Episode 11 [03] : Hallway in the Middle to The City

189 59 4
                                    

[Edited]

[EPISODE 11 CHAPTER 3]

Note:
POV-nya Hector aku skip dulu demi mencegah keterlambatan alur dan ketidaksesuaian sudut pandang. Bye bye Hector.

| T H E A U T H O R |

Hari itu hujan telah sepenuhnya teduh. Langit kembali cerah meskipun tanpa adanya kehadiran bintang.

Udara dingin menelusup ke setiap bagian kulitnya, tapi laki-laki itu terus menenggelamkan wajah di balik lipatan kedua lutut.

Punggungnya jelas bergerak naik turun. Menangis. Laki-laki itu menangis.

Ini bukan arenanya. Bukan zona tempat ia seharusnya berada. Karena pada nyatanya, zonanya memang sudah benar-benar terganggu.

Ini sudah hampir memasuki pertengahan Oktober, sudah hampir dua bulan ia berada di sini, akan tetapi ia masih belum terbiasa. Rasa takut itu selalu datang kepadanya, tak peduli jika ia terus-terusan ingin mengusirnya.

Ia ceroboh, ia gegabah, dan ia juga suka berpikir pendek. Tapi bukankah itu tipikal seorang genius? Bertindak sebelum berpikir, itu kebiasaan seorang genius.

Lunar yang semulanya hanya berdiri di ambang tangga lantas langsung saja berjalan menghampiri laki-laki yang sedang duduk memeluk lutut di depan tandon air tersebut.

Terhitung sudah lima belas menit gadis itu berdiri di sana, memerhatikan laki-laki childish itu bermain dengan perasaannya sendiri.

Pukul satu dini hari, dan praduga itu ternyata benar bahwa Skylar memang ada di sini.

Gadis berambut ungu itu pun segera mendaratkan bokongnya di samping laki-laki itu, seraya kedua matanya menatap ke arah langit dini hari tersebut.

Tak ada percakapan yang terdeteksi di antara keduanya. Skylar sibuk merenungi perbuatannya, sedangkan Lunar sibuk memakan permen karetnya.

Dan hal itu rupanya sudah berlangsung selama sepuluh menit sejak gadis itu duduk di samping Skylar.

Lunar termenung. Bahkan rasa permen karetnya sudah menghilang dengan teksturnya yang mulai mengalot.

Permen karetnya sudah tidak enak lagi. Tapi ia tetap mengunyahnya. Karena benda itu masih berguna untuk mengusir kecanggungan. Yeah, mulutnya harus bergerak untuk mencegah munculnya rasa canggung antara ia dan laki-laki ekstrovert itu.

"Kau mendiamkanku setelah semua yang terjadi?" tukas Lunar. Mengawali percakapan untuk pertama kalinya ketika laki-laki itu sudah sepenuhnya berhenti dari kesedihannya.

Skylar mengangkat wajahnya seraya meletakkan dagunya ke kedua lutut dengan pandangan kosong, seolah tanpa raga.

"Sejak tadi aku menunggu maafmu. Tapi ternyata harus aku yang mendatangimu duluan," lanjut gadis itu, melontarkan kalimat yang kini ada di pikirannya sejak tadi bahkan hingga saat ini.

Kepala Skylar tergerak untuk menoleh ke samping kirinya, tepat di mana gadis kelahiran bulan Agustus itu duduk menatap langit malam.

"Maaf, Lunar," gumam Skylar dengan suara seraknya. Bahkan matanya kembali memerah, bersiap untuk menumpahkan air mata kembali.

"Semudah itu? Kau yakin kau tulus?" protes gadis berambut ungu itu sembari menatap kedua netra yang kini menjadi lawannya bersitatap tersebut.

"Aku minta maaf, Lunar."

Dan tanpa gadis Young itu duga, laki-laki berwajah khas orang Kanada itu kembali menangis, sesenggukan.

"Aku ceroboh," sesal laki-laki itu dengan senggukannya yang kedengarannya bagai elegi yang mengalun menyedihkan di telinganya.

MONTEROS: CITY OF SILENCE [√]Where stories live. Discover now