BLUE [Completed]

By Listikay

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... More

Prolog
1. Tetangga baru
2. Kesalahan
3. Murid baru
4. Siluman tokek
5. Ada apa-apa
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
11. Pengakuan temaram
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
18. Bulan di hidupku
19. Tertangkap basah
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
23. Definisi kebebasan
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
26. Tiga cahaya malam
27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya
28. Asterales
29. Cowok tanpa ikat kepala
30. Malam penuh kegelapan
31. I lose You
32. Memudar
33. Cela
34. Why?
35. Jatuh
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
39. Lunar
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
46. Euphoria
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

43. Memori masa lampau

52 9 1
By Listikay

"Ayah Ayah." Reon memanggil seraya mendekat.

Geralnd menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Mau dianter ke sekolahnya? Tenang, nanti kamu bareng Ayah berangkatnya," jelas beliau sembari tersenyum, sebelah tangannya mengelus puncak kepala Reon.

Geralnd tengah duduk santai di sofa dengan baju khas kantoran yang sudah rapi, begitu pun dengan Reon yang sudah siap meluncurkan banyak pertanyaan untuk gurunya.

"Ayah, buwung puwuh itu apa?"

Sontak saja, Geralnd terbatuk-batuk. Padahal beliau tidak sedang makan maupun minum, tapi tentu saja pertanyaan putra kecilnya begitu mengejutkan.

Ingin tahu itu bagus, sangat bagus malah. Menambah ilmu dan berpengetahuan luas. Apalagi untuk anak seusia Reon yang gampang menyerap ilmu. Tapi ingin tahunya Reon itu benar-benar beda. Membuat bingung sekaligus sebal si lawan bicara.

"Ayah migren?" Reon bertanya dengan kepala sedikit dimiringkan ke samping.

Ini lagi! Tidak ada ceritanya batuk dan migrain itu saudara kembar!

Tidak mau semakin mumet, Geralnd segara meraih tasnya. Bergegas berdiri dengan tergesa. "Nanti minta anterin, Bunda," ujar Geralnd sembari menepuk puncak kepala Reon dua kali. Terlihat begitu terburu-buru.

"BUNDA, AYAH BERANGKAT! JANGAN LUPA ANTERIN REON, YA!"

Bahkan beliau berpamitan dengan tidak sopan. Setelah itu menghilang di balik pintu utama.

Reon menggaruk pipinya dengan wajah bingung. "Katanya tadi mau nganterin Eon. Tapi kok kabur, sih?"

Tak lama setelah itu, Hana datang penuh tanya. Kedua tangannya penuh dengan tepung. "Lho, Ayah udah berangkat?"

Reon mengangguk singkat.

"Kan, tadi Bunda bilang tunggu sebentar. Kalau gitu siapa yang nganterin kamu?"

Pagi-pagi begini, Ibu dari dua anak itu sudah produktif membuat kue tanpa tahu siapa yang akan menjadi tampungannya. Tidak tahu siapa yang akan memakannya setelah itu.

"Reon berangkat sendiri aja, ya?"

Reon menggeleng kuat-kuat. "Nggak mau, nanti Eon diculik Bunda!"

"Halah siapa yang bakal nyulik kamu, nggak laku dijual. Mending juga kue Bunda. Enak, banyak yang minat." Hana berujar sekenanya. "Udah, ah. Kasian kue Bunda kalau ditinggalin lama-lama." Setelah itu kembali menuju dapur.

Reon hanya melongo layaknya orang bodoh. Menyedihkan sekali hidupnya pagi ini.

"Abang!" pekik anak itu kelewatan girang saat melihat Rio berjalan ke arahnya dengan tas yang menggantung di bahu kiri.

Sepertinya Rio baru saja keluar dari dapur.

"Bareng!" ucap Reon setelah Rio sampai di dekatnya.

"Udah dibilangin berkali-kali kalo cepirit itu nggak usah bareng-barengan. Sana buruan!" Rio menunjuk kamar mandi dengan dagunya.

"Ish! Eon bareng ke sekolahnya."

"Ohh..." Rio mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. "Kirain. Ya udah ayo."

Reon bersorak riang, setidaknya sebelum Rio kembali membuka mulutnya.

"Eh, ogah ya!" Sepertinya cowok berikat kepala itu baru sadar. "Kalo gue bonceng Lo, yang ada dikirain bawa anak monyet. Ngeri gue."

