BLUE [Completed]

By Listikay

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... More

Prolog
1. Tetangga baru
2. Kesalahan
3. Murid baru
4. Siluman tokek
5. Ada apa-apa
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
11. Pengakuan temaram
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
18. Bulan di hidupku
19. Tertangkap basah
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
23. Definisi kebebasan
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
26. Tiga cahaya malam
27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya
28. Asterales
29. Cowok tanpa ikat kepala
31. I lose You
32. Memudar
33. Cela
34. Why?
35. Jatuh
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
39. Lunar
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
43. Memori masa lampau
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
46. Euphoria
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

30. Malam penuh kegelapan

68 10 0
By Listikay

"Luna."

Hal tiba-tiba kembali terjadi saat seseorang muncul dari dalam rumah Luna dengan wajah datar. Membuat keduanya gelagapan dengan jantung berdetak kencang.

"Masuk!" titah Darma dengan tegas, tidak membiarkan anak gadisnya membantah.

Gadis bersurai lurus itu menunduk, tidak berani mengangkat kepalanya. Ia menghembuskan nafasnya secara kasar sebelum melangkahkan kakinya.

Ternyata apa yang Luna anggap mungkin telah tertimpa kemustahilan.

Luna pikir, jika Darma sudah pulang, pasti gerbang rumahnya terbuka lebar dan beliau sudah menunggunya di teras rumah. Tapi ternyata tidak, yang mendadak membuatnya membenci kata 'tidak' karena hal itu berbanding terbalik dengan apa yang ia inginkan.

Sebelum Luna benar-benar menjauh darinya, Rio mengelus sebelah lengan Luna. Layaknya memberikan apa yang gadis itu perlukan sekarang. Bukan kekangan nan menegangkan, melainkan kebebasan yang dibelai ketenangan.

Tidak berlangsung lama karena Luna lebih memilih untuk segera masuk ke dalam rumah. Bukan karena ia menolak sentuhan penuh kelembutan itu, melainkan karena Luna tidak mau menambah masalah yang melibatkan Rio masuk ke dalamnya.

Cukup Darma yang mengekangnya, jangan sampai beliau menyalahkan Rio atas apa yang ia lakukan, atas apa yang ia usahakan untuk menikmati sejenak yang namanya kebebasan.

"Om, maaf —" Ucapan Rio sepeninggalan Luna dipotong Darma begitu saja.

"Kamu pikir..." Darma menatap Rio dengan tajam. "Kata maafmu bisa mengembalikan waktu Luna yang terbuang-buang begitu saja untuk keluyuran di luar sana?"

"Luna nggak keluyuran, Om —,"

"Munurutmu mungkin bukan keluyuran karena kamu sudah terbiasa dengan pergaulan di luar sana yang terlihat mengerikan."

"Seenggaknya kata maaf lebih berharga daripada pembelaan tanpa alasan," ucap Rio spontan tanpa rasa takut.

"Apa maksud kamu?!" tanya Darma dengan nada suara naik satu oktaf. Leo —yang notabenenya anaknya sendiri —tidak pernah membantah ucapannya. Sedangkan bocah ingusan yang baru lahir tadi sore dan tidak mengerti apa-apa berani membantah ucapan orang tua begitu saja?

Darma jadi membayangkan, dengan orang lain saja berani berucap tidak sopan, apa lagi dengan orang tuanya sendiri.

"Om selalu merasa benar. Luna itu juga sama kayak orang di luar sana, dia manusia sosial yang otomatis butuh bersosialisasi," papar cowok tanpa ikat kepala itu.

"Keluar rumah bukan berarti keluyuran, Om, Luna perlu sesuatu yang baru. Yang menantang dan nggak menuntut, yang nggak pernah dia dapat sebelumnya karena Luna hanya Om wajibkan bersosialisasi di sekolah padahal Luna nggak kayak anak-anak lainnya yang punya banyak tem —,"

"Kamu siapa, hah?! Tahu apa tentang Luna?" tanya Darma memotong ucapan Rio untuk ketiga kalinya dengan sarkas.

Rio tersenyum sinis. "Harusnya nggak pernah dijelaskan sekali pun Om udah tahu siapa saya. See." Cowok tanpa ikat kepala itu menunjuk motornya. "Apa Luna pernah mau naik motor? Nggak, kan? Tapi buktinya Luna mau naik motor sama saya. Luna berani ambil resiko keluar rumah setelah selama ini cuma bisa diam aja. Apa Om nggak sadar kalau akhir-akhir ini Luna kelihatan lebih ceria? Itu semua karena siapa?"

