30. NamJin: Rumah

Start from the beginning
                                    

"Cukup untuk hari ini," gumam Seokjin. Ia pun membereskan peralatannya dan mengirim pesan pada Namjoon sebelum beranjak ke kamarnya.

To : Joonie

Aku tidur sekarang. Jangan terlalu banyak minum kopi mentang-mentang aku tidak di dekatmu!





Joonie...aku merindukanmu. Sangat.

---

Dua tahun kemudian

"Aku suka sekali rak buku yang itu. Klasik sekali modelnya." Seokjin menunjuk rak buku di dekat jendela.

"Coba kau tebak berapa harganya?"

"Hmm, sekitar $500?"

"Nol!"

"Kok bisa?"

"Aku melihat iklan di Facebook, pemiliknya akan pindah ke Portugal dan dia tidak mau membawanya karena salah satu kakinya patah. Aku mendatanginya dan membawa pulang. Ada tukang yang memperbaiki kakinya yang patah dan voila!"

"Untung ada tukang. Kalau kau yang melakukannya, bisa-bisa semua kakinya patah." Seokjin terkikik geli. Ia lalu menopangkan dagunya di tangan kanan. "Joonie?"

"Hm?"

"Maaf, aku tidak datang waktu kau wisuda."

"Kau hadir kok."

Seokjin mengerutkan alis.

"Di kepala dan hatiku kau selalu di dekatku. Jadi, apapun yang kulakukan, kau selalu ada di sisiku."

Wajah Seokjin memerah.

"Dasar tukang rayu!"

"Jinseok."

"Hm?"

"Aku mengirim sesuatu untukmu karena ulang tahunmu sebentar lagi."

"Terima kasih. Aku menyukai semua yang kau beri."

"Kalau begitu, sebagai tanda terima kasihmu, coba cium ini."

Seokjin terkikik namun tetap mendekatkan bibirnya ke layar, ke arah pipi Namjoon yang ditunjuk lelaki itu dengan telunjuknya.

"Muuuaaaahhhhh!"

"Yes! Aku akan mimpi indah nanti karena kau sudah menciumku."

Mereka berpandangan lama tanpa kata.

"Tidurlah. Kau pasti lelah."

Seokjin mengangguk walaupun ia belum ingin obrolan mereka berakhir.

"Terima kasih sudah menungguku, Jinseok."

"Terima kasih sudah membuktikan bahwa dirimu layak ditunggu, Joonie."

---

Tiga tahun kemudian

"Unfortunately, you couldn't stay here longer. I'm happy to have you here with us."

"Thank you, Mr.Henderson. I learn a lot from everyone here. Thank you so much for giving me the opportunity to learn. I'll never forget that. Let me know if anyone plans to visit South Korea. I'll treat you to a nice meal."

Namjoon menjabat tangan rekan-rekannya. Ia memang hanya berada di sana tiga tahun. Namun, ia belajar banyak hal dan saat ini waktunya pulang dan menjemput impiannya.

Dua hari setelah resmi meninggalkan London, Namjoon mendarat di Seoul. Ia menjejakkan kakinya kembali ke kota ini setelah tiga tahun. Kepulangannya disambut oleh pelukan hangat orang tuanya serta orang tua Seokjin. Seokjin sendiri sama sekali belum tahu bahwa Namjoon sudah pulang.

"Calon menantu kita semakin tampan ya, Yeobo."

"Benar sekali. Sebagai ayahnya, jadi tidak ragu mempercayakan Seokjin padamu."

Namjoon membungkuk hormat ke arah orang tua Seokjin.

"Terima kasih atas izin dan dukungannya selama ini. Saya akan berusaha menjaga kepercayaan ini."

---

Seokjin uring-uringan. Sejak jam makan siang, ia tak dapat menghubungi Namjoon. Pesannya pun belum dibaca sama sekali, membuat kepala Seokjin memikirkan beberapa skenario tak jelas.