"Eon bukan monyet!" Reon menyangkal cepat.

"Tapi mirip!"

"Tapi bukan!"

"Tapi persis!"

"Tapi bukan!!"

"Tapi satu spesies!"

"Tapi gantengnya Eon!"

"Hilih apaan!" Rio menye-menye. Setelah itu mengusap-usap puncak kepala Reon sembari berucap, "Bae-bae Lo di rumah, nggak usah sekolah. Bye!" Setelah itu setengah berlari keluar rumah.

Tidak usah sekolah tentu saja kalimat yang terdengar mengiurkan di telinga Reon. Tapi ia belum mendapat jawaban dari Ayahnya. Artinya Reon harus bertanya ke Ibu Guru. Tapi kalau ia tidak berangkat, bagaimana bisa bertanya pada Ibu Guru di sekolahnya.

Ah, harusnya ia bertanya pada Rio saja tadi.

Apa sebaiknya Reon tidak perlu sekolah saja, dan bertanya langsung pada Hana yang sibuk di dapur?

Sepertinya itu ide yang bagus. "Bunda!" Anak itu segera ngibrit dengan wajah sumringah. Tampak begitu siap mendapat ilmu baru dari jawaban Hana nantinya.

***

Yang Luna pikir akan menakutkan, ternyata tidak semenakutkan itu. Walaupun masih susah dikontrol, tapi penyakitnya itu sudah tidak separah saat pertama kali datang.

Tapi tetap saja, tidak ada yang mau berdekatan dengan gadis itu. Mungkin mereka juga punya anggapan yang sama dengan Rio, perihal Luna yang diduga gila. Tidak masalah menurutnya, karena Darma sudah menjelaskan hal tersebut kepada Bu Sri.

Tentang tanggapan orang-orang di sekitarnya, itu tidak penting karena orang-orang tersebut juga tidak penting bagi Luna.

Dulu mereka sering kali menyapa Luna dengan senyuman ramah meski ia tidak mengenal dengan baik siapa orang-orang yang menyapanya tersebut, tapi sekarang memandang wajahnya saja seolah jijik. Yah... kecuali tatapan sinis milik mereka.

Luna hidup bukan untuk mereka. Seperti itu kenyataannya.

Matanya memberat dalam keadaan yang riuh. Di jam kosong seperti ini, memang lebih baik Luna tidur daripada kepalanya terus memikirkan banyak hal.

Yang ada bukannya sembuh, penyakitnya malah semakin parah.

Di tengah alam bawah sadarnya. Luna merasa seperti ada yang mengelus tangannya, lalu sebuah suara familier pada detik berikutnya. "Cantik." Berlanjut pada genggaman yang menghangatkan.

Luna sudah berusaha tidak memikirkan Rio, tapi sialnya cowok itu tetap saja mampir di mimpinya. Itu tidak adil. Menyebalkan!

Gadis itu juga ingin tahu apakah Rio juga sering memimpikannya atau justru tidak sama sekali.

Luna ingin sekali membuka mata, setidaknya hanya untuk memastikan, setelah itu kembali melanjutkan tidurnya. Tapi rasa kantuknya sulit sekali diajak kerja sama. Membuat keinginannya hanyalah angan semata.

Entah sudah berapa menit berlalu, barulah mata gadis bersurai lurus itu terbuka. Membelalakkan saat melihat wajah seseorang berada tepat di hadapannya. Sakit kagetnya, Luna lantas mengangkat kepalanya dengan cepat. Meringis pelan saat kepalanya terasa nyeri.

Tapi bukan itu masalahnya, melainkan Rio yang ikut tertidur dengan wajah saling berhadapan. Kalau begini bagaimana bisa Luna tidak memikirkannya!

Tangan gadis itu bergerak, menyentuh pipi Rio secara refleks. Mengusapnya pelan, menikmati kulit halus cowok berikat kepala itu. Mengagumi wajahnya, entah untuk yang ke berapa kalinya.

"Singkirin tangan kotor, Lo!"

Luna tersentak. Menarik tangannya secepat mungkin. Lalu beralih menoleh ke depan, dimana Dove duduk. "Dove," panggil gadis itu kemudian.

