BLUE [Completed]

By Listikay

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... More

Prolog
1. Tetangga baru
2. Kesalahan
3. Murid baru
4. Siluman tokek
5. Ada apa-apa
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
11. Pengakuan temaram
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
18. Bulan di hidupku
19. Tertangkap basah
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
23. Definisi kebebasan
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
26. Tiga cahaya malam
27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya
28. Asterales
29. Cowok tanpa ikat kepala
30. Malam penuh kegelapan
31. I lose You
32. Memudar
33. Cela
34. Why?
35. Jatuh
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
39. Lunar
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
43. Memori masa lampau
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

46. Euphoria

45 11 0
By Listikay

Selayaknya kertas usang, dia tidak mungkin hilang. Hanya terselip dalam ribuan orang, lalu kembali pulang. Seperti itulah kebahagiaan.

***

Luna sudah akan memejamkan matanya saat mendengar suara pintu terbuka. Tentu saja ia langsung membuka mata dengan perasaan senang.

Tapi harapannya harus hancur saat pintu ruangannya nyatanya tertutup rapat. Asal suara tersebut berasal dari pintu kamar mandi, memunculkan sosok tampan tanpa ikat kepala.

Anak mana yang tidak merasa sedih saat orang tuanya tidak kunjung datang setelah ia koma selama dua hari?

Rasanya Luna ingin sekali menangis, tapi tidak bisa. Entah kenapa.

"Awh..." Gadis bersurai lurus itu meringis pelan kala merasakan sebuah sentilan lembut di dahinya.

"Ngelamun mulu."

Rio lantas menarik kursinya mendekat, duduk di sana dengan wajah yang tampak lebih segar. Luna memandangnya tanpa berkedip. Pertama, karena cowok itu terlihat lebih tampan tanpa ikat kepala. Kedua, karena rambutnya basah semua, seperti habis kecemplung comberan.

"Habis ngapain, sih?" Luna yang penerasan, bertanya.

"Cuci mukalah," sahut Rio santai.

"Kok rambutnya basah semua gitu?" Luna sampai heran. Apa cowok itu sengaja membasahi seluruh rambutnya juga?

Luna menjulurkan sebelah tangannya yang tidak dihiasi selang infus, bahkan T-shirt hitam polos yang dikenakan Rio sampai basah di beberapa bagian.

"Kerannya bocor."

Luna yang sudah bingung, semakin bertambah bingung. Entah Rio hanya mengibul atau bagaimana, ia sudah tidak peduli sekarang- saat tangannya merambat ke atas. Menyisir rambut basah cowok itu dengan jari-jari tangannya.

"Nggak enak di sini," keluhnya kemudian.

Jika dihitung-hitung, Luna sadar belum sampai satu hari. Tapi gadis itu sudah mengeluh dengan wajah murung.

"Enak-enakin makanya biar cepet pulang," jawab Rio. "Tidur gih, katanya tadi mau tidur."

Luna tidak mengatakan apa-apa lagi. Menarik tangannya dan memejamkan mata seakan mengiyakan. Rio menghela nafas lega saat gadis itu memilih tidur.

"Eh?" Namun sayang, beberapa menit kemudian Luna kembali membuka matanya.

"Kenapa?" tanya cowok itu. Luna yang memasang wajah bingung membuatnya ikut bingung juga. "Ada yang sakit? Sebelah mana yang sakit?" tanyanya lagi dengan nada panik.

Luna menggeleng. "Aku kok baru inget yah."

Rio mengernyit bingung. "Apa?"

"Waktu itu aku beli martabak telor, pengen banget soalnya. Emang agak jauh belinya, soalnya kata Dove di sana martabaknya enak. Terus pas akunya ketabrak, martabaknya kelempar kemana, ya?" tanya Luna bingung sembari mengingat-ingat.

Cowok itu menghela nafas jengah. Ia sudah benar-benar panik dan Luna masih memikirkan nasib martabaknya yang entah hilang kemana. Gila saja!

Hanya perasaannya saja, atau mungkin kebenarannya. Luna menyebalkan sekali setelah membuka mata. Tidak melek membuatnya panik, melek membuatnya piknik.

Piknik di sini dalam artinya membuat pikirannya berkeliaran kemana-mana. Memikirkan yang tidak-tidak.

"Ngapain mikirin martabak sih, Na? Tidur sana!"

"Tapi sayang tau!"

"Ya udah besok beli lagi apa susahnya," sahut Rio tak mau kalah.

