BLUE [Completed]

Oleh Listikay

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... Lebih Banyak

Prolog
1. Tetangga baru
2. Kesalahan
3. Murid baru
4. Siluman tokek
5. Ada apa-apa
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
11. Pengakuan temaram
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
18. Bulan di hidupku
19. Tertangkap basah
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
23. Definisi kebebasan
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
26. Tiga cahaya malam
27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya
28. Asterales
29. Cowok tanpa ikat kepala
30. Malam penuh kegelapan
31. I lose You
32. Memudar
34. Why?
35. Jatuh
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
39. Lunar
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
43. Memori masa lampau
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
46. Euphoria
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

33. Cela

63 8 0
Oleh Listikay

"Rio..."

"Tidur lagi, ya." Cowok berikat kepala biru terang itu mengusap puncak kepala Luna, berupaya menutupi wajahnya yang nampak tak tenang.

Hembusan nafas lega tercipta saat Luna menganggukkan kepalanya. Rio sempat terkejut, memudar kala hal tersebut jauh dari apa yang ia pikirkan sebelumnya.

Luna mulai memejamkan matanya kembali, menikmati usapan penuh kelembutan yang membelai kepalanya. Setidaknya, ia masih mempunyai kehangatan yang rasanya tidak ada habisnya. Itu jauh terasa lebih baik.

Deru nafas yang tenang menandakan jika gadis bersurai lurus itu sudah kembali menyelami alam mimpi.

Semenjak awan hitam menaungi Luna, Rio seperti mempunyai akses masuk ke rumah ini.

Pamela seolah tak peduli. Bahkan mungkin beliau juga akan diam saja jika ada maling yang masuk dengan perijinan penuh kesopanan.

Budhe Mina justru senang kala Luna tidak lagi sendirian. Walaupun beliau tidak pernah mengalami wisuda SD, tapi Budhe Mina dapat mengetahui dengan jelas jika Luna tampak lebih terlihat tenang saat Rio datang.

Sedangkan Darma hanya diam, tidak memberikan teguran sama sekali. Mungkin merasa tertohok kala Luna lebih membutuhkan bocah ingusan itu ketimbang dirinya. Darma merasa jika Rio seolah menunjukkan jika apa yang ia ucapakan tidak main-main.

Tapi jika bocah ingusan itu berani macam-macam dengan anak gadisnya —anak satu-satunya sekarang ini —Darma akan memberikan pelajaran yang setimpal. Atau mungkin pelajaran yang lebih kejam ketimbang kesalahan yang diperbuat.

Cowok dengan ikat kepala biru terang itu tersenyum, mengagumi paras seorang gadis yang tengah terlelap dengan tenang bertepatan dengan musik yang berhenti mengalun. Ia terkekeh, mengingat kelakuan konyolnya beberapa hari lalu.

"Yah."

Darma yang sedang fokus hanya bergumam tanpa menolehkan kepalanya.

"Rio mau ngomong," ucap cowok itu setelah mendudukkan diri di sebelah Geralnd. Rio baru saja pulang dari rumah Luna dan Darma masih betah melek saat anak bungsunya sudah ileran.

"Itu barusan udah ngomong." Darma masih fokus menatap telivisi di hadapannya.

Cowok berikat kepala itu terdiam sejenak sebelum menghembuskan nafasnya dengan gusar. "Gimana kalo Luna tinggal di sini?"

Barulah Geralnd menoleh dengan mata terbelalak. "Kalo ngantuk tidur, nggak usah gegayaan ngomong segala," ucap beliau kemudian dengan wajah yang tampak lebih santai.

"Boleh ya, Yah?" tanya Rio tanpa mempedulikan ucapan Geralnd barusan.

Plak.

"Aduh." Rio meringis. "Sakit, Yah!" geramnya sembari mengusap puncak kepalanya yang barusan kena tempelengan.

Geralnd memandang putranya dengan tatapan seolah tak percaya. "Are you crazy, boy?" Tatapannya berganti menjadi tajam. "Jangan ngaco kamu! Sana tidur!"

"Yah —,"

"Luna masih punya rumah, Rio."