Dove menoleh dengan kening berkerut. Ia menatap Luna yang wajahnya tidak secerah biasanya, maksudnya mungkin lebih mengarah ke pucat. Lalu melihat Rio yang mengacak rambutnya sembari menguap.

"Apa?" sahutnya kemudian.

"Boleh minta tolong nggak?"

"Mukulin dia?" Dove melirik Rio sekilas. "Okeh!" lanjutnya begitu semangat.

Luna menggeleng lemah. Rio menatapnya tajam.

"Tolong maintain minyak kayu putih."

Jika dipikir-pikir, ini merupakan kejadian langka dimana Luna tidak ngegas dan Dove tidak ketus.

"Kenapa? Pusing?"

"Dikit," jawab Luna sembari menaruh kepalanya di atas meja. "Sana, Dove."

"Kenapa nggak tidur di UKS aja? Mumpung jamkos juga." Dove memberi saran yang Luna tolak mentah-mentah.

"Nggak mau, ah!"

"Oke," ucap Dove kemudian, pasrah. Lantas segera bergegas menuju UKS.

"Kenapa Lo, Lun?" Tiba-tiba saja Bejo menoleh, penasaran. "Mau mati Lo?"

Itu sungguh pertanyaan tidak ada akhlak sama sekali!

"Nggak! Mau bunuh diri!" tukas Luna ketus tanpa mengangkat kepalanya. Tanpa melihat pun, Luna sudah tahu jika Bejo sekarang tengah meringis tanpa dosa. Dasar Bejo Jahe Kuning! Benar-benar kuning karena mukanya mirip tai!

"Welcome to the hell!" dengus Bejo sembari kembali menghadap depan.

Lalu Luna kembali menegakkan kepalanya. Mengambil air minum di laci meja dan menengguknya. Setelah itu menaruhnya di tempat semula sembari menoleh ke arah Rio dengan tangan yang pura-pura sibuk mencari sesuatu di laci.

Huh, padahal lacinya begitu bersih dari sampah-sampah menjijikan.

Tanpa Luna duga sama sekali, Rio juga menoleh ke arahnya. Benar-benar secara bersamaan. Lalu keduanya membuang muka secara bersamaan pula.

Jika begini, Luna jadi ingin mempunyai kemampuan membaca pikiran orang lain.

***

Bukannya mendapat jawaban seperti yang Reon harapkan, anak itu malah mendapat semprot dari Hana pagi ini, sampai membuatnya menangis tersedu-sedu. Itu suatu alasan mengapa Reon jarang bertanya banyak hal pada Hana, karena bukannya mendapat jawaban yang ada Hana malah ngomel panjang lebar.

Sangat berbeda dengan Geralnd sang Ayah.

Sudah tidak mendapat jawaban, kena omel, tidak jadi meliburkan diri, dan tidak mendapat uang saku sebagi hukuman yang memaksa Reon hanya mampu memakan bekal yang Hana bawakan tanpa bisa membeli jajanan.

Itu benar-benar menyedihkan.

Parahnya lagi, Reon tidak boleh menanyakan pertanyaan pagi tadi pada siapa pun. Padahal sebenarnya Reon mendapat kesempatan karena anak itu sedang asyik mengendong kucing bersama Budhe Mina.

"Budhe," panggil Reon sembari mengelus koceng oren dalam dekapannya.

"Ya?" Budhe Mina menyahut setelah mengunyah kue kering yang tadi dibawa Reon.

Tadi saat Budhe Mina sedang asyik bersantai, tiba-tiba saja Reon muncul dengan banyak kantong plastik di tangannya, terlihat begitu rempong. Reon berteriak karena keberatan dengan barang bawaannya.

Katanya anak itu ingin main, dan perihal kue yang Reon bawa. Tentu saja itu ulah Hana, yang menganggap Reon seperti tikus pengangkat barang.

Tampaknya beliau lupa menutup gerbang depan dan mengunci pintu utama. Makanya Reon bisa masuk dengan mudah.

"Apa kucingnya cebok juga kalo habis eek?"

"Enggak dong, Ganteng."

"Ohh..." Reon manggut-manggut. "Terus eeknya dimana? Closet?"

"Iya."Budhe Mina iya-iya saja, biar cepat dan tidak repot.

"Apa nggak nyemplung, Budhe?"

"Enggak, kan, pegangan yang kenceng."

"Ohh..." Reon mengangguk lagi. "Eeknya bau nggak, Budhe?"