Darma mendadak membisu.

"Semua itu karena saya, Om!"

Ngegas dikit nggak pa-pa, biar ada asepnya dikit, biar kelihatan keren.

Sombong dikit nggak pa-pa, karena sekarang emang perlu.

Terlalu percaya diri nggak pa-pa, karena emang itu penting.

"Mungkin Luna bisa merasa sedikit lega kalo Om kasih tahu alasan di balik aturan aneh itu. Tapi selama ini Om cuma bisa menciptakan tanda tanya yang semakin bertambah setiap detiknya."

Darma tidak mengedipkan matanya, tidak mengerakkan tubuhnya walaupun tangannya sudah terasa sangat gatal, tidak juga membuka mulutnya yang mendadak terkatup rapat.

Luna tidak boleh tahu alasannya, semua orang tidak boleh tahu. Darma juga tidak akan membeberkan alasannya sekalipun terhadap Pamela. Tidak boleh ada yang tahu, seorang pun tidak boleh.

"Memang semua kata tanya belum tentu ada jawabannya, tapi apa guna tanda tanya kalau bukan untuk mendapat jawaban?" Rio tahu ia sudah kelewatan dan tidak sopan. Tapi ia juga tahu jika Luna tidak bisa terus dikekang seperti itu.

"Jangan marahin Luna, Om," pinta Rio dengan tatapan sedu, suaranya amat lirih seakan menyiratkan sebuah permohonan yang benar-benar ia harapkan. "Jangan sakiti dia... kalo Om mau marah, silahkan marah sama saya. Silahkan kalo Om mau mukulin saya. Silahkan Om lakukan apa yang Om mau... tapi jangan Luna, Om." Suara cowok tanpa ikat kepala itu terdengar lirih di akhir kalimat.

Darma menggeram tertahan, sebelum akhirnya berhasil membuka mulutnya. "Kamu sudah memberikan pengaruh buruk terhadap anak saya... jauhi Luna."

"Kalau memang Om mau Luna hancur," sahut Rio cepat dengan begitu percaya diri. "Om mungkin bisa lihat Luna hancur, tapi saya enggak, Om."

"Om harus berhenti atau nggak secara perlahan Luna akan jadi seorang introvert yang terlanjur nggak suka bersosialisasi," ucap cowok tanpa ikat kepala itu lagi.

Darma tersenyum sinis, amat tipis dan tidak layak disebut senyum sinis sebenarnya, tapi itulah yang berhasil Rio tangkap dari tatapan matanya.

Apa yang diucapkan bocah ingusan ini ada untungnya juga ternyata. Jika memang begitu, Luna pasti tidak perlu lagi mencoba-coba keluar rumah karena anak gadisnya itu tidak menyukai keramaian.

"Bisa jadi Om nganggep kalo itu hal menguntungkan," tutur Rio seolah membaca pikiran Darma. "Tapi nyatanya enggak sama sekali. Nggak enak kalo apa yang mereka lihat sama sekali nggak sesuai sama kebenarannya."

Ternyata bocah ingusan di hadapannya ini juga sok mengerti tentang kehidupan.

"Itu sama aja kayak... yah, contohnya kalo Om tiba-tiba aja diklaim sebagai orang tua yang nggak berhasil didik anak karena kelakuan Luna yang kelihatan liar."

Selain itu, bocah ingusan itu juga menuduhnya yang tidak-tidak. Sungguh, kurang ajar!

"Padahal nyatanya Om udah bikin peraturan seketat mungkin biar hal-hal yang nggak diinginkan terjadi. Tapi justru orang-orang yang nggak ngerti malah menilai gitu aja dengan mudah."

Tapi tidak bisa dipungkiri jika apa yang diocehkan bocah ingusan itu ada benarnya.

Seperti seorang introvert yang sering dianggap sombong, angkuh, dan juga tidak sopan. Padahal belum tentu mereka seperti itu.

"Maaf Om, tapi saya mohon mulai sekarang Om bisa sedikit terbuka dan berdamai dengan dunia kebebasan yang masih dalam lingkup aturan. Bebas bukan berarti tanpa aturan." Cowok tanpa ikat kepala itu mengambil bunga krisan yang masih tergeletak di bawah motornya.

"Tolong kasihin Luna, Om. Ini punya dia," pinta Rio dengan santai sembari menyodorkan satu pot bunga krisan warna ungu.

Bocah ingusan ini benar-benar tidak tahu malu! Tapi entah bagaimana ceritanya, Darma tetap menjulurkan tangannya, menerima bunga krisan tersebut sebelum akhirnya segera masuk dan bergegas menutup gerbang rumahnya tanpa mengatakan apa pun.