"Iya, tahu tap —,"

"Dia juga masih punya orang tua!" Geralnd bahkan tak habis pikir dengan anaknya yang satu ini. "Sembarangan main gondol anak orang gitu aja."

Mungkin saja diam-diam di tengah amarahnya kali itu Geralnd menertawakannya dengan lantang. Ah, memalukan sekali. Padahal niatnya baik, ia hanya ingin Luna tidak merasa 'sendiri' di rumahnya sendiri.

Rio rasa Luna akan lebih ceria bila tinggal di rumah Rio. Ada Hana yang akan mengajaknya sibuk di dapur, atau mungkin Reon yang akan menemaninya dengan ocehan-ocehan tak bermutu.

Rio baru saja akan beranjak kala suara pecahan sesuatu terdengar. Luna yang sudah masuk dalam alam mimpi beberapa menit lalu sampai terlonjak dan langsung mendudukkan diri.

"LUNA PEMBUNUH!"

Rio salah jika menganggap apa yang dilakukan Pemela tadi sudah berakhir.

"LUNA YANG BUNUH LEO!"

Gadis bersurai lurus itu beranjak dari ranjang, membuat Rio yang belum sepenuhnya tersadar dengan apa yang terjadi, gelagapan. Ia segera menahan pergelangan tangan Luna. "Eh, mau kemana? Tidur lagi aja, ya. Sini..." Dengan sebelah tangan yang lain, Rio menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya.

Tidak disangka ketika Luna justru menepis tangannya dan berlalu begitu saja. Cepat-cepat Rio mengejarnya. Ia menuruni tangga dengan Luna yang terasa memberi jarak di depannya.

"ANAK ITU YANG BUNUH LEO, PA!"

Tepat di hadapannya, Luna melihat dengan jelas apa yang seharusnya tak ia lihat. Pamela yang terlihat kacau, juga pecahan vas bunga yang mengotori lantai dingin rumah ini.

Jangan lupakan Darma yang memasang ekspreksi tak tertebak.

"LEO MATI GARA-GARA DIA!"

"MA!"

Dalam air mata berderai, Pamela tampak memasang wajah tak percaya. Terkekeh dengan suara mengerikan. "Papa bentak Mama, hah?"

"PAPA BENTAK MAMA?! MAMA HANCUR, PA! APA PAPA NGGAK TAHU ITU?!"

Darma berjalan mendekat bersamaan dengan kristal bening yang perlahan membasahi pipi mulus gadis bersurai lurus itu.

Mereka tampak tak menyadari kehadiran Luna, atau mungkin tidak menganggapnya terlihat sama sekali.

Rio terpaku, diam. Berdiri di belakang Luna.

"KALAU MAMA LAGI SEDIH SEHARUSNYA NGGAK USAH MENYALAHKAN ORANG LAIN!" teriak Darma tiba-tiba.

Darma menghembuskan nafasnya, berusaha menahan emosi. "Leo bakal sedih lihat Mamanya seperti ini," ucap beliau dengan suara yang lebih halus.

Darma berjalan mendekat, mencoba mengapai tangan istrinya dan menenangkannya. Tapi Pamela justru meronta, terus berusaha melepaskan tangan Darma dengan terisak. Tak sengaja tatapannya mengarah pada anak gadisnya yang dari tadi hanya diam.

"Pembunuh!"

"Ma..." Bibir gadis bersurai lurus itu bergetar. "Luna nggak pernah bunuh siapa pun," lanjutnya begitu lirih.

Telinga Luna terasa berdengung kala Pamela terkekeh dengan kesan mengejek. "Setelah jadi pembunuh, sekarang kamu jadi pembohong juga? Hebat, Luna!"

"MA!" Darma membentak.

Pamela beralih menatap Darma. "Apa? Mau belain dia? Apa dengan belain anak itu Leo bisa kembali? Enggak, kan?!""

Luna sampai tidak sadar jika apa yang diucapkan Mamanya adalah sebuah kebenaran. Ia memang pembunuh. Luna sudah membunuh senyumnya sendiri tanpa sadar.

"Kalau aja dia nggak nyuruh Leo beli minuman sialan itu, Leo nggak bakal mati!"

Gadis bersurai lurus itu menunjukkan tatapan sendu. "Mama... Luna nggak nyuruh Abang malam itu."