"Ada masalah, Seokjin-ssi?" tanya Park Jimin, yang telah diangkat menjadi sekretaris pribadi Seokjin.

"HP Namjoon mati." Seokjin menelungkupkan wajahnya di atas meja. "Di mana dia?"

"Maaf, Seokjin-ssi, bukannya saya tak berempati, tetapi perwakilan Cartier akan segera sampai. Sebaiknya kita menunggu mereka di lobi sekarang."

Seokjin menarik nafas. Ia frustrasi.

"Saya pasti akan langsung memberi tahu Anda jika Tuan Kim Namjoon menghubungi."

"Oke. Terima kasih, Sekretaris Park."

---

Seokjin menutup pintu mobil sekenanya. Ia baru selesai rapat yang dilanjutkan acara makan malam setengah jam lalu. Ia lelah sekali. Bahkan semakin parah kala sekretarisnya mengatakan bahwa tidak ada panggilan ataupun pesan dari Namjoon.

Mulutnya berulang kali bersiap melontarkan kutukan untuk manusia bernama Kim Namjoon yang sudah membuat kepalanya sakit. Namun, selalu ia urungkan sebab ia tak ingin kehilangan Namjoon. Ia mengetahui perjuangan Namjoon hidup di negeri orang sendirian. Tinggal di asrama bersama banyak orang lalu harus bekerja sambilan dan menyewa apartemen yang sangat kecil. Seokjin bahkan tahu bahwa Namjoon sama sekali tak menyentuh uang dari orang tuanya selama tinggal di Inggris. Ia bekerja dan menabung sedikit demi sedikit bahkan beberapa kali tidak makan agar dapat berhemat.

Seokjin selalu menangis setiap kali orang kepercayaannya melaporkan keadaan Namjoon, membuatnya merasa jahat karena memberi syarat semacam itu pada Namjoon. Namun, di sisi lain, ia bangga sebab kata-kata Namjoon bukan hanya isapan jempol.

Seokjin menggantung mantel serta scarf yang ia kenakan di balik pintu apartemen yang telah disewanya sejak setengah tahun lalu. Seokjin berjalan ke arah dapur sambil memijat lengan dan bahunya.

"Aku butuh pijat."

"Sini kupijat."

"Waaaa!!!" jerit Seokjin. Ia mendengar suara tawa dan menoleh. Bertatapan langsung dengan obyek yang memenuhi kepalanya. "Apa yang kau lakukan di sini? Dan...dan bagaimana kau bisa masuk?"

Pria yang mengagetkan Seokjin itu tertawa, mengakibatkan matanya tertutup dan lesung pipinya tercetak.

"Kejutan, Jinseok."

"Kau tidak bisa begitu, Kim Namjoon. Tidak tidak tidak! Jantungku tidak siap kalau begini."

Namjoon tertawa. Ia melangkah perlahan hingga berada tepat di hadapan Seokjin.

"Kecantikanmu tidak luntur. Justru bertambah." Namjoon meletakkan kedua tangan di pinggang Seokjin. "Aku sangat merindukanmu."

Seokjin terbius ketampanan Namjoon. Ia tak mampu bergerak. Bahkan kala Namjoon mengecup keningnya, hidungnya, dan kedua pipinya.

"Kenapa berhenti di pipi? Tidak ke bibir sekalian?" tanya Seokjin lugu, membuat Namjoon terkekeh.

"Kalau yang ini," ia menyentuh tepian bibir Seokjin dengan ibu jarinya, "harus tanya pemiliknya dulu, mau atau tidak."

"Mau kok."

Keduanya tertawa berbarengan.

"Jadi, kapan kau mau kita menikah, Sayang?" Namjoon menyelipkan helaian rambut Seokjin ke balik telinganya.

"Nanti kulihat jadwal kosongku dulu," lirih Seokjin. "Tapi ciumannya sekarang."

"As you wish, Sweetheart."







- Habis -




Heeeeeaaaaaaaa

Monkey BusinessWhere stories live. Discover now