Yang beliau tahu, biasanya seorang cowok lebih memilih membelikan bucket bunga atau satu tangkai mawar. Tapi ini? Mengapa pula harus ada akar-akar dan potnya segala? Benar-benar aneh.

***

Luna sudah berada di kamarnya, ia membawa serta Leo masuk ke dalam guna mencari perlindungan.

Gadis bersurai lurus itu duduk di dekat jendela, memandang langit yang kehilangan bulan. Harusnya langit tidak terlalu merasa sepi karena masih ada taburan bintang. Tapi 'harusnya' tidak selamanya berhasil mengabulkan 'harapannya'.

Sementara Leo duduk di sisi ranjang Luna sembari menatap adik perempuannya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Luna."

Seakan mendengar suara petir yang amat menyeramkan di telinga anak kecil, Luna meloncat dan berlari ke atas ranjangnya. Menjatuhkan diri di sana dengan menarik selimut guna menutupi seluruh tubuhnya dengan wajah menegang.

Sisi ranjangnya bergerak, ia tebak Leo kini tengah berjalan menuju pintu kamar.

Luna hanya bisa berdoa dalam hari agar Leo bisa membuat Darma mengurungkan niatnya masuk ke dalam kamar. Ahh, harusnya ia tadi masuk ke dalam lemari saja biar lebih aman terkendali.

Gadis bersurai lurus itu memejamkan matanya rapat-rapat di balik selimut bertepatan dengan seseorang yang menyibak selimutnya tanpa aba-aba.

Secara refleks, Luna berubah menjadi seorang dukun. Komat-kamit tidak jelas dengan mata terpejam rapat dan tangan sedikit gemetar. Hingga mulutnya yang seksi mendapat sentilan tanpa kelembutan. "Lo ngapain, anjir."

Luna tahu betul siapa pemilik suara tersebut. Dengan cepat, tanpa komando, matanya terbuka lebar-lebar. Ia mendudukkan diri, menyapukan pandangannya ke seluruh sudut kamar.

"Nih." Leo menyodorkan sesuatu yang membuat Luna mengerutkan kening, bingung.

Luna baru ingat jika tadi ia melupakan bunga krisan pemberian Rio. Dengan semangat, ia menerimanya dan berjalan menuju pintu balkon. Luna menaruhnya di meja kecil yang ada di balkon kamarnya setelah mengeluarkannya dari kantong.

Tampak cantik ketika meja kecil yang diapit dua kursi itu terhias bunga ungu. Di bawah potnya sudah ada piring plastik yang berwarna senada, menghalang kebecekan ketika Luna menyiraminya. Rio bahkan yang juga membelikan itu tadi.

Gadis bersurai lurus itu mendudukkan diri di kursi balkon. Memandang bunga tersebut dengan bertopang dagu, bibirnya melukiskan sebuah senyuman. Luna sampai lupa dengan Darma yang mungkin saja hendak memarahinya, ia juga melupakan Rio yang kemungkinan besar mendapatkan semprotan Papanya itu.

"Ngapain beli begituan?" tanya Leo sembari memandang Luna dengan sebelah alis naik ke atas. Bertanya-tanya apakah adiknya itu sudah gila hanya karena sebuah bunga yang terus saja dipandangi dengan tersenyum menjijikan?

Luna bahkan sampai tak sadar sejak kapan Leo sudah duduk di hadapannya. "Bagus, nggak?" Bukannya menjawab, Luna justru balik bertanya.

"Biasa aja," jawab Leo datar. "Ngapain nggak ditaruh depan?"

Dengan wajah malu-malu, Luna menjawab, "tadi Rio yang beliin." Jika Luna tampak memasang wajah malu-malu saat mengatakan kalimat tersebut, Leo justru memasang wajah seolah ingin muntah mendengar ucapan Luna. "Jadi harus ditaruh di tempat yang beda," lanjut gadis dengan surai lurus itu.

Leo memang belum pernah jatuh hati dengan seorang gadis, ia belum tahu bagaimana rasanya. Tapi Leo sangat tahu jika orang yang sedang kasmaran sering kali menjadi alay atau mungkin terlihat macam orang gila mengenaskan.

Tiba-tiba saja, cowok itu teringat sesuatu. Ia memasang wajah serius sembari memajukan tubuhnya. "Lun."

"Hmm," gumam Luna tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga krisan yang menghias meja. Tangannya tak henti untuk sekedar memegang bunga tersebut.

"Menurut, Lo... Rio orangnya gimana?"