"Itu belinya susah tau! Harus antri, mana antriannya panjang banget lagi. Terus kalo udah nunggu antrian lama banget taunya nggak kebagian? Kan nyebelin!" jelasnya panjang lebar.

"Tidur!"

Luna berdecak malas. "Iya, iya," ucapnya kemudian. Lalu memejamkan matanya. Padahal sebenarnya Luna sama sekali tidak mengantuk. Lagi pula ia sudah tidur selama dua hari, masa iya ia harus tidur lagi?

Tapi karena sudah diawasi begini, Luna akan mencoba tidur. Bukan hanya sekedar menutup mata saja. Lagian tadi sebenarnya ia sudah akan tertidur, Rio saja yang kurang kerjaan menimbulkan suara dan membuatnya kembali terjaga.

Karena merasa bosan, Rio meraih ponselnya. Mengutak-atik benda tersebut dengan punggung bersandar di sandaran kursi.

"Rio." Suara gadis bersurai lurus itu kembali mengalun tiga menit kemudian.

Cowok itu berdecak malas. "Apa lagi?" tanyanya jengah.

"Sekarang jam berapa?" Luna balik bertanya. Bukan karena menanti-nanti orang tuanya, tapi karena ia ingin berbicara apa saja agar tidak disuruh tidur. Karena buktinya, Luna tetap tidak bisa tidur. Menyebalkan sekali.

Rio mengerakkan kepalanya, menatap ke arah dinding dimana alat pengukur waktu terletak. "Tuh," ketusnya, menunjuk ke arah jam dengan dagu. "Nggak usah banyak alesan. Tidur aja apa susahnya sih, Na. Kayak disuruh nguli aja."

Ya tapi, Luna kan tidak bisa dan memang tidak ingin!

Luna yang gregetan lalu mencubit lengan Rio yang tidak bersalah. Menunjukkan tingkah bar-barnya tanpa sungkan, setelah itu kembali memejamkan mata seolah bukan ia pelakunya.

Rio sampai mengelus dada, melirik lengannya yang sedikit memerah. Tak mau ambil pusing, Rio kembali memainkan ponsel selagi Luna tidur.

"Ngapain ngintip-ngintip?" tanya cowok itu beberapa menit kemudian, membuat Luna langsung merapaktan kembali kedua matanya yang sedikit terbuka.

Walaupun dalam posisi enak begini, jangan kira pandangannya hanya fokus pada ponsel saja. Cowok itu tetap melirik ke arah Luna sesekali.

Gadis ini memang benar-benar ngeyel. Kalau Luna sejenis Reon, mungkin Rio sudah menjejalkan mulutnya dengan dot susu. Atau menepuk-nepuk pantatnya. Atau menendangnya sekalian.

Sayangnya, Luna lebih ia sayang ketimbang Reon.

***

"AYAHH!!!"

Geralnd sedang duduk bersantai di sofa, tapi judulnya tidak jadi bersantai karena kedatangan Reon. Tipe-tipe bocah menjengkelkan dan mengemaskan dalam satu waktu. Tapi tentu saja porsi menjengkelkannya jauh lebih besar.

Mungkin saja, semasa Hana hamil dulu, istrinya itu sering membatin anak tetangga sampai-sampai menghasilkan bocah macam Reon. Karena buktinya, Ibu dan Bapaknya saja tidak seperti itu.

"Ayah kipasin, panas! Kayak di neraka," perintah anak itu sembari menyodorkan kipas-kipasan. Dahinya bahkan sudah dibanjiri keringat. Entah habis dikejar setan atau bagaimana Reon ini.

Setelah Geralnd menerima kipas-kipasan Reon, bocah itu merangkak naik. Duduk manis di sebelah Ayahnya dengan wajah yang memerah. Maklum saja, kulitnya yang putih bersih akan memerah bila kepanasan.

Geralnd mulai mengerak-gerakkan tangannya, sedikit malas sebenarnya. Lebih baik cosplay jadi patung pancoran daripada cosplay jadi babu begini.

"Ke kamar aja sana. Nyalain AC, atur suhunya -2°. Biar sekalian hipotermia," sarannya begitu sadis.

"Nggak mau, ah!" tolak Reon mentah-mentah. Meski tidak sepenuhnya mengerti ucapan Geralnd. "Uwahhh, adem kayak di pantai! Terus Ayah, yang kenceng!"

Jika tidak ingin bahwa tuyul ini adalah darah dagingnya, mungkin sudah sejak dari dulu Geralnd membuang Reon ke semak-semak. Tidak menyayangkan parasnya yang tampan, tapi jika dalamnya kosong. Ya sama saja dengan sampah, kan?

