BLUE [Completed]

By Listikay

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... More

Prolog
1. Tetangga baru
2. Kesalahan
3. Murid baru
4. Siluman tokek
5. Ada apa-apa
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
11. Pengakuan temaram
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
18. Bulan di hidupku
19. Tertangkap basah
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
23. Definisi kebebasan
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
26. Tiga cahaya malam
27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya
28. Asterales
29. Cowok tanpa ikat kepala
30. Malam penuh kegelapan
31. I lose You
32. Memudar
33. Cela
34. Why?
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
39. Lunar
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
43. Memori masa lampau
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
46. Euphoria
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

35. Jatuh

59 8 0
By Listikay

"Pagi pacarnya Rio," sapa Helm sok akrab. Cewek itu mengucap penuh penekanan pada kalimat 'pacarnya'.

Seperti dugaan Luna, Helm pasti akan mengusik hidupnya. Macam dedemit yang lagi pensiun dan mendadak gabut.

"Apa perlu apa, ya?" Luna bertanya. Tenang saja, masih tidak ada nada ngegas di kalimatnya.

"Nggak ada perlu apa-apa, sih. Cuma mau lihat aja seberapa cantik pacarnya Rio sampai-sampai Lo rela jadi pelakor." Helma tersenyum sinis, seolah meremehkan jika Luna tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya.

"Pelakor?"

"Ya. Kalo ada sebutan yang lebih menjijikan dari itu, Lo pantas dapet sebutan itu."

"Wow."

Wajah boleh saja iyes, tapi percuma jika akhlaknya iyuh.

"Lo itu cuma orang baru, yang kalo nggak dibutuhin bakal dibuang juga." Helma memandang Luna dengan tatapan menyebalkan. "Dan kayaknya, Lo memang pantas dibuang. Karena Lo itu sampah yang menganggu hubungan gue sama Rio."

Sepertinya, Luna perlu melempar Helm di rumah kaca yang ada di Dufan. Agar cewek itu bisa ngaca sepuasnya.

Tahan Luna, tahan. Ini masih pagi.

"Atau mungkin, Lo itu cuma dijadiin pelampiasan supaya Rio bisa lupain gue. Bisa aja dia masih sayang sama gue, tapi karena gengsi dia sok-sokan nggak peduli sama gue."

Rasanya, Snow White yang tertidur lama pun tidak pernah bermimpi macam cewek di hadapannya ini.

"Lo nggak pernah tahu sejauh mana apa yang gue lakuin sama Rio."

Sejauh mimpi memandang kali, Mbak.

"Kita lihat aja...."

Kita? Lu aja anjir.

"Kita lihat sampai Rio sadar."

Dikira cowok berikat kepala itu sedang koma apa pake sadar segala.

"Apa yang Rio lakuin itu kesalahan. Dan gue itu kebenaran, Rio pasti akan kembali pada kebenaran."

Akang kendang, kalau Anda hanyalah masa lalu, sebaiknya mundur ya. Biar tidak kelindes!

Luna rasanya ingin berteriak, tapi ia harus sabar. Cukup ngedumel dalam hati saja, selebihnya biar Tuhan yang bertindak. Seperti ucapan Leo.

"Cepat atau lambat, Rio bakal ninggalin Lo karena dia hanya milik gue!"

Mamam tuh kehaluan lu!

"Selama menanti hari kehancuran Lo dan hari bahagia gue sama Rio." Helma tersenyum miring, lantas bergegas masuk ke dalam mobilnya. Menghilang dari pandangan Luna.

"Stres!" umpat Luna sembari melangkahkan kakinya.

Untung ia bisa menahan emosinya, jika tidak, kemungkinan besar akan ada peperangan duniawi nan unfaedah.

Kembali sebagai Luna yang dulu, apa yang Helm ucapkan tadi hanya masuk di kuping kanan lalu keluar dari kuping kiri. Jika ia meladeni orang gila, yang ada dia juga ikutan gila.

Katanya kunci sebuah hubungan adalah kepercayaan dan kesetiaan. Oleh sebab itu Luna lebih mempercayai Rio ketimbang cewek itu.

Menyebalkan!