Barulah Luna mengangkat kepalanya dengan kening berkerut. "Nggak gimana-gimana," jawabnya kemudian.

Leo berdecak, sama sekali tidak puas dengan jawaban adiknya. "Kalo nggak giman-gimana, ngapain Lo suka sama dia!"

Luna baru mengerti ke mana arah pembicaraan Leo. Gadis bersurai lurus itu tampak menerawang. "Baik banget, nggak pernah marah-marah, beda sama Lo yang tiap hari ngomel mulu...."

Leo mencibir.

"Terus apa lagi ya." Seperti biasa, Luna berpikir keras seolah ia mempunyai otak macam Albert Einstein. "Nggak aneh-aneh, ganteng... banget."

Leo kembali mencibir.

"Beda sama yang lain," lanjut Luna. "Unik, lebih sering jujur, pinter, dan yang paling penting... hatinya jauh lebih bagus dari tampilannya."

"Lebih sering jujur? Berarti pernah bohong, dong?"

"Pernah sih, tapi terus dia ngomong apa adanya. Terus nggak jadi bohong, deh."

"Kayaknya semua itu dari sisi positifnya, mana negatifnya?"

Luna menjentikkan jarinya. "Nah makanya itu, dia kayak hampir nggak punya sisi negatif. Palingan cuma posesifnya yang kadang nyebelin." Gadis bersurai lurus itu mendonggakkan kepalanya, menatap taburan bintang. "Heran, Tuhan tuh ngapaian pas nyiptain dia?"

"Ah, hiperbola, Lo!"

"Serius! Lo nggak ngerti dia, sih."

Sepertinya tidak ada yang perlu Leo cemaskan. Lagi pula Luna bukan lagi adik kecilnya yang selalu merengek jika Leo ingin pergi bermain layangan. Luna sudah beranjak menjadi gadis remaja yang berparas cantik, yah meskipun sifatnya sedikit bar-bar.

"Lagian kenapa Lo sempe sakarang nggak mau cari pacar?' tanya Luna iseng.

Sudah terlalu sering Leo mendengar pertanyaan tersebut sampai-sampai telinganya terasa panas dan berdenyut. Tidak adakah pertanyaan lain yang sedikit berbobot?

"Nggak ada untungnya pacaran segala," jawab cowok itu dengan santai, pandangannya lurus ke depan.

"Jelas ada, dong."

Leo menolehkan kepalanya dengan sebelah alis terangkat ke atas. "Apa coba?"

"Seneng."

"Halah seneng doang, bisa dicari tanpa perlu pacaran segala. Lo baru tahu nggak enaknya kalo Rio selingkuh."

"Rio nggak mungkin selingkuh!"

Cowok itu mengedikkan bahunya tak peduli.

"OHH, IYA!"

Leo mengusap-usap telinganya saat tiba-tiba Luna memekik heboh dan beranjak berdiri. "Tadi Papa nggak jadi ngomel?"

"Kelihatannya gimana," jawab Abangnya itu malas-malasan.

"ALHAMDULILLAH HIROBIL ALAMIN, REJEKI NOMPLOK. MAKASI YA ALLAH," teriak gadis itu dengan tangan memegang palang pembatas balkon dan kepala mendonggak ke atas dengan senyuman lebar.

Ia seperti mendapat keajaiban karena Darma tidak memarahinya kali ini. Terasa aneh sebenarnya, karena beliau memang tidak pernah begitu sebelumnya. Tapi Luna tak mau mengambil pusing masalah tersebut.

"Berisik, Luna!"

Tiba-tiba saja, gadis bersurai lurus itu membulatkan matanya, lantas berlari cepat ke dalam kamar diiringi tatapan penuh tanya milik Leo.

Ia segera mencari-cari ponselnya dengan tak sabaran, setelah menemukan benda tersebut, Luna segara menghubungi Rio.

"Halo...."

Aih, hanya mendengarkan suaranya saja sudah berhasil membuat Luna terbang tanpa perlu sayap.

"Kenapa, Na?"

Gadis bersurai lurus itu mengerjap-ngerjapkan matanya lalu menjawab dengan cepat agar Rio tidak merasa curiga di seberang sana. "I-iya." Sial, malah gagap segala!

"Iya apa, Na?"

"Ha-hah?" Mampus! Luna hanya asal menjawab saja tadi. "Iya, halo," lanjutnya kemudian setelah berpikir keras dengan suara penuh keyakinan.

"Ohh."

Bisa Luna tabak jika Rio tengah mengangguk-anggukkan kepalanya sembari tersenyum geli sekarang, menyebalkan!