Ah, tapi sampah-sampah begini juga hasil dari bibitnya.

Sebenarnya, daripada harus menjawab segala pertanyaan Reon yang tidak berbobot sama sekali- macam akhlak- lebih baik Geralnd jadi babu begini saja agar adem ayem.

Lagi pula tidak adil sekali saat hanya Geralnd saja yang sengsara akibat ulah Reon, sementara Hana entah berada di mana.

"Yang kenceng Ayah, ih! Jangan lemot kayak orang nggak pernah dikasih makan."

Inginku berkata kasar.

"Ayah-Ayah, neraka itu dimana, sih?"

Nah, kan. Mulai lagi bocahnya.

"Ayah nggak tahu, Eon," jawab Geralnd sesabar mungkin.

"Apa itu ada di Jakarta?"

"Nggak tau. Tanya Bunda, gih sana."

"Bunda nggak di rumah, Ayah. Abang juga kemana, sih?" Reon bertanya bingung. Beberapa hari ini ia memang jarang bertemu dengan Abangnya itu. Tidak seru sekali.

"Mana saya tau," ceplos Geralnd. "Saya, kan, ganteng."

Reon memiringkan kepalanya ke samping, memicingkan mata tanda tak setuju. "Katanya, kalo udah tua tapi banyak gaya, nanti cepet meninggal," celetuk bocah itu tanpa beban.

Sontak saja Geralnd yang tadinya mengipasi Reon dengan ogah-ogahan, menoleh dengan mata melotot tajam. "Nggak sopan kamu! Dosa ngomong begitu. Siapa yang ngajarin, hah?!"

Menyadari suara Geralnd yang tak biasa membuat Reon menundukkan kepala tanpa takut. "Te-temen Eon... Ayah, Eon minta maaf."

Susah payah ia mendidik anak, lalu pergaulan begitu mudah menghilangkan ajarannya. Apa lagi, Reon sering kali mengikuti omongan orang di sekitarnya tanpa tahu baik atau tidak kalimat yang anak itu ucapkan.

Kurang ajar memang tuyul-tuyul alias teman-teman Reon yang tidak Geralnd kenal itu.

"Huaaaaa."

Geralnd sampai hampir melompat macam katak saat Reon tiba-tiba saja menangis kejer dan langsung menubruk tubuhnya. Meraung-raung dalam pelukannya.

Beliau lantas menepuk-nepuk punggung mungil anaknya yang sudah nemplok macam koala. "Neraka itu tempat untuk orang-orang nggak ada akhlak kayak omongan kamu barusan. Jangan lagi ngomong yang nggak sopan sama orang yang lebih tua. Oke, boy?"

Reon menjauhkan wajahnya, masih sesengrukan saat kepalanya mengangguk patuh. "Iya, Ayah... hiks."


Geralnd merapikan rambut Reon dan mengelap keringat di dahi anak itu. "Jangan nangis lagi, nanti kayak gembel kamu."

Reon mengangguk lagi. Menyedot ingusnya dan mengelap sisanya yang belepotan di muka anak itu. "Panas banget, ih kayak liat doi chattingan sama mantan," celetuk Reon kemudin.

Benar-benar secara tiba-tiba, sampai membuat hidung Geralnd kembang kempis.

"Ayah, doi itu apa, sih? Apa itu sejenis donat item?"

Terbukti sudah tebakan Geralnd benar seratus persen. Beliau kembali mendapatkan pertanyaan, yang sangat jelas membuat kepalanya puyeng seketika.

Sebenarnya Reon mendapat kalimat-kalimat tersebut dari mana, sih? Temannya? Lalu temannya dapat dari mana coba?

"Bukan."

"Terus apa?"

"Dolar ijo!"

Reon mengangguk tanda mengerti. Mengucap syukur karena mendapat ilmu tambahan. "Bebarti kalo Eon punya doi, Eon jadi kaya kayak Tuan Krabs ya, Ayah? Kalo gitu besok Eon mau cari doi biar jadi orang kaya!" ujarnya begitu semangat.

Harusnya Geralnd tahu, jika menyahuti pertanyaan Reon adalah kesalahan besar yang seharusnya tidak perlu dilakukan.

***

Luna merasa terganggu saat merasa wajahnya dihujani kecupan. Di pipi, di dahi, di kelopak mata, dimana-mana. Sampai-sampai sepertinya wajah gadis itu basah semua.

