayal, anak yatim piatu! Cucilah baju itu dengan tenang!"

Begitulah sahutan dari bibinya tersebut. "Ck! Televisi sialan!"

Sesekali wanita itu memaki kala channel yang ia tonton berubah menjadi glitch maupun dipenuhi oleh semut.

Dan Lunar telah terbiasa dengan kehidupan itu. Bahkan, tak ada satupun keluhan yang keluar dari mulut itu selama ia hidup. Baginya, mengeluh bukanlah jalan keluar dari suatu masalah.

---


Gadis kecil berambut keriting itu sedang berjalan dengan sorot datarnya sembari melintasi sebuah jembatan panjang dan reyot menuju rumahnya yang berada di pinggiran kota.

Gadis lima tahun itu terus berlari kecil dengan kantung plastik berisi dua bungkus camilan hingga sampailah kakinya di depan sebuah rumah yang tak layak disebut rumah tersebut.

Terdapat banyak sekali orang-orang yang mengerubungi rumah itu.

Bahkan beberapa mobil polisi dan ambulan terparkir di sana.

Tanpa mau menunggu lama, gadis kecil itu pun segera melenggang masuk dengan kantung plastik yang ia genggam.

Tapi baru saja ia melenggang masuk, sebuah garis polisi tampak terpajang di dalam rumahnya.

Tepatnya di dalam ruang tamu sempit miliknya dengan beberapa orang berpakaian polisi sedang sibuk melakukan beberapa hal di sana.

Wajah polosnya tidak lenyap begitu saja begitu melihat sesosok mayat yang tergeletak di lantai dengan kain putih bersimbah darah yang menutupinya.

MONTEROS: CITY OF SILENCE [√]Where stories live. Discover now