Mengapa pula dulu Rio mau punya cewek macam Helm yang demen labrak-labrakan macam mak-mak terhianati. Kampungan sekali.

Mungkin sekarang ia hanya akan diam, tapi jika Helm kembali melancarkan aksinya, Luna akan bertindak saat itu juga. Enak saja Helm meragukan kemampuannya, kena lempar jambu Bu Ndar baru tahu rasa tuh dedemit edan.

"Kenapa cemberut?"

Sontak, Luna menolehkan kepalanya. Kaget saat melihat sosok berikat kepala yang tiba-tiba sudah ada di sampingnya.

"Nggak pa-pa," jawab Luna sekenanya.

"Kenapa tadi nggak nungguin?"

"Habisnya kelamaan." Luna menjawab tanpa menoleh.

"Maaf, tadi boker dulu."

Jawaban Rio membuat kepala Luna menoleh secara refleks, menatap cowok berikat kepala itu yang tampak nyengir lebar. Harusnya cowok berikat kepala biru terang itu membuat acara tv saja dengan judul 'Pagi-Pagi Pasti Boker'.

Kedengarannya menarik.

"Ayo, naik." Rio menolehkan kepalanya ke belakang, mengisyaratkan Luna untuk berdiri di belakangnya seperti biasa. Tentu saja cowok berikat kepala itu datang dengan sepeda kesayangannya.

Gadis bersurai lurus itu baru menghentikan langkahnya, membuat Rio ikut berhenti. Luna memandangnya dengan wajah yang tampak bete, lalu beralih menatap pancatan yang ada di sepeda cowok itu.

Tatapan Luna terlihat berbeda. Seperti habis menangis, sembab.

Semalam saat ia datang, bahkan pipi gadis itu masih basah oleh air mata. Dan pagi ini sepertinya Luna berusaha menutupinya dengan polesan bedak, tapi tetap saja tatapannya menyiratkan kesedihan.

Sebuah bukti jika semalam ia datang terlambat.

Terlalu bingung memikirkan bagaimana caranya agar Luna tidak berpapasan dengan Pamela. Rio tidak punya tempat tinggal lain selain rumah orang tuanya. Tapi izin dari Geralnd tidak berhasil ia dapat. Jika ia meminta izin pada Hana pun pasti percuma saja meski beliau tampak senang jika Luna datang ke rumah. Bagaimana pun juga Hana hanya seorang istri yang selalu menuruti ucapan suaminya.

"Kalo di depan boleh nggak?" Luna bosan juga jika terus-terusan berdiri di belakang Rio.

"Hah? Depan mana?"

"Kita tukar posisi," jawab gadis bersurai lurus itu dengan mantab.

Kerutan di dahi Rio terlihat, menandakan jika ia tampak kebingungan. "Emang kuat?"

Luna mengangguk yakin. "Kuat kok!"

Ingatan gadis bersurai lurus itu terputar, kembali pada saat ia masih kecil dimana Luna baru bisa naik sepeda dengan dua roda.

"Abang tungguin!" Luna teriak. Ia mengayuh sepedanya sekuat tenaga agar bisa menyusul Leo yang sudah ngibrit di depan sana.

Jangan kira Luna sudah pro mengendarai sepeda begini. Tadinya, ia hanya bisa mengayuh sepedanya dengan tiga roda. Tapi berkat Leo yang mau mengajarinya dengan telaten, Luna jadi bisa sekarang. Yah meskipun laju sepedanya masih sering oleng macam orang mabok.

Rasa-rasanya, tak ada gunanya Darma mengajarinya naik sepeda. Karena buktinya Leo-lah yang membuat Luna bisa seperti ini sekarang.

Darma terus saja menyuruhnya fokas-fokus kue kukus. Padahal dengan fokus Luna malah sering nyungsruk di semak-semak. Dan yang lebih tidak mengenakan lagi Darma selalu menatapnya dengan tajam setelah itu.

"Abang!" Luna teriak lagi. Keringat sudah bercucuran di dahinya, tapi ia tetep tidak bisa menyusul Leo yang tidak menoleh ke belakang sama sekali.

Dubrak.

"Huaaa... Abang."