"Terus maksud kamu, Leo yang mau melakukan hal bodoh semacam itu bahkan tanpa perintah? Kamu pikir Leo bodoh?"

Entah sudah keberapa tetes air mata yang keluar melewati pipinya. Sebelumnya, Luna tidak mengerti jika Pamela memiliki sisi yang membuatnya hancur. Benar-benar hancur.

Pertahanan yang ia bangun belum sepenuhnya terbentuk sempurna, tapi sudah kembali runtuh dengan mudah. Seakan membangunnya tidak perlu perjuangan dan hanya asal-asalan.

"Leo itu pintar. Bukan kayak kamu yang bodoh," lanjut Pamela penuh penekanan sebelum akhirnya beranjak menuju kamarnya.

Tidak ada yang mendekati Luna sama sekali, tapi ia merasa seperti mendapat serangan yang terasa amat menyakitkan.

Darma menatap Rio, lalu menunjuk Luna dengan isyarat mata. Menyuruh cowok berikat kepala itu untuk membuat anak gadisnya kembali tenang. Bukannya ia Ayah yang tidak bertanggung jawab, tapi ia tahu jika Luna tidak dekat dengannya dari kecil.

Mungkin juga Luna lebih membutuhkan bocah ingusan itu ketimbang dirinya. Lagi pula ia juga harus mengurus Pamela yang seolah menjadi tokoh antagonis.

Luna hampir terjatuh jika Rio tidak menahan tubuhnya dengan cepat. "Mama..." gumamnya dengan suara pilu.

"Luna." Rio memanggilnya dengan suara lembut. Menopang tubuh ringkih gadis itu.

"Mama... jahat."

Ya, untuk kali pertama ia mengerti bagaimana rasanya dibenci Ibunya sendiri, seorang yang melahirkannya dengan taruhan nyawa. Jika seperti ini, rasanya apa yang ia alami lebih menyakitkan daripada Cinderella yang terus-terusan disiksa Ibu tirinya.

Disiksa oleh orang asing yang kebetulan menjabat sebagi Ibu tiri memang menyeramkan, tapi dibenci Ibu kandungnya sendiri jauh lebih menyakitkan dari itu.

Sangat menyakitkan.

***

Sekarang, Rio selalu berangkat pagi-pagi ke sekolah. Tentu saja tujuannya agar ia bisa berangkat bareng Luna. Ia bahkan rela mandi dengan mata terpejam karena masih mengantuk. Yang lebih parah, Rio juga pernah mencuci mukanya dengan shampo karena asal mengambil.

Untungnya, muka tampannya ini tidak jerawatan maupun bisulan.

Meskipun ia hanya naik sepeda ketika sekolah, Rio juga tetap santai berangkat dengan waktu mepet, mengayuh sepedanya sembari bersiul. Tapi jika sudah berurusan dengan Luna, beda lagi ceritanya.

Sekarang, mereka sudah duduk di bangku masing-masing. Entah apa penyebab yang jelas, Luna kini tengah menjambak rambut Dove tanpa ampun. Gadis dengan surai lurus itu seolah sudah melupakan kejadian semalam begitu saja.

Padahal nyatanya menghapus goresan samurai tak kasat mata tidak semudah itu. Tapi Luna cukup senang ketika bertemu dengan teman-temannya di sekolah ia bisa melupakan luka itu sejenak. Ya walaupun temannya hanya Dove dan Bejo. Plus Rio.

"Sakit, setan!" Dove mengumpat sembari berusaha melepaskan tangan Luna dari rambutnya. Walaupun Luna cewek, tapi bocah ini memiliki tenaga yang tak main-main sampai-sampai rasanya rambutnya seperti tercabut dari akar-akarnya.

"Bodo amat, iblis! Biar mampus sekalian!" Tak tanggung-tanggu, Luna mengerahkan seluruh tenaganya.

"Woy, jingan! Rambut gue rontok semua, goblok!" Dove menjerit.

"Sukurin!!"

"Kagak sengaja itu Ya Allah." Setelah tadi misuh-misuh, sekarang cowok itu nyebut agar mendapat pertolongan. Difinisi manusia wujud setan yang baru bertindak kalau ada maunya.