"Nggak tahu. Budhe, kan, nggak pernah ngendus eeknya."

"Kalo gitu coba Budhe endus pantatnya, nih." Reon berucap tanpa dosa. Bersiap menyodorkan kucing yang ada di pangkuannya ke arah Budhe Mina.

"Iya." Budhe Mina kembali iya-iya saja, lalu membelalakkan pada detik berikutnya. "Nggak mau, Budhe! Nggilani."

Reon cemberut. "Tadi katanya iya. Budhe boong ih, dosa tau."

"Dosa Budhe mah udah banyak, nambah dikit juga nggak pa-pa," sahut Budhe Mina tanpa beban. Tidak pa-pa mengakui dirinya pendosa sesekali.

"Budhe."

Bukan, itu bukan suara Reon yang sering terlontar penuh tanya. Melainkan suara Darma yang datang dengan wajah gusar.

"Ya?" Budhe Mina beranjak berdiri dengan tergopoh-gopoh, berhadap-hadapan dengan Darma.

"Luna tadi pamit mau pergi?"

Sangat ketara wajah beliau yang begitu panik berusaha ditutupi sebisa mungkin.

"Si Eneng?" Budhe Mina memastikan. "Nggak bilang apa-apa ke Budhe si Enengnya. Saya malah nggak lihat Eneng keluar kamar."

Darma berdecak tanpa sadar. "Lalu kemana dia?"

Budhe Mina sudah menyimpulkan jika Luna tidak ada di rumah, entah ke mana.

"Memangnya di makam nggak ada? Coba cari dulu di sana, siapa tahu si Eneng ngilang ke sana kayak waktu itu," ujar Budhe Mina memberi saran. Sebenarnya beliau juga ikut panik, tapi tidak mau kepanikannya malah menular pada Darma.

Reon masih duduk anteng sembari memandang keduanya bergantian. Tapi tidak juga mengerti apa yang sebenarnya orang dewasa ini bicarakan.

"Nggak ada, Budhe. Tadi muter lewat biasanya Luna beli milk shake tapi nggak ada juga." Darma terlihat benar-benar frustasi sekarang. "Pas Luna pulang tadi apa dia berpapasan sama Mamanya?"

Budhe Mina terdiam, mungkin lebih tepatnya berpikir sebelum menyahut, "Tadi pas si Eneng pulang kayaknya Ibu duduk di depan. Di teras."

Nah, itu!

"Apa Mamanya berkoar-koar lagi?"

"Kalo itu saya nggak tahu soalnya lagi di dapur."

Kemana lagi ia harus mencari Luna setelah pusing memutari kota? Apa karena Pamela berulah lagi dan berujung Luna yang kembali pergi dari rumah?

Ah, mengapa Luna tidak mau mendengarnya? Luna tahu betul jika ini rumahnya, lantas mengapa pula harus pergi dari rumahnya sendiri?

Lalu Pamela. Tidakkah lelah istrinya itu berucap seenaknya padahal dia juga sudah tahu jika Luna menderita penyakit mental yang terbilang langka?

Tanpa sengaja, tatapan Darma bertemu dengan tatapan polos milik Reon. "Kakakmu ada di rumah?"

"Abang Eon di rumah kok, Om. Katanya mau rebahan nggak boleh diganggu, nanti kalo diganggu jadinya rebahin."

Tanpa basa-basi lagi, Darma segera keluar rumah dengan Reon yang berteriak, "OM! OM MAU KE MANA?"

Tapi Darma sudah tidak mempedulikannya lagi. Yang ia tahu, Rio lebih tahu tentang Luna melebihi dirinya.

Tangannya terangkat memencet bel, lalu tak lama setelah itu Rio muncul membukakan gerbang membuat beliau menghembuskan nafas lega karena tidak harus menjelaskan sesuatu pada orang tua Rio.

Darma tidak tahu saja jika urusan begini, Rio tanggungannya karena Geralnd dan Hana asyik bermesraan di sore hari begini. Apalagi pengganggunya asyik nangkring di rumah sebelah.

"Saya mau minta tolong," kata Darma kemudian, langsung to the point.

Terlihat Rio menghembuskan nafas jengah. "Apa lagi?"

"Tolong bantu cari Luna, atau setidaknya kasih tahu dimana tempat yang biasa didatangi anak itu. Dia pergi..."