Barulah Leo menghentikan laju sepedanya dan menoleh ke belakang. Kaget saat mengetahui jarak posisi mereka cukup jauh. Bertambah kaget lagi karena Luna nyungslep di got dan nangis kejer.

Dengan wajah panik, Leo segera putar balik dan menghampiri Luna yang tidak mau beranjak dari got. Gadis kecil itu duduk sembari teriak-teriak. Anehnya hanya Luna saja yang masuk ke lubang got sementara sepedanya tidak.

Saat mereka masih kecil memang masih banyak got yang tidak ada penutupannya seperti di sekitar komplek perumahannya ini.

"HUAAA... BAU BANGET! JIJIK, LUNA NGGAK SUKA!"

Memangnya ada orang yang suka dan malah bahagia saat nyemplung di got.

Buru-buru Leo turun dari sepedanya dan menghampiri Luna. "Kok bisa jatuh sih? Makanya jangan ngebut."

Luna ingin sekali berteriak tak terima perihal Leo yang naik sepeda ngebut-ngebut, jadi mau tak mau juga ia harus ngebut dan berujung oleng.

"ABANG, BAU BANGET INI... HUAAA." Luna memandang tubuhnya yang terkena air got. Menjijikan!

Di saat Luna sudah teriak-teriak karena merasa jijik dan kebauan, Leo malah mendekat dan membantunya berdiri. Lalu membawa adiknya naik dan meninggalkan got.

Ada beberapa lecet di kaki dan tangan Luna, tapi Adiknya itu berteriak buka karena merasa sakit. Tapi karena bau menjijikan yang membuat Luna mirip tikus got.

"Bau banget, Luna nggak mau!" Sembari sesengrukan, Luna berniat melepas bajunya yang terasa tidak nyaman sama sekali sekarang.

Leo melotot, menahan lengan mungil adiknya secepat mungkin. "Mau ngapain?!"

"Mau lepas baju, Luna nggak mau pake baju ini! Bauk!" Luna kembali menarik-narik bajunya.

"Eh, Jangan!" Leo kelimpungan, ia menahan lengan Luna. "Masa pulang nggak pake baju, emang nggak malu sama Mamang Sayur? Nanti diledekin lho!" Leo menakut-nakuti. Padahal siang bolong begini mana ada tukang sayur yang lewat.

"Biarin! Nanti Mamang Sayurnya Luna ceburin di got juga kalo berani ngeledekin."

Mata Luna kembali memerah saat aroma tak sedap menyapa indra penciumannya. Cepat-cepat tangannya kembali menarik-narik bajunya. Ia sudah tidak tahan lagi.

"Jangan!" Leo kembali menahan.

"Tapi ini bauu, hiks."

"Ya udah ayok pulang, habis itu biar bisa cepet mandi," ucap Leo membujuk. "Ayok, sini biar Abang gendong."

Dengan sesengrukan, Luna asal nemplok saja pada punggung Abangnya yang sudah berjongkok di depannya. Tanpa mengerti jika Leo tidak mempermasalahkan bajunya yang akan terkena bau tak sedap juga.

"Sepedanya!" Luna memekik sembari menoleh ke belakang saat Leo sudah mulai melangkah.

"Biarin, nanti kalo ilang kita tinggal minta Papa beliin sepeda baru," usul Leo dengan ide brilian. Membuat Luna mengangguk dan ndusel-ndusel di leher Abangnya agar aroma yang masuk ke indra penciumannya bukanlah bau tak sedap nan menjijikan, melainkan aroma khas Leo yang selalu terasa menenangkan.

Dari dulu sampai detik ini, Leo selalu menjabat menjadi orang paling berarti bagi Luna. Leo selalu menyayanginya, tanpa jeda. Peduli terhadapnya mengalahkan Darma sekalipun. Luna baru sadar jika semua kelakuan Leo yang terasa menyebalkan, itu semua demi kebaikannya.

Sayang, Luna terlambat menyadarinya. Luna terlambat membuka mulutnya, jika ia amat menyayangi Leo.

"Kenapa ngelamun?"

Luna mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu menoleh ke arah Rio. Ia tersenyum palsu, lalu menggeleng. Luna harus sadar jika masih ada Rio di sampingnya. Sisi kepedulian cowok berikat kepala itu sangat mirip dengan Leo.