"Kalo nggak sengaja nggak mungkin hampir semuanya kehapus!"

Dove dengan tidak tahu diri menghapus koleksi video-vidio Justin Bieber di ponsel Luna saat gadis itu tengah pergi ke toilet. Alhasil Luna mencak-mencak seperti sekarang ini. Hampir saja menangis jika ia tak meluapkannya dengan cara membuat si pelaku teraniaya.

"Woy, Ri! Bini Lo, nih," ucap Dove berusaha mencari pertolongan. "Bantuin gue napa ah... aduh!"

Rio hanya mengedikkan bahunya tak peduli. Cowok berikat kepala itu malah duduk santai dengan punggung bersandar di kursi dan tengan bersedekap dada. Juga mulutnya yang tak berhenti menguyah permen karet.

Rio tidak peduli dengan penderitaan Dove sekarang, ia lebih baik menjadi penonton tanpa bayaran. Tapi jika Dove balas menjambak rambut Luna, barulah ia akan bergerak cepat.

Cowok berikat kepala itu tak akan membela Dove, lagian siapa suruh macam-macam dengan gadis sejenis Luna. Ia bahkan rela Dove mati asal kesedihan Luna berkurang hehe.

"Anjing!" Dove kembali mengumpat entah untuk yang kesekian kalinya.

Hoek.

Luna mendadak menghentikan aksinya, menatap Rio dengan bingung. Cowok itu kini tengah mengobrak-abrik ranselnya dan menyobek kertas sembarangan, lantas mengeluarkan sesuatu dari mulutnya.

Ugh! Menjijikan sebenarnya.

Inilah akibatnya jika banyak gaya. Rio tidak terbiasanya mengunyah permen karet, paling-paling hanya pura-pura menguyah saja padahal mulutnya kosong agar kelihatan lebih keren. Dan sekarang, saat permet karet tidak ada rasa manisnya, ia malah masih nekat mengunyahnya sampai berujung hoek-hoek macam orang hamidun.

Luna segera menyerahkan botol minumnya. Rio langsung menenggaknya. Dove mamandangnya dengan mimik menjijikan.

Sebelum Rio meneguk air yang ada di mulutnya, Dove lebih dulu mengguncang bahunya tak kira-kira. Membuat cowok berikat kepala itu terbatuk-batuk karena keselek. Ah, seharusnya ia semburkan tepat di muka Dove saja tadi.

"Siapa pelakunya?!" pekik Dove dengan heboh sembari terus mengguncang bahu Rio.

Rio mengernyit sebelum akhirnya menepis lengan Dove dari pundaknya. Tak mengerti apa yang dibicarakan makhluk setengah manusia ini. Dulu Rio sempat berpikir bila ia pindah sekolah, ia akan mendapatkan teman yang sedikit normal, tapi nyatanya sama saja.

Sepertinya, 90% penduduk Bumi memang unnormal. Dove salah satu contoh nyatanya.

"Bilang sekarang!" Dove beralih mencengkram kedua bahu Rio, cowok bergelang karet itu berdiri di kursinya dengan lutut sebagai tumpuan. "Siapa yang udah merkosa lu?!"

Jika ajang pemain ajab sekarang sedang open member, Rio yakin Dove akan diterima saat itu juga. Berbakat sekali anak ini, benar-benar generasi bangsa Indonesia yang amat bermutu tinggi.

Dove menanti jawaban. Rio menatapnya datar. Luna cosplay jadi patung. Kelas riuh seperti biasa.

"COGAN BUKAN KOLANG-KALENG KAMBEK, YUHUU!"

Sudah menjadi kebiasaan teriakan itu merusak gendang telinga menjelang bel masuk berbunyi.

Kaum-kaum demen ghibah ngedumel, cowok-cowok yang suka nonton bokep sampai menjatuhkan ponselnya karena terkejut, siswa yang tidak suka keramaian yang hanya disebabkan oleh satu orang menutup telinganya rapat-rapat. Semua ingin melenyapkan Bejo, tapi takut rindu dengan teriakan itu bila Bejo lenyap begitu saja.