Aish, cowok itu benar-benar! Tadi saja menyuruhnya untuk tidur, lalu sekarang menganggu acara tidurnya. Apa jangan-jangan, Rio menyuruhnya tidur agar cowok itu bisa berbuat mesum begini?

Kurang ajar sekali.

Luna mengerakkan tangannya dengan mata terpejam. Menjauhkan wajah seseorang yang menciumi wajahnya tanpa henti.

"Rio! Awas, ih!" gumamnya. Luna benar-benar merasa ngantuk berat sekarang, lalu malah diganggu begini. Siapa yang tidak merasa jengkel coba.

"Luna."

Suara itu....

"Leo?!" pekiknya kemudian.

Luna sudah hampir menangis saat ini. Dadanya kembali sesak dengan perasaan bahagia yang membuncah.

Satu kata yang ada di kepalanya sekarang.

Rindu yang sudah cukup lama ia simpan, akan segera terobati.

"Ini Mama, Sayang."

Detik itu juga, saat kelopak matanya sudah seperti tertempeli lem paling rekat, matanya terbuka dengan lebar.

Bukan karena Luna lebih menyanyangi Pamela daripada Leo. Kakak lelakinya itu sudah pasti menjadi yang pertama, karena hanya dia yang mengerti bagaimana Luna, melebihi orang tuanya sekalipun.

Tapi karena, harusnya Luna sadar. Leo sudah punya tempat yang jauh lebih indah. Leo tidak akan bisa menghampirinya lagi, Luna yang akan menghampirinya nanti, jika sudah saatnya. Yang pasti, tempat indah tersebut berhasil membuat Leo merasa nyaman.

Tunggu, sebentar....

Terakhir kali Luna bertemu Pamela, Mamanya itu bersikap tidak baik terhadapnya. Dan yang lebih menyakitkan, beliau mengharapkan Luna pergi, selamanya.

Terbukti beberapa menit lalu, Luna tidak bisa membedakan mana suara Leo dan Mamanya. Padahal sudah jelas suara mereka berbeda. Suara wanita dan laki-laki tentu tidak akan sama, bukan?

Ya, Luna akan segera tidur kembali karena buktinya di alam mimpi pun ia justru terbangun, setelah itu ia akan keluar dari mimpinya. Karena nyatanya tidur tanpa mimpi terasa lebih baik sekarang. Tidak peduli dengan sosok Pamala yang sudah ada di depannya. Luna hanya tidak mau harapannya kembali terpatahnya saat ia belum sempat mencari pegangan.

"Ini Mama, Luna."

Sial! Luna paling tidak suka bermimpi yang penuh harapan begini.

Bahkan belaian lembut di kepalanya pun terasa begitu nyata.

"Rio, pulang!" racaunya. "Mau pulang."

Tadi Rio ada di sebelahnya. Tujuan Luna hanya satu. Racauannya didengan cowok itu, dan Rio akan membuatnya keluar dari alam mimpi.

"Nanti kalau udah sembuh, Luna pulang sama Mama, ya?"

Luna membuka matanya tanpa pikir panjang. Diam sebentar. Mungkin berniat mengumpulkan kesadarannya. Mungkin juga karena tidak percaya dengan yang yang ia lihat sekarang.

Sosok yang entah sebenarnya nyata atau tidak itu mengelus kepalanya, lantas mendaratkan beberapa kecupan di bagian wajah Luna.

"Mama?"

"Iya, ini Mama, Sayang."

Pamela memeluknya. Tarasa begitu nyata dan hangat.

Jika biasanya dalam keadaan begini Luna akan menangis, karena ia begitu cengeng sekali. Maka, kali ini reaksinya hanya tersenyum. Begitu lebar dengan mata berbinar.

Reaksi yang muncul berbeda sekali dengan Luna yang dulu. Mungkin karena penyakitnya itu. Tapi setidaknya dengan begini Luna jadi tidak terlalu terlihat cengeng. Tapi air matanya yang tersimpan itu bisa saja meledak kapan pun dalam tawa mengerikan, bahkan tidak bisa dikendalikan.

Pamela melepaskan pelukannya, lantas kembali mencium pipi anak gadisnya.

"Luna kangen, Mama."

Pamela tidak menjawab, namun kembali menangis dan segera disekanya. Memaksakan sebuah senyuman. "Kamu mau makan apa, hmm? Biar Mama suapin."

Gadis bersurai lurus itu menggeleng, memamerkan senyum tulusnya. "Mama di sini aja Luna udah seneng, kok."