"Jadi nggak?"

"Apanya?" Luna bingung.

"Katanya tadi mau di depan."

Matanya yang semula redup mendadak berbinar. Membuat Rio merasa sedikit lega. Terlalu jelas tatapan Luna memperlihatkan kesedihannya. "Boleh?" tanya gadis itu dengan antusias.

Tanpa menjawab, Rio turun dari sepedanya seolah mempersilahkan. Luna tersenyum senang. Ia memang harus mencoba seberapa menyenangkannya sepeda ini sampai-sampai Rio jarang membawa motornya yang lebih mewah dan keren.

Saat Luna sudah duduk dengan tangan memegang stang, Rio mengobrak-abrik ranselnya. Mencari flashdisk yang ia masukan semalam setelah pulang dari rumah Luna.

Itulah alasan kedua mengapa ia telat datang ke rumah Luna. Karena ia harus mendownload bermacam video Justin Bieber yang ada di YouTube. Tadinya ia ingin menyerahkan flashdisk tersebut semalam, tapi karena Luna sudah tertidur jadi ia memutuskan menundanya saja.

Walaupun bukan ia yang menghapus koleksi vidio Justin Bieber di ponsel Luna, tapi Rio tetap saat tak tega dengan gadis itu. Mengingat Luna sangat mendamba-dabakan sosok idolanya.

Ah, akhirnya ketemu.

Rio segera menutup ranselnya. "Ini vid —lho?" Cowok berikat kepala itu melongo.

"NA!" teriaknya kemudian saat sadar jika Luna membawa kabur sepedanya dan meninggalkannya sendirian.

Luna tidak menoleh. Cepat-cepat Rio segera berlari. "LUNA!"

"LUNA TUNGGUIN!"

Sepertinya percuma juga ia lari-lari dan berteriak begini, karena Luna tampak tuli dan seperti sengaja mengayuh sepedanya dengan kecepatan maksimal.

"Pacar kurang ajar," umpatnya dengan nafas tersendat-sendat. Rio tebak, Luna pasti tengah kegirangan sekarang.

Ah, bocah itu sama sekali tidak berubah.

Sial sekali nasibnya pagi-pagi begini.

***

Tak tanggung-tanggung, Luna membawa sepeda Rio sampai sekolah tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Seru juga ternyata.

Ia tidak bermaksud mengibuli Rio sebenarnya. Tapi mana mungkin ia kuat mengayuh sepedanya jika Rio ikut nangkring di belakang. Memangnya cowok itu tidak berat apa.

Luna melangkah riang meninggalkan parkiran. Menyusuri lorong yang tampak ramai dengan wajah ceria.

Jika memang Rio itu seperti bunglon, maka mungkin Luna juga begitu. Bukan karena ia ingin mengikuti apa-apa perihal Rio karena mereka pasangan. Tapi lebih karena ia bisa merubah perasaan sedih dan pedihnya di tempat yang berbeda.

Luna tripikal orang yang bodo amat. Tapi sebodoamatnya ia, tentu saja Luna akan tetap merasa terpuruk akan mulut Pamela yang tidak mempunyai filter sekarang. Ia juga masih sering kali merindukan Leo meskipun sudah mencoba ikhlas.

Di rumahnya, luka yang masih mengganga lebar akan kembali terasa sakitnya. Sedangkan di keramaian, lukanya seperti mati rasa sehingga rasa sakitnya tidak terasa sama sekali.

Tapi bagaimana pun juga, Luna masih mendapat kekangan yang membuatnya sulit keluar rumah dan menyambangi kebebasan.

Jadi rasanya tidak semudah itu bagi Luna untuk melupakan lukanya.

"Cepet sampenya ya kalo naik sepeda sendiri?"

Luna hampir saja memekik saat wajah Rio mendadak nonggol di ambang pintu. Cowok berikat kepala itu memasang wajah datar sembari bersedekap dada.

Kalau begini posenya cowok itu terlihat sedikit menyeramkan. Apa lagi dengan tatapannya yang tajam dan menusuk.

"Ha -hai." Luna menyapa kikuk. Bingung harus berucap apa dan bagaimana. Dalam hati bertanya-tanya mengapa bisa Rio lebih dulu sampai di kelas ketimbang dirinya.