Bejo dada-dada di depan, tersenyum lebar seolah ia tengah mengadakan acara endorse pasta gigi.

"LEMPAR BEJO PAKE BUKU!" instruksi seseorang yang tengah ngedeprok di pojokan. Sialnya, semua menuruti perintah itu dengan perasaan geram. Sesekali, Bejo memang perlu dikasih pelajaran.

Bejo yang kelabakan melindungi dirinya dengan ransel. "KAMPET!" Ia berteriak tak terima sembari menghindari serangan.

"JANGAN LEMPAR PAKE PULPEN NANTI DIA KEENAKKAN!"

Seolah tidak masalah, beberapa anak cewek merelakan semua isi kotak pensilnya yang lebih mirip disebut pouch sebelum instruksi tersebut terdengar.

"Salah apa hamba-Mu ini Ya Allah," gumam Bejo dengan pilu. Kena timpuk buku sana-sini. "UDAH WOY JAMBUL GUE RUSAK, SIALAN!"

Rio tidak mungkin salah lihat, jika di tengah-tengah keramaian kelasnya ia melihat Luna tertawa. Untuk pertama kalinya setelah Leo pergi.

Hatinya menghangat, tapi ia tak yakin jika setelah ini, tawa itu akan tetap terlihat. Kembali seperti awal, seolah Luna adalah jelmaan kesedihan untuk diri gadis itu sendiri.

***

"Rio..."

"Hmm?" gumam Rio sembari fokus mengayuh sepedanya.

"Kamu mau bantuin aku doa nggak?"

Keningnya mengerut, bingung. Rio jadi mengingat saat ia diminta berdoa hanya supaya Bu Ndar tidak ada di rumah agar mudah mencuri jambu. Apa jangan-jangan, permintaan kali ini juga aneh-aneh? Huh, semoga saja tidak.

"Doa? Doa apa?"

"Doa supaya kalo aku sampe rumah nanti Mama udah nggak marah lagi sama aku, nggak benci aku lagi," jawab Luna lirih.

Rio menyesal telah menuduh Luna yang tidak-tidak. Cowok berikat kepala biru terang itu mengelus lengan Luna yang mengalung di sekitar lehernya.

"Oke. Hitungan ketiga mulai, ya," kata Rio menyetujui dengan kepala yang ditolehkan ke samping. "Satu, dua, tiga...."

Gadis bersurai lurus itu mulai memejamkan matanya. Luna tidak berharap Tuhan menyembuhkan kesedihannya karena kepergian Leo. Ia akan mengikhlaskannya secara perlahan. Luna hanya tak mau dibenci Ibunya sendiri, karena tidak ada seorang anak yang tak menyayangi Ibunya. Tidak ada.

Luna juga yakin jika tidak akan ada seorang Ibu yang membenci anaknya.

Ia lantas membuka matanya, menatap langit dengan hati yang tidak baik-baik saja. "Langitnya bagus."

Rio hanya diam.

"Rio."

"Apa?" sahut Rio, suaranya selalu saja terdengar amat lembut.

"Apa Leo liat aku dari atas sana?"

"Mungkin."

"Apa Leo bahagia di sana?"

"Pasti," jawab Rio tanpa perlu berpikir. "Dia pasti lebih bahagia kalo liat adik kesayangannya bahagia."

Luna sering kali menanyakan perihal kebahagiaan Leo sekarang. Tapi saat Rio mengajak Luna mengunjungi makam Leo, gadis itu selalu saja menolak.

Tidak ada pula seorang pun yang tidak mengharapkan kebahagiaan, termasuk Luna. Tapi bagaimana ia bisa bahagia jika Pamela saja membencinya seperti ini?

Keyakinan terhadap seorang Ibu yang tidak mungkin membenci anaknya perlahan luntur saat sepeda Rio berhenti tepat di depan gerbang rumahnya.

Sekarang pertanyaannya bukan lagi, 'apakah Pamela masih membencinya?' melainkan, 'apakah bangunan di hadapannya ini masih layak disebut rumah jika tidak ada lagi kehangatan di dalamnya?'

****












08-07-20.

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

2.6M 143K 63
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
4.2M 319K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
1.9M 91.5K 40
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
1.8M 132K 50
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...