"Kenapa? Kangen? Minta disamperin?"

"Enggak!" sergah gadis itu, terdengar lebih cepat dari yang seharusnya. Semacam menyangkal dalam kebenaran. Sialan sekali mulutnya ini.

"Mau milk shake nggak, Lun?"

Luna membalikkan badan saat mendengar suara Leo, cowok itu berjalan mendekat ke arahnya setelah menutup pintu balkon.

"Mau!" jawab Luna tanpa pikir panjang. Tentu saja ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan.

Leo mengangguk sekilas sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.

"Beneran mau?"

Gadis bersurai lurus itu menjauhkan ponselnya dari telinga, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Tadi, kan, udah ketemu, Na. Masa udah kangen lagi," ucap Rio di seberang telepon sembari terkekeh geli.

Dengan gerakan cepat, Luna segera menempelkan kembali ponselnya ke telinga. "Enggak! Orang itu tadi nyahutin Leo."

Rio tidak menjawab, Luna hanya mendengar dengan jelas tawa Rio yang renyah dan membuat hatinya merasa damai.

"Terus kenapa nelpon?"

"Oh, iya." Luna bahkan hampir melupakan tujuan awalnya. "Tadi Papa marahin kamu, ya?" tanya gadis itu dengan tak enak hati.

"Enggak, kok."

"Hah? Serius? Masa, sih?"

"Iya, beneran. Harusnya aku yang nanya itu, Papa kamu tadi marahin kamu?"

"Enggak juga, makanya itu aneh banget."

"Ya udah. Syukur, deh. Mungkin lagi nggak mood marah-marah kal —APAAN SIH, PECICILAN BANGET?! SANA MINGGIR, JANGAN DEKET-DEKET!"

Luna terkikik geli saat mendengar suara Rio yang mengalami perubahan. Yang tadinya penuh kelembutan berganti menjadi penuh peringatan.

"Reon, ya?"

"Siapa lagi yang suka nyari ribut kalo bukan tuyul satu itu."

"Tuyul-tuyul gitu juga adik kamu."

"Cantik-cantik gitu juga pacar aku."

Seperti biasa, wajahnya mendadak memanas begitu saja. Ingin sekali ia memberikan cubitan maut pada perut cowok itu.

Ia lantas mendekat ke arah meja rias. Hampir memekik saat melihat kedua pipinya yang memerah. Jadi begini yang namanya blush on alami? Luna baru tahu sekarang, ia juga baru tahu jika hal itu sangat-sangat memalukan.

Luna beralih mendudukkan diri di sisi ranjang, tak mau menatap lama-lama hal memalukan yang ia ciptakan sendiri.

Setelah itu obrolan mereka seperti mengalir begitu saja. Membicarakan banyak hal dengan random. Sesekali juga tertawa secara bersamaan.

Rio menyudahi obrolan mereka saat mendengar suara Luna yang tengah menguap. Lagi pula ini sudah cukup larut. Jadi mau tak mau, mereka memutuskan sambungan telepon.

Luna merasa ada yang aneh dan mengganjal. Jika hanya membeli milk shake, mengapa Leo selama itu?

Antrikah?

Atau Abangnya itu tidak hanya membeli milk shake?

Apa Leo memiliki urusan lain di luar sana?

Saat pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan, pintu kamarnya dibuka begitu saja membuat Luna terjengkit kaget. Bertambah kaget saat Pamela terlihat seperti habis menangis.

"Kita ke rumah sakit sekarang."

Kening Luna berkerut saat kakinya melangkah mendekati Pamela yang berdiri di ambang pintu kamarnya. "Siapa yang sakit, Ma? Mama kenapa
—,"

Belum sempat Luna menyelesaikan kalimatnya, Darma datang dan menyahut. "Abang kecelakaan." Disusul isak tangan Pamela yang terdengar.






****

Jadi cerita ini emang sengaja lebih di fokusin ke tokoh utamanya (dan konfliknya) aja, mungkin itu juga jadi satu alasan paling kuat kenapa cerita ini bosenin. Terus juga jarang banget ada dialog receh yang sedikit menghibur, atau bahkan gapernah ada... layaknya aku dan dia wakak.

Tapi aku selalu berharap semoga kleyan tydack pernah bosan.

Aku butuh banget;

Kritik

Saran

Tanggapan

Terimakasih sudah mengikuti cerita ini sampai sini.











15-06-20.






Continue Reading

You'll Also Like

499K 53.9K 23
Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum layaknya bayi beruang saat ia sedang marah...
588K 27.8K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
3.4M 279K 62
โš ๏ธ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
1.5M 130K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...