Hai-yoloh ketahuan lebih tepatnya.

Tiba-tiba saja, Rio memajukan wajahnya. Membuat wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.

Luna tahan nafas, tidak kuat jika posisi mereka seperti ini. Maka secara perlahan, kakinya mulai bergerak mundur.

"Jangan mundur!" ucap Rio dengan suaranya yang mendadak dalam dan rendah.

Tubuhnya ingin segera menjauh, bahkan jika perlu ia ingin lari dari sini secepat mungkin lalu menghilang. Tapi percuma saja jika yang terjadi justru Luna yang mendadak menjadi penurut dengan jantung berdebar.

Ini tempat umum, sekolahan yang sudah pasti akan ramai melebihi pasar ikan. Tapi mengapa tidak ada satu orang pun yang berniat menyelamatkan degup jantungnya agar kembali normal seperti sedia kala?

Mengapa pula matanya malah seolah terkunci dengan tatapan tajam itu?

Rio memajukan wajahnya, semakin menghapus jarak. Membuat Luna ngap-ngapan, refleks memejamkan matanya.

"Satu sama," bisik cowok berikat kepala itu tepat di sebelah telinga Luna. Saat gadis bersurai lurus itu membuka matanya, Rio sudah lari ngibrit tanpa menoleh ke belakang.

"Yeuhh, kampret dikerjain."

Luna lantas memandang kelasnya. Aneh sekali, mereka ini pada buta together apa bagaimana? Biasanya, kan, kalau ada adegan yang hot jeletot dikit aja mereka langsung gercep menjadikannya topik epik perghibahan. Lah ini? Malah pada sibuk dengan urusan masing-masing.

Tidak mau ambil pusing, Luna segera melangkahkan kakinya menuju bangku miliknya. "Wahh." Matanya mendadak berbinar.

"Woy, Shampoo! Ini punya siapa?"

Dove menoleh. Mengernyitkan kening sebelum menjawab malas-malasan. "Punya Lo lah, ya kali punya dedemit."

"Heh! Lo nyamain gue sama dedemit?!"

"Gue nggak bilang ye, Lo yang bilang sendiri."

"Ngeselin!" Luna segera menyahut milkshake coklat yang ada di mejanya dengan perasaan jengkel. Menyeruput isinya tak kira-kira sampai hanya sisa setengah. Seakan baru tersadar, ia menghentikan aksinya dengan wajah penuh waspada.

"Ini dari siapa?" Gadis bersurai lurus itu mengguncang kursi Dove tanpa rasa dosa. Luna belum siap mati jika memang dalam milkshake ini terdapat sianida berbahaya.

"Ayang beb Lo," jawabnya malas-malasan tanpa menoleh.

Luna menaikkan sebelah alisnya. "Rio?"

"Hmm." Dove berdeham, masih dengan suara yang terdengar tak ikhlas.

Sembari senyam-senyum macam orang kurang waras, Luna kembali menyeruput milkshake coklat di tangannya.

Manis, macam yang ngasi whehe.

Senyumnya masih terus mengembang sebelum ponselnya bergetar, menandakan ada notifikasi yang masuk. Sebuah pesan singkat yang berhasil membuatnya jatuh seketika.

Mama

Jangan pulang ke rumah hari ini. Saya nggak mau lihat wajah pembunuh putra kesayangan Saya.






****










Di Bumi yang kejam ini,
18-07-20.







Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 132K 29
Madava Fanegar itu pria sakit jiwa. Hidupnya berjalan tanpa akal sehat dan perasaan manusiawi. Madava Fanegar itu seorang psikopat keji. Namanya dike...
1M 19.6K 46
Gadis cantik yang masih duduk di bangku SMA terpaksa menjalankan misi misi aneh dari layar transparan di hadapannya, karena kalau tak di jalankan, ma...
685K 20K 40
Ivander Argantara Alaska, lelaki yang terkenal dingin tak tersentuh, memiliki wajah begitu rupawan namun tanpa ekspresi, berbicara seperlunya saja, k...
9.4M 392K 63
On Going (Segera terbit) Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di ke...