Luna tidak tahu alasan apa yang membuat Pamela berada di sini sekarang. Namun, kehangatan itu sudah kembali terasa sekarang.

Atau mungkin, Luna harus sekarat dulu maka semua orang akan kembali peduli padanya? Kalau memang itu alasannya, lebih baik ia sekarat dari dulu saja.

"Abang bilang kamu harus cepet sembuh, dan nggak boleh sedih-sedih lagi."

Pamela berucap, terlalu tiba-tiba sampai membuat Luna mematung.

Tidak mungkin. Leo sudah pergi meninggalkannya, kan?

Seakan mengerti dengan kebingungan Luna, Pamela mengelus kembali dahi anaknya. "Tadi Abang datang... dalam mimpi Mama."

Ohh. Luna rasa harapannya terlalu besar. Tapi, Leo ini... tidak adil sekali. Apa dia tidak mau singgah sebentar saja dalam mimpinya? Harusnya Leo tahu jika Luna sudah pasti menyimpan rindu yang Luna sendiri tidak tahu betul berapa takarannya.

Yang jelas, rindunya sangat banyak. Jika dibandingkan dengan amal baiknya, sudah pasti amalnya tersebut kalah.

"Abang bilang apa lagi?"

"Nggak banyak." Pamela berusaha menutup-nutupinya. Karena memang lebih banyak wejangan yang ia dapat, bahwa Luna tetap adik satu-satunya yang ia sayangi. Maka sekarang pun juga harus begitu. Luna anak satu-satunya yang harus disanyangi orang tuanya, sama seperti yang Leo lakukan terhadap Luna.

Pamela tidak mungkin lupa dengan wajah Leo yang bersinar. Sangat berbeda saat terakhir kali ia melihat, dimana hanya darah yang memenuhi wajahnya. Tatapannya juga menunjukkan binar bahagia. Namun meredup saat anak itu membahas bagaimana perlakuan Pamela terhadap Luna setelah dirinya pergi.

Leo tidak suka adik kecilnya menangis, entah apa pun penyebabnya. Dan harusnya semua orang tahu itu.

Leo juga bilang, bahwa bahagianya saat ini tergantung dengan rumah kecil itu. Rumah yang dulu sempat menjadi tujuannya beristirahat sejenak setelah menghadapi kejamnya dunia, meskipun tidak akan bisa abadi.

Pemela tidak bisa membayangkan kalau Luna sampai pergi meninggalkannya juga. Apa lagi dengan hubungan mereka yang kurang baik. Utung saja, itu tidak terjadi.

"Tapi yang jelas, Abang sayang Luna. Begitupun dengan Mama."

Yang tadinya menghilang, sekarang sudah kembali secara perlahan.

Seseorang pernah bilang, sebesar apa pun masalah. Dia tidak akan lebih besar dari Tuhan. Jika kamu berhasil melewatinya, maka selamat. Karena kamu berhasil lolos ujian dengan nilai sempurna. Namun jika kamu hanya bisa mengeluh dan tidak mau melangkah, maka kamu gagal dan tidak akan tahu bagaimana surga di balik neraka yang kamu lewati.

Semenjak Leo pergi, perlahan, Luna jadi bisa sedikit lebih dekat dengan Darma. Semua sudah pasti ada hikmahnya.

Dan sekarang, Luna percaya itu.

"Papa mana, Ma?" tanya Luna setalah itu. Seakan baru menyadari jika Papanya belum menampakkan batang hidungnya semenjak Luna membuka mata setelah koma dua hari.

"Papa ada kerjaan, bentar lagi pasti ke sini, kok."

Luna mengangguk.

"Kamu mau minta apa dari Mama? Mau disuapin? Atau dikelonin? Tapi kalau dikelonin kelonin aja ya, sekarang kan udah nggak bisa sambil nenen lagi."

"Apa sih, Ma!"

Brakk.

"Argh!"

Sontak, mereka menoleh kaget ke arah sofa. Dimana Rio tergelundung jatuh ke lantai dingin dengan tidak estetik saat sedang asyik-asyiknya tertidur.

Luna tertawa. Pamela melongo. Tidak ada yang menolongnya. Sial sekali nasibnya!

Dua hal yang baru Luna sadari setelahnya. Pertama, ia bisa tertawa, saat merasa benar-benar ingin tertawa. Kedua, bagaimana dengan nasib bunga krisan di balkon kamarnya?

****

Aing macan!









16-09-20.


Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.9M 331K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
541K 58.3K 23
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.8M 74.8K 34
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
4.1M 318K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...