"Memangnya saya orang tuanya sampai harus repot-repot nyari orang yang suka kabur-kaburan nggak jelas." Setelah mengatakan itu, Rio menutup pagar rumahnya dan melangkah menjauh dari sana.

Lho, tapi apa ini? Mengapa ada sebuah tangan yang menyekalnya? Langkahnya terhenti bersamaan dengan tatapannya yang mengarah ke bawah.

Ah, tiga tahi lalat itu benar-benar membuatnya semakin muak!

Dan sepertinya, karena terburu-buru, Rio sampai lupa mengunci pintu gerbang rumahnya.

"Tolong." Darma berucap penuh permohonan setelah itu. "Saya janji, ini yang terakhir kalinya."

"Dia anak, Om. Bukan anak saya," tutur Rio dengan santai.

"Tapi kamu lebih tahu tentang Luna melebihi saya."

Rio terkekeh, terdengar penuh hinaan. "Kalau begitu apa pantas Anda disebut sebagai seorang Ayah?" Kalimatnya begitu menohok. "Ayah mana yang nggak tahu apa-apa tentang anaknya?"

"Tolong, jangan hina keburukan saya sekarang. Untuk sekarang saya hanya ingin bertemu dengan anak saya."

Anak saya? Luna? Lalu Darma tidak mau bertemu dengan Rio yang notabenenya anaknya juga? Benar-benar pria egois!

"Setelah itu hina saya sepuasmu."

"Tanpa dihina pun keburukan Anda sudah terpampang nyata."

"Rio, tolong." Suara Darma benar-benar terdengar putus asa. Untuk pertama kalinya memohon dengan menyebut namanya. "Tolong bantu cari Luna, ya. Ini yang terakhir kalinya."

Rio sudah akan menolak saat Geralnd dan Hana datang dengan wajah penuh tanya. "Ada apa ini?" tanya Geralnd, mewakili banyak tanya diantara suami istri itu.

"Luna..." Darma menjawab, tampak ragu menceritakan apa yang terjadi. "... kabur dari rumah setelah bertengkar dengan Mamanya. Saya ingin minta tolong Rio ikut bantu cari anak saya. Ini sudah sore, hampir malam dan kalau Luna tidak pulang juga atau sesuatu terjadi pada anak itu... saya, akan hancur."

Geralnd menoleh ke arah Rio. Berbisik dengan suara rendah, "Rio, kamu nggak mau bantu? Lupa siapa Luna? Katanya pancar, sekarang pacar kamu ngilang dan kamu diam aja? Ini Luna Rio, Luna—,"

"LUNA BUKAN PACAR RIO! NGGAK SUDI!"

Rio kelepasan. Membuat Hana serta Darma kebingungan.

"Pacar?" beo Darma. "Jadi selama ini kalian—,"

"Itu dulu!" Rio mengelak.

Dalam keterkejutannya, sebenarnya Hana memekik girang karena akan memiliki mantu macam Luna. Tapi, ini? Apa yang justru terjadi sekarang?

"Rio." Suara lembut Hana mengalun.
"Bunda selalu ngajarin kamu nolong orang lain dari kecil. Tapi kenapa begini? Kamu nggak mau cari Luna? Luna itu anak baik-baik, Rio. Apa kamu nggak akan menyesal kalau Luna kenapa-napa?"

Rio tidak perlu menjawab panjang lebar sebagai alasan, cukup menarik sebelah tangan Darma. Menunjukkan tiga tahi lalat membentuk segi tiga di sana. Yang sukses membuat Geralnd dan Hana mematung setelah itu.

Lalu, pada detik berikutnya Geralnd menahan tubuh Hana yang hampir limbung. Tidak, beliau tidak pingsan. Hanya syok dengan apa yang ia lihat sekarang, saat memorinya kembali terputar seperti kaset rusak.







****


Please coment 😔

Gimana setelah baca part ini?








28-08-20.



















Continue Reading

You'll Also Like

7M 297K 60
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
3.5M 180K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
301K 13.8K 18
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓡𝓲𝓼π“ͺ𝓷�...
10.6M 675K 44
Otw terbit di Penerbit LovRinz, silahkan ditunggu. Part sudah tidak lengkap. ~Don't copy my story if you have brain~ CERITA INI HANYA FIKSI! JANGAN D...